Mohon tunggu...
Naufal Alfatah
Naufal Alfatah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Sejarah Unair

Seorang mahasiswa yang hobi bermain basket

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perkumpulan Hwie Tiauw Ka di Surabaya: Perkumpulan Tionghoa Tertua di Indonesia

21 Juni 2024   08:36 Diperbarui: 21 Juni 2024   08:36 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejarah Perkotaan - Kelompok 11

Naufal Alfatah (124221014)
Krisna Megananda S (124221029)
Lailatul Fitriani (124221050)

Terbentuknya wilayah perkampungan menurut ras yang terjadi di Surabaya adalah karena adanya pembagian tingkat pada lapisan masyarakat sejak zaman sebelum kemerdekaan. Akulturasi kebudayaan merupakan hasil dari percampuran yang terjadi antar budaya sehingga dapat membentuk suatu pariwisata yang memiliki nilai kebudayaan yang tinggi. Sejarah panjang kehadiran etnis Tionghoa di Surabaya menunjukkan bahwa adanya proses interaksi  sosial dan adaptasi masyarakat Tionghoa dan lokal yang menimbulkan perbedaan budaya antar etnis. Perkembangan kawasan pecinan di Surabaya dapat dikatakan sangat berkembang dengan pesat, sejalan dengan meningkatnya ekonomi etnis Tionghoa di Surabaya. Seperti halnya yang terdapat pada Kelurahan Kapasan, dimana memiliki perkampungan yang berisi orang-orang keturunan Tionghoa yang memiliki keunikan budaya dan adat istiadat tersendiri dan berpotensi dalam sektor pariwisata yang diberi nama Wisata Kampung Pecinan. Pada kampung Pecinan terdapat sebuah rumah perkumpulan keluarga Hakka yang berasal dari Tionghoa yakni Perkumpulan Hwie Tiauw Ka. 

Sejak berdiri hingga kini, perkumpulan ini tidak pernah pindah alamat dan menjadi perkumpulan tertua di Indonesia. Kendati demikian, Pak Herman belum bisa memastikan apakah dapat dikatakan sebagai yang tertua pula di Asia Tenggara. Setelah penulis menelusuri, rupanya Kota Palembang yang menjadi tempat pemukiman etnis Tionghoa pertama di Asia Tenggara, yaitu sesaat setelah Kerajaan Sriwijaya runtuh dan jatuh ke tangan etnis Tionghoa (Nuralang, 2002). Hal ini mungkin mengejutkan, namun jika kita menilik ke masa lampau, etnis Tionghoa ternyata sudah mengincar Nusantara sebagai tujuan migrasi mereka untuk penghidupan yang lebih baik.

Golongan sub-etnik yang cukup dominan pada masa itu diantaranya Hokkien, Hakka,  Teo-Chiu, dan Kanton, dimana keempat sub-etnis ini pun berasal dari wilayah yang berbeda-beda. Hakka sendiri berasal dari Cina Selatan, provinsi Gungdng Shng (). Hakka disebut sebagai "The guest family ()" sebab mereka datang dari Cina Utara yang bermigrasi ke selatan pada masa jatuhnya Dinasti Han Selatan sekitar 700 tahun yang lalu (Vizal, 2020). Pernyataan ini selaras dengan anggapan bahwa setiap wilayah yang dikunjungi orang Hakka sudah memiliki penduduk asli yang menetap, dari sinilah istilah "tamu" tercetus.

Migrasi etnis Tionghoa Terjadi begitu masif setelah terjadinya Perang Candu (1839-1842) dan pemberontakan Tai Ping (1851-1865) yang menyebabkan hancurnya perekonomian di Cina Selatan (Nuralang, 2002). Orang-orang Hakka sendiri pertama kali merantau ke Hindia-Belanda pada abad ke-19, mereka menyebar ke Bangka Belitung, Kalimantan Barat, hingga Jakarta. Ambisi mereka untuk mencari mata pencaharian dengan upah yang banyak dikuatkan dengan peraturan pemerintah kolonial Belanda bahwa orang Cina mempunyai kedudukan lebih tinggi dari orang pribumi, membuat orang Hakka semakin menyebar di beberapa kota besar seperti Medan dan Surabaya.

