Kakakku nomor satu, Kang Dadang, angkat tangan pula. Dia juga tak kurang punya alasan. "Bukan tak ingin gantian mengurus emak. Tapi soalnya, kehadiran emak di sini pasti bikin ruwet rumah tanggaku. Maaf, istriku tak akan mau dibuat tambah repot oleh kehadiran emak di tengah kami. Kau tahu sendiri kan watak kakak iparmu ..." ujar Kang Dadang berbisik. Aku bisa maklum. Kang Dadang memang tipe suami dalam kepitan ketiak istri.
Lalu bagaimana dong? Aku ingin sebentar saja terbebas dari beban mengurus emak. Aku ingin menikmati hidupku sendiri sejenak saja ...
               *** Â
Aku terisak sendiri. Kutahan-tahan agar isakku tak sampai membangunkan suami yang lelap di sampingku. Namun makin kutahan, pedih di hati makin terasa. Pedih bercampur sesal tak terkira. Hening malam seolah ikut mengiris-iris hatiku.
Entah sudah berapa lama aku larut dalam kesedihan ini. Sampai akhirnya perlahan aku membangunkan suamiku. Aku tak kuat lagi menahan sesal sendiri.
"Kenapa, Mam? Kok menangis?" kata suami sambil membuka matanya lebar-lebar.
"Pap, besok kita jemput emak, ya. Emak harus kita bawa pulang. Emak tak boleh tinggal di panti jompo. Biarkan emak tetap hidup bersama kita. Apa pun yang terjadi, emak harus ada di tengah kita ... "
"Benar nih? Yakin?" kata suamiku seolah mencemooh.
Aku mengangguk. Mantap. Â
"Jadi, kenapa kemarin dulu begitu ngotot mengirim emak ke panti jompo?" Â
Aku mengunci mulut. Air mata meluncur ke pipi tanpa mampu kutahan. Aku merasa terpojok. Ingin kukatakan kepada suami bahwa aku sangat menyesal telah mengirim emak ke panti jompo. Meski cuma baru tiga hari, ketidakhadiran emak di tengah kami ternyata membuatku mendadak terhempas ke dalam kehampaan. Sangat dalam. Aku merasa sangat kehilangan emak. Juga merasa sangat berdosa. Seolah-olah aku telah membuang emak. Â