Pagi itu tanggal 25 Januari 2021, seperti biasa, aku berangkat dari rumah pukul 07.00 WIB menuju ke Lapangan Ombilin, Kota Sawahlunto. Rumah ku, terletak di Perumahan Griya Shaba Indah (GSI), Kecamatan Kupitan, Kabupaten Sijunjung.Â
Hal ini lumrah adanya di antara kedua Kabupaten/Kota ini. Masyarakat yang tinggal di Kabupaten Sijunjung eh, bekerja, sekolahnya, di Kota Sawahlunto. Ini dikarenakan, dahulunya Sawahlunto dan Sijunjung tergabung dalam satu Kabupaten yakni Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung. Seperti halnya aku, dokumen identitas ku di Kota Sawahlunto tetapi berdomisili di Kabupaten Sijunjung.
Beberapa hal yang menyangkut kedua Pemerintah Daerah ini, juga tidak terlepas dari sejarah yang mengikat mereka. Dahulu ketika masih menjadi Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung, di pusat Kota Sawahlunto hari ini sangat terkenal dengan Perusahaan Tambang Batu Bara Bukit Asam (PT. BA UPO). Tak heran lagi, Kota Sawahlunto sangat terkenal dengan sebutan Kota Arang yang tentunya berkaitan dengan Sumber Daya Alam batu baranya.
Jadi, para pekerja dari perusahaan tambang pun didatangkan dari berbagai daerah di Indonesia. Dengan alasan keselamatan, para pekerja ini mendapat fasilitas rumah dinas di daerah Padang Sibusuk, tepat di perumahan tempat tinggal ku saat ini.
Di hari yang cerah ini, aku berniat setelah olahraga di Lapangan Ombilin nanti, akan mengunjungi salah satu objek wisata yang jarang sekali terlihat dan sangat unik di Kota Sawahlunto. Jarak tempuh antara rumah dan Lapangan Ombilin ku libas dalam waktu 20 menit. Ini adalah kecepatan sedang ku melajukan kendaraan roda dua, jika kecepatan maksimal ku, bisa-bisa sampai Kota Sawahlunto hanya dalam 15 menit. Selama di perjalanan, aku membayangkan beberapa hal yang menarik untuk dilakukan selama kunjungan ku nanti.
Setelah 20 menit berlalu, akhirnya, tiba juga di Lapangan Ombilin. Lapangan Ombilin adalah lapangan sepak bola yang berada di pusat kota, posisinya berada di Kelurahan Tanah Lapangan, Kecamatan Lembah Segar, Kota Sawahlunto. Dekat dari lapangan ini, ada sungai yang mengalir di tengah kota.Â
Aku jadi teringat salah satu kalimat yang diutarakan oleh Ustadz Abdul Somad ketika mengisi ceramah agama pada akhir tahun 2019 lalu. Beliau mengatakan bahwa, Lapangan Ombilin ini adalah sebagai bukti toleransi umat beragama yang ada di Kota Sawahlunto yang di tengahnya berdiri Masjid yang diapit oleh dua Gereja. Aduhai, indah sekali.
Memang, Kota Sawahlunto adalah satu dari sekian banyak daerah yang bisa dibilang sebagai miniaturnya Indonesia. Sesuatu yang jarang ada di sebuah kota kecil yakni keberagaman masyarakatnya. Heterogennya masyarakat menjadi salah satu keunikan yang menarik orang untuk datang ke Kota Sawahlunto.
Semua itu, terkait erat dengan sejarah kota yang berdiri pada tanggal 1 Desember 1888 ini. Potensi batu bara yang dikembangkan oleh Belanda saat itu, mendorong perekrutan tenaga kerja secara besar-besar.
Hal ini mengakibatkan tenaga kerja yang didatangkan bukan hanya dari daerah sekitar saja, melainkan menembus provinsi bahkan sampai ke pulau seberang. Maka, tak heran bahwa Kota Sawahlunto saat ini multietnis.Â
Ada masyarakat Suku Minangkabau yang menjadi mayoritas, Suku Batak, Tionghoa, Suku Bugis, dan Suku Jawa yang mendominasi keberagaman suku bangsa di kota ini. Ada agama Islam, Kristen Katholik, dan Kristen Protestan juga lho! Ini terbukti dengan berdirinya tempat ibadah masing-masing kepercayaan itu.
Olahraga di Lapangan Ombilin ini, ku lakukan sekitar satu sampai dua jam. Aku dibimbing oleh pelatihku, tapi aku menyebutnya dengan sebutan Abang (sebutan untuk kakak laki-laki) karena jarak usia kami yang tidak terlalu jauh dan kami sudah begitu dekat hingga rasanya bersaudara. Bersama Bang Panji Asep Sasmito inilah, aku berlatih sudah sekitar 3 bulan ini. Program latihan yang asik dan menyenangkan hingga tidak terasa sudah hampir selesai saja.
Setelah pendinginan dan peregangan, aku pun mengajak Bang Panji untuk berkeliling dulu di sekitar Kota Sawahlunto ini.
Salah satu yang aku kunjungi yakni Masjid Agung Nurul Islam. Masyarakat sekitar lebih akrab dengan sebutan Masjid Agung ini, sudah menjadi cagar budaya Kota Sawahlunto.
Pada masa penjajahan Belanda dahulu, komplek Masjid Agung ini sebagai tempat kelistrikan dari industri batu bata Kota Sawahlunto. Kalau dalam Bahasa Belandanya, Electrische Centerale.Â
Kawasan Masjid Agung Nurul Islam Sawahlunto merupakan PLTU pertama di Kota Sawahlunto dibangun dalam rentang tahun 1894-1898. Pada masa Revolusi Kemerdekaan RI menjadi pusat perakitan senjata oleh pejuang Sawahlunto. Saat ini beralih fungsi sebagai Masjid dengan Panti Asuhan yang berada tepat di sebelahnya.
Salah satu yang unik dari Masjid yang satu ini, yaitu terletak pada menara masjidnya. Menara masjid adalah salah satu bangunan penunjang yang puncaknya terdapat corong pengeras suara.
Menara Masjid Agung ini, dahulunya adalah cerobong asap, lho! Cerobong ini, terhubung dengan jalur bawah tanah yang berujung tepat di Dapoer Oemoem Ransoem yang saat ini dikenal dengan Museum Gudang Ransum. Konstruksi bawah tanah ini adalah yang paling mutakhir pada zamannya. Tak heran, Belanda sangat betah untuk bermukim di Kota Sawahlunto ini.
Bagaimana tidak, untuk listrik sudah ada, air pun ada sungai, masalah perut tak perlu risau lagi, kurang apalagi coba, yakan? Oleh karena itu, sampai saat ini, Kota Sawahlunto masih sangat terikat dengan Indo Belanda yang lahir di Wilayah Sumatera Barat. Salah satu bukti kebetahan Belanda tinggal di Kota Sawahlunto adalah dengan berdirinya komplek pemakaman Belanda.
Kata masyarakat sekitar, Makam Belanda ini adalah yang termewah dahulunya. Terdiri beberapa makam yang pahatan namanya terbuat dari batu marmer dan bentukan makam yang seperti rumah dengan atapnya.
Makam Belanda lebih dikenal dengan sebutan Kerchof dan Pemerintah Belanda menamakan sebagai Europ Begraaf Plaats. Tidak diketahui dengan pasti tahun berapa adanya pemakaman ini.
Dari data yang diperoleh, orang Belanda yang paling awal meninggal dunia di Sawahlunto pada tahun 1902. Kompleks makam ini dikelola oleh Pemerintah Kota Sawahlunto dengan telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya pada tahun 2007.
Upaya pelestarian dilakukan untuk melindungi Cagar Budaya dengan tindakan konservasi dan pemugaran serta dilakukan perkuatan pada DAM dan pagar. Pada tahun 2018 Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumatera Barat melakukan pemugaran dan penataan lingkungan pada klaster di sebelah Timur sebanyak 12 makam dan pada tahun 2019 sebanyak 48 makam di bagian sebelah barat.
Kompleks Makam Belanda terletak di area perbukitan di kawasan pemukiman penduduk di Kelurahan Lubang Panjang, Kecamatan Barangin, Kota Sawahlunto.
Komplek Makam Belanda ini memiliki luas sekitar 7000 meter persegi. Secara keseluruhan kompleks makam terawat dan sebagian mengalami kerusakan, seperti nisan kehilangan marmer yang berisi nama dan keterangan orang yang dimakam.
Hampir keseluruhan makam dilengkapi dengan jirat dan nisan yang terbuat dari beton bertulang serta sebagian diberi cungkup. Jumlah makam yang diketahui saat ini mencapai 94 makam.
Berikut adalah beberapa makam yang masuk ke dalam lensaku saat berkunjung ke Kerkhof ini :
Setelah berkunjung di kedua tempat ini pun, aku dan Bang Panji memutuskan untuk menyudahi pertemuan kami hari ini dan pulang ke rumah masing-masing. Tentu saja, seperti halnya pergi, ketika pulang pun aku membayangkan dan bergumam banyak hal mengenai hari ini. Ada banyak hal di masa lalu yang sangat berharga dan harus dijaga untuk saat ini sebagai bukti bahwa peradaban membawa peradaban.Â
Teringat olehku, ketika dahulu jika aku hidup pada masa kejayaan Kota Sawahlunto yang ramai dengan hiruk pikuk pertambangan, pasti akan berat sekali bagi pribumi.
Tetapi bagi rakyat yang kaya dan orang Belanda, tentu sebuah kenikmatan yang tiada tara. Belum lagi dengan infrastruktur yang lengkap apalagi perihal energi listrik yang melimpah hingga Kota Sawahlunto juga dijuluki sebagai Hongkong di Waktu Malam dengan gegap gempitanya lelampuan di Pusat Kota. Sungguh suatu wisata masa lalu yang penuh dengan pembelajaran.
Untuk itu, aku mengajak para pembaca sekalian untuk terus semangat dalam menghadapi kehidupan dengan belajar dari masa lalu. Tidak lupa pula untuk bersyukur akan hari ini dan bersiap untuk hari esok.
Selain itu, ketika para pembaca sekalian berkunjung ke Sumatera Barat, jangan lupa singgahlah dulu ke kota ku tercinta, Kota Sawahlunto, The Little Ducth in West Sumatera.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H