Istilah "serba cepat" atau "serba instan" telah menjadi satu diskursus umum bagi masyarakat kita terutama mereka yang hidup di dalam atmosfer masyarakat industri perkotaan. Mulai dari pelayanan birokrasi, lalu lintas transportasi, penyebaran informasi hingga transaksi ekonomi, semuanya dituntut agar bisa bergerak menggunakan logika percepatan. Semakin cepat sesuatu itu, maka dimaknai semakin modern dan maju sebuah peradaban.
Menurut Marshall Berman (1998), proses modernisasi tidak lagi sekedar identik dengan kebaruan sesuatu, tetapi juga mesti ditandai oleh kecepatan sesuatu. Pada titik tertentu, tempo kehidupan sosial-budaya masyarakat hari ini akan membentuk satu proses seleksi alamiah berdasarkan "kebaruan" dan "kecepatan" tersebut. Menolaknya sama saja akan membunuh eksistensi diri sebab dengan sendirinya akan teralienasi dari kehidupan sosial di sekitarnya.
Anthony Giddens, Sosiolog Inggris mengibaratkan modernitas seperti "Juggernaut" yang siap menggilas siapa saja yang menolaknya. Kita tengah menyaksikan becak dan ojek konvensional digilas oleh kehadiran transportasi online. Fitur pengirim pesan SMS digilas oleh aplikasi LINE, WA dan sejenisnya. Jasa pengiriman barang POS digilas oleh JNE dan J&T. Majalah dan koran juga ikut digilas oleh kehadiran media online. Kecepatan telah menjadi kebutuhan dasar masyarakat modern dewasa kini.
Kecepatan dan Terciptanya "Masyarakat Diam"
Ada banyak perubahan radikal yang kini sedang kita alami sebagai implikasi dari penerapan logika kecepatan. Kini orang tidak perlu lagi ke toko untuk membeli pakaian, perabotan rumah tangga, atau kendaraan karena kita dapat membelinya di "toko virtual".Â
Kini orang tidak perlu lagi memasak atau keluar rumah membeli makanan, sebab orang dapat memesannya via Go-Food/Grab-food. Bahkan nyaris seluruh proses transaksi ekonomi kini dapat dilakukan melalui satu aplikasi virtual; bayar asuransi, bayar tagihan, bayar iuran hingga bursa saham.
Di sektor lain semisal pendidikan, mahasiswa indonesia  tak perlu lagi jauh-jauh menghadirkan fisiknya di kampus Harvard, MIT, atau Cambridge, sebab kini telah hadir sebuah metode belajar jarak jauh melalui platform bernama MOOC.Â
Ataukah untuk sekedar mencari ilmu saja tanpa memperdulikan kualifikasi ijazah, maka pada hakikatnya seseorang tak perlu lagi sekolah atau kuliah, sebab kini cukup dengan berguru kepada "Profesor Google" maka apapun bisa kita ketahui.Â
Syahdan, di era masyarakat post--industri hari ini, nyaris seluruh aspek kehidupan kita telah bersentuhan dengan sistem elektronik (online). Hal ini menyebabkan peralihan kondisi kehidupan dari pola kehidupan ekspansif (penjelajahan) menuju pola kehidupan implosif (penghisapan).Â
Seumpama sistem orbit dimana manusia menjadi pusat gravitasinya dan dikitari oleh berbagai kebutuhannya (makanan, kendaraan, pengetahuan, hiburan).
Ilustrasinya seperti ini: Anda mau makan, Anda mau bepergian, Anda mau membeli dan mengantar barang, maka Anda duduk cantik saja di rumah dan cukup memesannya via Grab atau Go-jek maka semuanya dapat terpenuhi.Â