Di Surabaya sendiri mereka bermukim di kawasan Kembang Djepoen, dan dari sinilah asal muasal rumah Perkumpulan Hwie Tiauw Ka berdiri. Anggota perkumpulan ini ada 700 lebih, jika ada anggota keluarga yang tidak mampu, pihak pengurus akan membantu segala prosesinya mulai dari peti mati, kremasi, dan persemayaman tanpa biaya, adapun di bagian belakang terdapat arca leluhur, ini adalah cikal bakal para pendahulu. Pak Herman menekankan bahwa perkumpulan ini tidak berarti terikat agama, politik, atau komersil.

Pak Herman menjelaskan dalam wawancaranya, rumah ini dibangun pada tahun 1820 sebagai tempat persinggahan dan penginapan orang Hakka yang merantau. Seperti yang bisa dilihat, lokasi Jl. Slompretan ini sangat dekat dengan Pasar Bong. Dalam bahasa Hokkien, Bong berarti makam Cina, lokasi ini dulunya adalah perkampungan yang dekat dengan komplek makam, maka dari itu rumah Perkumpulan Hwie Tiauw Ka diperuntukkan sebagai tempat pengurusan jenazah. Tempat ini bukan kelenteng ataupun tempat ibadah, sementara itu bangunan di depan nya adalah kelenteng yang menyembah dewa atau dewi. Orang-orang Perkumpulan Hwie Tiauw Ka sangat menghormati jasa leluhur yang sudah membopong sumbang bangunan ini. Selanjutnya, Pak Herman menjelaskan mengenai satu dinding dimana terdapat foto mantan-mantan ketua yang sudah mendiang. Ketua perkumpulan disini dipilih setiap 3 tahun dengan masa jabatan maksimum 2 periode.

Selama berlangsungnya gelombang imigran dari tahun 1850 hingga 1930, etnis Hakka adalah yang paling miskin di antara para perantau etnis Tionghoa (Restiatih dalam Pratiwi, 2015). Orang-orang Hakka ini dikenal dengan etnis yang tergolong ekonomi rendah pada saat mendarat di daratan Surabaya bukan seperti etnis Hokkien yang tergolong ekonomi tinggi karena memiliki predikat pedagang (Pratiwi, 2015). Sehingga meskipun telah berusia 204 tahun, pembangunan rumah perkumpulan ini dahulunya melalui masa sulit, bahkan sempat mangkar karena alasan biaya. Meskipun demikian, tak pernah luntur semangat para generasi penerus dari tahun ke tahun mengingat  pengorbanan nenek moyang untuk meneruskan organisasi di bidang sosial.

Dalam perkembangannya pula mengalami pasang surut, terlebih pada masa orde lama dan orde baru dimana pemerintah sangat membatasi aktivitas kaum Tionghoa, yang hanya memperbolehkan untuk sembahyang dan menganggap orang-orang perkumpulan ini berstatus WNA. Mengutip (Maghfiroh, 2014), Perkumpulan Hwie Tiauw Ka Surabaya pada tahun 1950 membuka sekolah yang diberi nama Qiao Nan, yang berada di jalan Bakmi Surabaya, yang sekarang berganti nama jalan Samudera Surabaya. Siswa hanya dari kalangan orang Hakka saja. Bangunan sekolah khusus Hakka di Surabaya ini hanya berlangsung selama 8 tahun saja dari tahun 1950 sampai tahun 1958. Sekolah ini ditutup tahun 1958 oleh pemerintah Orde Lama dikarenakan alasan politik.

Sebagai gantinya, sekarang tempat ini sudah berhak jadi cagar budaya karena telah memenuhi syarat Pemerintah Kota, namun mengenai hal ini masih dipikirkan lebih lanjut oleh para pengurus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun