Mohon tunggu...
Alfariz Farhan
Alfariz Farhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Ilmu Pemerintahan

Mahasiswa FISIP - Ilmu Pemerintahan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Oligarki di Tubuh Parlemen, Sampai Kapan?

18 April 2021   17:09 Diperbarui: 18 April 2021   17:21 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia seperti tidak bisa lepas dari isu-isu yang kontroversial. Jika hanya fokus pada parlemen pemerintahan kedua dari Presiden Joko Widodo, ada beberapa kebijakan parlemen kita yang memantik kegaduhan di masyarakat, contoh Revisi Undang-Undang KPK, Undang-Undang Minerba, dan yang terbaru ialah Undang-Undang Sapu Jagat atau Omnibus Law. Melalui perundangan-undangan tersebut, muncul beberapa gagasan kontra dari beberapa elemen masyarakat sipil, mulai dari buruh, pelajar atau mahasiswa, ormas keagaman dan ormas lainnya. Di media sosial pun, muncul tagar penolakan seperti #ReformasiDiKorupsi dan #MosiTidakPercaya terhadap undang-undang yang diebutkan diatas. Berbagai protes dan penolakan tersebut berasal dari tuduhan masyarakat kepada parlemen yang dianggap hanya mengedepankan kepentingan pengusaha/bisnis atau investor dalam UU yang telah disahkan atas nama ‘Pertumbuhan Ekonomi’. Hal tersebut dikhawatirkan masyarakat akan memperkuat politik oligarki di Indonesia khusunya di parlemen DPR.

      Berdasarkan realitas tersebut, topik ini sangat menarik untuk dipelajari karena bukan hanya banyaknya tuduhan masyarakat kepada DPR, tetapi topik ini berkaitan dengan lembaga yang seharusnya menjadi ujung tombak demokrasi di negeri ini serta menjadi bahan evaluasi untuk pemerintahan kedepannya. Penulis membuat mencari sumber-sumber kredibel yang diharapkan bisa menjawab isu dari permasalahan ini, apakah benar parlemen kita sudah diracuni oleh politik oligarki? Lalu, apa dampaknya bagi Indonesia? Sebelum menjawab isu tersebut, pertama kita mulai dari pengenalan oligarki terlebih dahulu

Apa itu Oligarki?

Oligarki dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki definisi pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu. Tetapi penulis lebih memilih definisi menurut Winters (2013) dalam bukunya, yaitu oligarki di definisikan sebagai politik pertahanan kekayaan (harta/properti dan pendapatan), oleh oligark atau individu yang menguasai dan mengendalikan konsentrasi sumber daya material untuk mempertahankan kekayaan pribadi & posisi sosial eksklusifnya. Dari definisi tersebut, bisa disimpulkan bahwa oligarki adalah strategi politik untuk mempertahankan kekayaan segolongan orang saja.

Oligarki bukanlah hal yang baru, oligarki yang berasal dari bahasa yunani Ὀλιγαρχία, Oligarkhía yang bermakna ‘sedikit’ dan ‘memerintah’ sudah ada sejak pemerintahan kuno di yunani, dimana ekonomi dan politiknya dikuasai oleh kelompok bangsawan yang disebut patricians. Contoh pada masa kini yang paling terkenal ialah Uni Soviet, dimana orang orang yang mendukung birokratisasi Stalin akan mendapat jabatan di pemerintahan, sementara yang tidak mendukung akan disingkirkan dari pemerintahan bahkan dibunuh dengan kejam. Lalu bagaimana sejarah oligarki bisa berkembang di Indonesia?

Sejarah Oligarki di Indonesia

Indonesia sebagai negara demokrasi seperti tidak bisa lepas dari jerat oligarki. Walaupun telah dibatasi kekuasan secara lima tahunan dengan harapan adanya ‘wajah-wajah baru’ di pemerintahan. Namun, realitanya, masih banyak tokoh-tokoh yang berkuasa secara terus menerus sejak dulu atau diganti oleh saudara, menantu, bahkan ehm anak sendiri. Pada akhirnya pergantian dengan model tersebut menghasilkan sirkulasi elite bukan hanya di parlemen, tetapi di pemerintahan daerah bahkan pusat. Mungkin disinilah kekurangan demokrasi di Indonesia, yaitu suara mayoritas sebagai hasil akhir meskipun hasil tersebut tidak berkualitas.

Hal tersebut telah terjadi sejak era Presiden Soeharto pada masa Orde Baru, dimana orang-orang yang mendukung rezim pemenang mendapat jabatan, hamper sama seperti kasus Uni Soviet. Dalam kasus tersebut, Winters (2011) menyebut kejadian tersebut sebagai ‘oligarki sultanistik’. Dalam teori ‘oligarki sultanistik’, sang oligark akan membuat strategi untuk mengkonsentrasikan kekuataanya, strategi tersebut dijalankan dengan ‘menghadiahi’ pendukung dengan akses dan jabatan penting untuk menghalangi pesaing.

Lalu bagaimana sekarang? Teori oligarki sultanistik tersebut masih relevan pada masa pemerintahan Presiden saat ini, khususnya pada masa pemerintahan kedua yang saat ini sedang berlangsung. Hal tersebut dikarenakan ada beberapa menteri pada kabinet sekarang dahulunya ialah rival dari Presiden Jokowi pada pemilu kemarin, yaitu Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. Pihak oposisi yang seharusnya menjadi pengawas pada pemerintahan saat ini berkurang sangat drastis. Selain itu, dalam pemerintah di era sekarang, menantu dan anak dari Presdien Joko Widodo menjadi pemimpin di Kota Solo dan Kota Medan. Hal ini menunjukan bahwa oligarki di Indonesia masih terus berjalan, walaupun sudah berbeda pihak oligarki dari masa awal/Orde Baru dengan sekarang.

Oligarki di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

Dewan Perwakilan Rakyat sejatinya memiliki fungsi sebagai penyalur aspirasi rakyat. Melalui aspirasi tersebut, dibuat produk-produk kebijakan yang harapannya dapat mensejahterakan masyarakat Indonesia dari semua kalangan. Dalam realitanya, seperti yang telah dijelaskan pada pendahaluan, parlemen kita membuat beberapa produk kebijakan kontroversial yang mengundang rasa penasaran masyarakat kepada DPR.

Berdasarkan penelitian Aidulsyah dan rekan rekannya (2020) di lembaga independen, Marepus Corner, yang meneliti peta sebaran pebisnis di parlemen, menunjukan bahwa sebgaian besar yang duduk di parlemen adalah pebisnis. Pebisnis dalam penelitian tersebut terbagi menjadi pebisnis langsung dan pebisnis tidak langsung. Pebisnis langsung ialah anggota DPR yang mengisi jabatan atau posisi strategis di suatu perusahaan atau korporasi. Selanjutnya pebisnis tidak langsung, yaitu anggota DPR yang kerabatnya memiliki perusahaan atau korporasi.

Dari penelitian tersebut juga, didapatkan hasil bahwa 5-6 orang dari 10 Anggota DPR ialah pebisnis. Dari persebaran tersebut, Semua partai memiliki kelompok pebisnis dan yang terbesar berasal dari Partai PDI-P, selaku partai pemenang pemilu, diikuti Partai Gerindra, Partai Golkar, dan partai lainnya.

Melalui penelitian tersebut juga menerangkan dalam kelompok pebisnis tersebut sektor usaha yang paling banyak dari hasil survei tersebut adalah pada bidang teknologi, industri, manufaktur dan ritel serta bidang energi dan migas.

Dari data penelitian yang dilakukan   Aidulsyah dkk., sangat memungkinkan bahwa kebijakan kontroversial yang disetujui oleh parlemen kita adalah sebuah agenda oligarki. Ada beberapa elemen masyarakat seperti akademisi, mahasiswa dan lainnya menganggap bahwa ada produk kebijakan yang hanya berpihak kepada segelintir orang khususnya para pebisnis dikarenakan latar belakang para anggota DPR yang sebagian besar adalah pebisnis. Lalu apa hubungannya terhadap beberapa produk kebijakan kontreversial dengan oligarki yang terjadi saat ini?

Jika kita melihat agenda DPR saat ini dalam perubahan atau Revisi UU KPK. Mereka beralasan agar KPK sebagai lembaga yang memberantas korupsi bisa lebih kuat, Nyatanya? Bisa kita lihat pada kasus-kasus korupsi saat era pandemi saat ini. Oh, mungkin sudah jauh kebelakang kinerja nya sama saja? Jika kita melihat kilas balik pemerintahan orde baru, pemerintahan ini sangat tidak menyukai lembaga Independen, terutama yang berkaitan dengan bidang hukum. Jika kita melihat lagi ke jaman sekarang, para penguasa selalu menyalahkan persoalan hukum diatas kata-kata ‘investasi’ atau ‘pembangunan nasional’ tanpa melihat secara utuh  lembaga atau oknum apa yang menjadi pengahambat. Di titik itulah gaya oligarki orde baru benar-benar diikuti dengan sangat baik. Setelah revisi UU KPK, agenda selanjutnya ialah UU Minerba dengan beberapa isi yang menguntungkan pebisnis tambang seperti perizinan yang sangat berhubungan dengan sektor usaha anggota DPR yang paling besar yaitu bidang teknologi, industri, manufaktur dan ritel serta bidang energi dan migas. Lalu terakhir ialah persitiwa yang masih cukup hangat, yaitu pengesahan UU Omnibus Law. Dalam pembuatan produk kebijakan tersebut, kurangnya pengikutsertaan berbagai elemen masyarakat dan parlemen yang terkesan diam-diam dalam pembuatan kebijakan ini.

Dampak dan Upaya Mengatasi Oligarki

Politik oligarki pasti akan menghasilkan dampak bagi negara ini. Sudah terlihat dampaknya adalah ada produk-produk kebijakan berdasarkan kepentingan segelintir orang, yang pada akhirnya dapat menimbulkan kesengsaraan bagi masyarakat, alam, dan juga stabilitas kedaulatan negara. Kedua, sulitnya pergantian jabatan di pemerintahan. Ketiga, adanya pemberontakan dari masyarakat yang tidak puas dengan kinerja pemerintahan.

Menurut penulis, Presiden Jokowi memiliki tanggung jawab untuk mencegah terjadinya politik oligarki ini. Dengan cara menempatkan orang yang independen pada posisi-posisi strategis, seperti Jaksa Agung, Hakim, dan para Menteri, bukan membagi-bagi jabatan kekuasaan. Hanya dengan itu upaya mencegah politik oligarki dan membuktikan janji kampanye pada periode kedua bahkan saat menyalonkan menjadi Presiden pertama kali.  

Lalu solusi apa yang bisa dilakukan masyarakat Indonesia terutama penulis? Menunggu. Ya, yang kita bisa lakukan sekarang ini ialah menunggu dan terus memberikan kritik dengan data. Menunggu pemilu anggota legislatif pada tahun 2024 yang akan datang untuk memilih secara teliti mulai dengan mengetahui latar belakang, hubungan, dan komitmen calon legislatif mendatang. Bahkan bagi kamu yang pemberani, masuklah kedalam lingkaran pemerintahan dan benahi semua permasalahnya, karena yang baru masuk lingkaran pemerintahan menurut saya hanya mempunyai dua pilihan, membenahi sistem yang sudah using atau ikut terlena dengan sistem tersebut.

REFERENSI

Aidulsyah, F., Margiansyah, D., Kurniawan, F.E., Kusumaningrum, D., Sabilla, K., & Aini, Y.N. (2020). Peta Pebisnisdi Parlemen: Potret Oligarki di Indonesia. Marepus Corner Working Paper No. 01.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun