Mohon tunggu...
Alfariz Farhan
Alfariz Farhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Ilmu Pemerintahan

Mahasiswa FISIP - Ilmu Pemerintahan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Oligarki di Tubuh Parlemen, Sampai Kapan?

18 April 2021   17:09 Diperbarui: 18 April 2021   17:21 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dino Jasuara; Gedung DPR.

Dewan Perwakilan Rakyat sejatinya memiliki fungsi sebagai penyalur aspirasi rakyat. Melalui aspirasi tersebut, dibuat produk-produk kebijakan yang harapannya dapat mensejahterakan masyarakat Indonesia dari semua kalangan. Dalam realitanya, seperti yang telah dijelaskan pada pendahaluan, parlemen kita membuat beberapa produk kebijakan kontroversial yang mengundang rasa penasaran masyarakat kepada DPR.

Berdasarkan penelitian Aidulsyah dan rekan rekannya (2020) di lembaga independen, Marepus Corner, yang meneliti peta sebaran pebisnis di parlemen, menunjukan bahwa sebgaian besar yang duduk di parlemen adalah pebisnis. Pebisnis dalam penelitian tersebut terbagi menjadi pebisnis langsung dan pebisnis tidak langsung. Pebisnis langsung ialah anggota DPR yang mengisi jabatan atau posisi strategis di suatu perusahaan atau korporasi. Selanjutnya pebisnis tidak langsung, yaitu anggota DPR yang kerabatnya memiliki perusahaan atau korporasi.

Dari penelitian tersebut juga, didapatkan hasil bahwa 5-6 orang dari 10 Anggota DPR ialah pebisnis. Dari persebaran tersebut, Semua partai memiliki kelompok pebisnis dan yang terbesar berasal dari Partai PDI-P, selaku partai pemenang pemilu, diikuti Partai Gerindra, Partai Golkar, dan partai lainnya.

Melalui penelitian tersebut juga menerangkan dalam kelompok pebisnis tersebut sektor usaha yang paling banyak dari hasil survei tersebut adalah pada bidang teknologi, industri, manufaktur dan ritel serta bidang energi dan migas.

Dari data penelitian yang dilakukan   Aidulsyah dkk., sangat memungkinkan bahwa kebijakan kontroversial yang disetujui oleh parlemen kita adalah sebuah agenda oligarki. Ada beberapa elemen masyarakat seperti akademisi, mahasiswa dan lainnya menganggap bahwa ada produk kebijakan yang hanya berpihak kepada segelintir orang khususnya para pebisnis dikarenakan latar belakang para anggota DPR yang sebagian besar adalah pebisnis. Lalu apa hubungannya terhadap beberapa produk kebijakan kontreversial dengan oligarki yang terjadi saat ini?

Jika kita melihat agenda DPR saat ini dalam perubahan atau Revisi UU KPK. Mereka beralasan agar KPK sebagai lembaga yang memberantas korupsi bisa lebih kuat, Nyatanya? Bisa kita lihat pada kasus-kasus korupsi saat era pandemi saat ini. Oh, mungkin sudah jauh kebelakang kinerja nya sama saja? Jika kita melihat kilas balik pemerintahan orde baru, pemerintahan ini sangat tidak menyukai lembaga Independen, terutama yang berkaitan dengan bidang hukum. Jika kita melihat lagi ke jaman sekarang, para penguasa selalu menyalahkan persoalan hukum diatas kata-kata ‘investasi’ atau ‘pembangunan nasional’ tanpa melihat secara utuh  lembaga atau oknum apa yang menjadi pengahambat. Di titik itulah gaya oligarki orde baru benar-benar diikuti dengan sangat baik. Setelah revisi UU KPK, agenda selanjutnya ialah UU Minerba dengan beberapa isi yang menguntungkan pebisnis tambang seperti perizinan yang sangat berhubungan dengan sektor usaha anggota DPR yang paling besar yaitu bidang teknologi, industri, manufaktur dan ritel serta bidang energi dan migas. Lalu terakhir ialah persitiwa yang masih cukup hangat, yaitu pengesahan UU Omnibus Law. Dalam pembuatan produk kebijakan tersebut, kurangnya pengikutsertaan berbagai elemen masyarakat dan parlemen yang terkesan diam-diam dalam pembuatan kebijakan ini.

Dampak dan Upaya Mengatasi Oligarki

Politik oligarki pasti akan menghasilkan dampak bagi negara ini. Sudah terlihat dampaknya adalah ada produk-produk kebijakan berdasarkan kepentingan segelintir orang, yang pada akhirnya dapat menimbulkan kesengsaraan bagi masyarakat, alam, dan juga stabilitas kedaulatan negara. Kedua, sulitnya pergantian jabatan di pemerintahan. Ketiga, adanya pemberontakan dari masyarakat yang tidak puas dengan kinerja pemerintahan.

Menurut penulis, Presiden Jokowi memiliki tanggung jawab untuk mencegah terjadinya politik oligarki ini. Dengan cara menempatkan orang yang independen pada posisi-posisi strategis, seperti Jaksa Agung, Hakim, dan para Menteri, bukan membagi-bagi jabatan kekuasaan. Hanya dengan itu upaya mencegah politik oligarki dan membuktikan janji kampanye pada periode kedua bahkan saat menyalonkan menjadi Presiden pertama kali.  

Lalu solusi apa yang bisa dilakukan masyarakat Indonesia terutama penulis? Menunggu. Ya, yang kita bisa lakukan sekarang ini ialah menunggu dan terus memberikan kritik dengan data. Menunggu pemilu anggota legislatif pada tahun 2024 yang akan datang untuk memilih secara teliti mulai dengan mengetahui latar belakang, hubungan, dan komitmen calon legislatif mendatang. Bahkan bagi kamu yang pemberani, masuklah kedalam lingkaran pemerintahan dan benahi semua permasalahnya, karena yang baru masuk lingkaran pemerintahan menurut saya hanya mempunyai dua pilihan, membenahi sistem yang sudah using atau ikut terlena dengan sistem tersebut.

REFERENSI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun