Mohon tunggu...
Achmad faizal
Achmad faizal Mohon Tunggu... -

Sosiologi Universitas Hasanuddin. Dapat berkorespondensi melalui achmadfaizalxxx@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Apakah Filosofi "Kerja yang Membebaskan" Hanya Sebatas Angan?

7 Mei 2018   05:55 Diperbarui: 8 Mei 2018   02:06 3427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akibat dari pola kerja yang kaku seperti itu, para buruh hanya bisa mengharapkan waktu akhir pekan untuk menyegarkan kembali (refreshing) otak dan ototnya. Sehingga waktu akhir pekan hanyalah semacam kompensasi bagi para buruh karena mereka dapat menggunakannya untuk berlibur dan menghibur diri. Maka lahirlah kebiasaan liburan akhir pekan dan akhirnya terlembagakan di tengah masyarakat modern perkotaan.

Mengenai kebiasaan berlibur akhir pekan ini, Herbert Marcuse (Filsuf Mazhab Frankfurt) menyinggungnya sebagai "masturbasi budaya". Menurutnya, berlibur akhir pekan merupakan konsekuensi dari kenikmatan yang ditunda-tunda ketika pekerja tak lagi berkuasa atas waktunya karena harus bekerja sesuai SOP (standard of procedure) para pemilik kapital. Lantas, jika sudah seperti ini potret umum para pekerja yang tak memiliki kuasa penuh atas dirinya, maka slogan "kerja membuatmu bebas" hanyalah tinggal kata.

Mewujudkan Kerja Yang Membebaskan   

Buya Hamka pernah berpesan bahwa "Jika hidup sekedar hidup, babi di hutan juga hidup. Jika kerja sekedar kerja, kera juga bekerja". Terang, dari petuah ini kita dapat memetik hikmah bahwa sejatinya pekerjaan yang dilakukan sepatutnya dapat dimaknai dan dihayati sebagai proses meraih hakikat kehidupan. Sebab, yang membedakan kerja manusia dengan kerja mesin adalah kemampuan manusia menghadirkan kesadaran jiwanya dalam melakukan sesuatu atau Martin Heidegger menyebutnya sebagai "proses mengada" dalam waktu otentik (Das Sein).

Oleh karena itu, Marcuse kembali membedakan antara istilah "buruh" dan "pekerja". Buruh adalah orang yang bekerja dengan menindas jiwanya, kerja hanya semacam bentuk keterpaksaan dan penindasan. Sebaliknya, pekerja adalah orang yang bekerja dengan mengikutsertakan jiwanya, kerja dihayati sebagai sumber kebahagiaan dan kebebasan. Tak berlebihan jika Marx mengatakan bahwa jika kau merasa menderita dalam kerjamu, maka sebenarnya kau berkerja bukan untuk dirimu, tetapi untuk orang lain (bosmu).

Tetapi kesemuanya itu hanyalah omong kosong belaka apabila sistem juga belum mendukung. Jika standar pengupahan belum mensejahterakan, durasi kerja masih mengekang, serta iklim kerja tak memberdayakan, maka sulit untuk mewujudkan kerja yang membebaskan itu. 

Mari menengok Google sebagai contoh perusahaan dengan indeks pekerja paling bahagia di dunia. Upah memuaskan, durasi kerja tak mengekang serta iklim perusahaan yang memanjakan adalah beberapa variabel yang masih sulit diterapkan di Indonesia.

Wallahu A'lam.

Oleh : Achmad faizal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun