Salah satu Jurnalis asal Kanada, Carl Honore menulis ""We are living a fast life, instead a good life,". Penulis buku berjudul "In the Praise of Slowness" ini telah memberikan inspirasi orang-orang di berbagai belahan dunia untuk menjalani slow living. Ia sendiri sempat terobsesi dengan pola hidup cepat, namun di suatu waktu ia akhirnya menyadari betapa keringnya ritme hidup seperti itu.
Gerakan ini pada awalnya mendapat inspirasi dari protes besar--besaran di Roma, Italia pada tahun 1986. Bermula dari Carlo Petrini yang memprotes pembukaan gerai makanan cepat saji (fast food) di ibukota Italia tersebut.Â
Seiring waktu, gerakan ini akhirnya berkembang menjadi subkultur di berbagai aspek, mulai dari gerakan slow food, slow parenting, slow fashion, slow traveling hingga slow career.
Gerakan ini hendak menyalurkan dan mendorong hasrat manusia masa kini agar memiliki kehidupan yang  bermakna. Salah satu slogan yang dihayati oleh orang-orang yang merayakan prinsip hidup lambat ini adalah less is more.
Mereka percaya bahwa efektifitas bisa dicapai apabila sesuatu itu dilakukan dengan waktu yang tepat, bukan dipercepat. Oleh karena itu, Slow Living Movement ini sejatinya bukan mengajak kita untuk melakukan segala hal dalam tempo lama laksana keong. Gerakan ini mengajak kita menemukan ritme yang tepat, kecepatan sesuai kebutuhan, alias "the right speed" untuk melakukan segala sesuatu.
Di sektor pekerjaan, konsep slowliving ini juga telah diadaptasi oleh Filimundus, perusahaan pengembang aplikasi di Stockholm, sejak 2015. Menurut CEO Filimundus, Linus Feldt, bekerja selama 8 jam sehari tidak efektif. "Tetap fokus bekerja selama 8 jam sehari itu merupakan tantangan besar, apalagi di saat yang bersamaan, kita memiliki urusan dan kehidupan pribadi." kata Feldt di situs Independent.
Santai mki, dunia ji ini, begitu kata satir orang Makassar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H