Anda mau bayar tagihan listrik, tagihan air, tagihan telepon, cicilan motor, cicilan rumah, asuransi kesehatan, maka anda tak perlu panas--panasan keluar rumah, sebab cukup dengan menggunakan Pay-Tren (ini bukan promosi), semua bisa teratasi.
Bahkan jika anda memiliki cita-cita menjadi ustadz atau kini telah berhijrah dan sedang dimabuk agama, anda tak perlu lagi bersusah-susah mendatangi majelis para guru, kiyai, habib dan syaikh untuk mendapatkan setetes ilmunya (talaqqi), cukup membeli kuota lalu membuka youtube atau google, maka apapun yang anda tanyakan seputar agama, semuanya telah tersedia di situ.
Maka pada titik tertentu, potret kehidupan seperti ini akan membentuk apa yang diistilahkan oleh Paul Virilio (1989) sebagai masyarakat diam (society of the sedentarisness) atau masyarakat tontonan (society of the spectale) kata Guy Debord (1983).Â
Mengapa demikian, sebab kini bukan lagi manusia yang bergerak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tetapi kebutuhan itu sendiri yang akan bergerak menghampiri si manusia. Kesemuanya dapat kita raih hanya dalam satu genggaman di gawai kita.
Kecepatan dan Kehidupan Autentik yang Memudar
Pola kehidupan masyarakat perkotaan (modern) yang disesaki dengan berbagai rutinitas yang padat dengan sendirinya akan "memaksa" individu agar menjalankan aktivitasnya dengan cepat (prinsip efesiensi)--mulai dari mobilisasi, penyebaran informasi hingga pemenuhan kebutuhan konsumsi. Namun pertanyaan sederhananya adalah apa sejatinya yang hendak dicapai dari pola hidup yang serba cepat ini?
Sungguh durasi dan tempo kehidupan yang serba cepat nan instan tanpa disadari dapat menggiring manusia kepada sebuah situasi kehidupan yang dangkal, hampa dan nir-makna. Hal ini disebabkan karena manusia tak lagi memiliki jeda waktu untuk menghayati dan mengevaluasi berbagai aspek kehidupannya. Â
Mereka hanya menenggelamkan diri pada rutinitas yang padat, namun tak meraih nilai hakikat (Wesen).
Di tengah denyut kesibukan masyarakat modern, mungkin tak seorang pun lagi menyempatkan diri untuk menginsafi kesehariannya (conditio humana). Barangkali kita tak lagi menyaksikan orang tua yang sempat mengantarkan anaknya ke sekolah karena telah diantar oleh transportasi online, tak lagi mencicipi ke-khas-an masakan ibu karena kehadiran fastfood dan delivery food, bahkan mungkin tak ada lagi tegur sapa antar tetangga dan teman sebaya di dunia nyata, karena kita sudah saling berjumpa di dunia maya. Â
Maka mengembalikan kehidupan yang autentik adalah jalan keluar dari arus kehidupan yang banal dan serba cepat ini. Sebuah gambaran kehidupan dimana manusia berperilaku sebagai manusia bukan sebagai mesin. Heidegger (filsuf Jerman) telah berpesan agar menghadirkan kesadaran dalam segala sesuatu (proses meng-ada), dengan lingkungan (Umwelt), dengan orang lain (Mitwelt), dan diri sendiri (Selbswelt).
Slow Living Movement:Â Antitesa dari Pola Hidup Cepat