Oleh : Achmad Faizal
"Orang - orang mengenali dirinya lewat barang - barang yang mereka miliki. Mereka menemukan jiwanya pada mobil - mobil mereka, Hi-Fi set mereka, rumah mewahnya yang bertingkat serta peralatan dapur mereka." Â (Herbert Marcuse).
Salah satu ciri utama dari masyarakat modern (kekinian) adalah perangkat teknologi mutakhir yang menghiasi laku kehidupannya. Marcuse menyebutnya sebagai masyarakat teknologis. Untuk konteks masyarakat Indonesia, kita tidak tahu pasti apakah sudah sepenuhnya modern atau justru langsung melompat ke tahap postmodern. Misalnya kita mungkin seringkali berjumpa dengan orang -orang yang semangat berhijrah, giat beribadah dan rajin berdakwah (semangat postmo) dan disaat yang bersamaan mereka juga dapat mengikuti tren kekinian (modernitas) ; selfie di media sosial, nongkrong di mall - mall  ataupun mengenakan pakaian merk terkenal. Â
Secara historis, lahirnya teknologi modern dapat kita telusuri jejaknya pada saat terjadinya revolusi industri di Inggris sekitar akhir abad 18. Revolusi tersebut ditandai dengan penyempurnaan mesin uap pada tahun 1769 yang sekaligus menjadi langkah awal penggunaan mesin di berbagai aspek kehidupan manusia. Revolusi tersebut juga ternyata membawa implikasi sosiologis terhadap perubahan struktur sosial - ekonomi masyarakat Inggris dan Eropa secara umum.
Hingga kini, kita telah memasuki revolusi industri keempat (Revolusi 4.0) yang ditandai dengan penemuan teknologi - teknologi mutakhir seperti AI (artificial intelligence), MOOC (kuliah jarak jauh), robotic, drone, bioteknologi, nanoteknologi dan lain sebagainya. Proses revolusi 4.0 pada abad 21 ini sangat kental dengan perpaduan berbagai disiplin ilmu diantaranya ; fisika, biologi dan teknologi digital serta rekaya genetika. Rhenald Khasali menyebut abad ini sebagai era disrupsi yakni sebuah perubahan yang terjadi secara mendasar dan total dalam berbagai dimensi kehidupan manusia terutama di bidang ekonomi bisnis.
Adapun revolusi industri kedua (Revolusi 2.0) yang ditandai dengan penemuan listrik pada abad 19 dan revolusi ketiga (Revolusi 3.0) yang ditandai dengan penemuan komputer dan internet pada abad 20 juga sedikit banyak mereformasi struktur sosial masyarakat hingga pandangan hidup seseorang. Lahirnya paham - paham seperti individualisme, kapitalisme, hedonisme, konsumerisme, narsisme adalah contoh pandangan hidup yang kelahirannya sangat bersinggungan dengan revolusi industri atau perkembangan teknologi modern tersebut.
Realitas Masyarakat Teknologis
Secara sekilas nampak tak ada persoalan apa - apa dari penggunaan perangkat teknologi modern dalam kehidupan sehari hari. Namun bagi Marcuse, justru disitulah letak inti persoalannya karena teknologi modern telah berhasil memanipulasi kesadaran kita. Kita tak lagi mampu menggunakan teknologi secara sadar dan kritis, sehingga yang terjadi adalah penguasaan teknologi atas diri kita, tubuh kita bahkan jiwa kita dan bukan sebaliknya.
Bagi Marcuse, kehadiran teknologi modern melahirkan masyarakat satu dimensi (one dimensional man), yakni sebuah gambaran masyarakat yang pola hidupnya nyaris seragam dan diarahkan kepada satu tujuan, satu pikiran, dan satu kebutuhan. Oleh karena itu, kita perlu mengenal ciri - ciri masyarakat teknologis seperti apa, sehingga kita mampu mengembalikan martabat manusia dihadapan teknologi yang ia ciptakan sendiri.
Ciri pertama dari masyarakat teknologis bagi Marcuse adalah peran manusia tidak menonjol sebab manusia dianggap tidak penting, yang penting adalah teknologinya. Akibatnya adalah manusia akan teralienasi dari sisi kemanusiaannya. Misalnya ketika ada pameran produk mobil atau smartphone terbaru, maka yang paling penting ditonjolkan adalah produk teknologinya sementara para SPG (sales promotion girl) dianggap hiasan pelengkap saja dari pameran tersebut. Kecuali jika SPG - nya adalah Natasha Wilona atau Milea, tentunya mereka akan mampu menyaingi daya tarik produk yang dipamerkan.
Selanjutnya ciri kedua dari masyarakat teknologis adalah teknologi tidak lagi menjadi instrumen pembebasan sebagaimana tujuan mulanya, tetapi telah menjadi instrumen penindasan. Teknologi semakin berani mengambil alih peran manusia yang telah menciptakannya. Kita saksikan betapa banyak PHK terjadi disebabkan oleh kehadiran teknologi robot dan komputer dalam dunia industri. Kemudian kini penjaga TOL telah tergantikan oleh sistem e-money, begitupun sistem birokrasi kita semakin termekanisasi oleh absen fingerprint dan CCTV, bahkan untuk kelas negara maju, jangan pernah mencari petugas kebersihan, tukang parkir, kernet angkutan umum atau pak ogah di pembelokan jalan.
Ciri ketiga dari masyarakat teknologis adalah teknologi semakin mengarahkan dan menentukan arah kehidupan manusia. Misalnya, sebelum mengunggah sesuatu entah foto atau status, kita lebih memikirkan apakah akan mendapatkan like dan komentar yang banyak atau tidak (pertimbangan teknologis), ketimbang memikirkan apa tujuan dan kualitas unggahan kita. Sehingga pada akhirnya aplikasi media sosial lebih mampu menentukan editan foto apa yang akan kita unggah.
Kemudian contoh lain misalnya, mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali, tubuh dan jiwa kita nyaris dikontrol oleh teknologi bernama HP. Saat kita bangun tidur, hal yang pertama dilakukan adalah cek HP. Mau makan, belajar, rapat, nongkrong juga diselingi main HP dan pada akhirnya sebelum tidur juga main HP. Pola hidup seperti ini nyaris dilakukan oleh siapa saja yang menggunakan smartphone. Entah dia guru besar atupun buruh kasar, mahasiswa ataupun pedagang kaki lima, tatkala berada dihadapan HP, kita semua adalah "budak" nya.
Bahkan pada kondisi tertentu, seseorang dapat mengalami derita psikologis seperti merasa ada yang kurang, hampa dan jenuh jika sedikit saja ia jauh dari HP-nya. Oleh karena itu, sekiranya Abraham Maslow masih hidup, ia akan merivisi teorinya tentang piramida kebutuhan manusia dengan menempatkan smartphone berikut jaringan internet sebagai kebutuhan fisiologis (basic needs) manusia.
Kemudian ciri terakhir dari masyarakat teknologis adalah manusia semakin irasional secara universal. Sekilas pernyataan tersebut nampak ambigu sebab prinsip dasar modernitas adalah semakin modern seseorang (menggunakan teknologi mutakhir) maka semakin rasional corak berfikirnya. Tetapi di situlah letak kritikan Marcuse. Ia menganggap bahwa masyarakat modern yang tercerahkan oleh rasionalitasnya justru terjebak oleh rasionalitasnya sendiri sehingga modernitas hanyalah mitos (irasional) belaka.
Bentuk ambigu dari logika berfikir masyarakat teknologis adalah terjadinya kesatuan antara produktifitas dan destruktifitas, penindasan dan pembebasan, pembangunan dan pengrusakan. Misalnya produksi senjata nuklir dan tuntutan perdamaian atau pengembangan wilayah kota dan penggusuran rumah warga. Maka pada akhirnya yang tergambarkan dari wajah masyarakat teknologis adalah mereka rasional dalam hal detil (menggunakan teknologi mutakhir, efesiensi, pencapaian terukur, maksimalisasi profit) tetapi irasional dalam hal universal (meruntuhkan nilai kemanusiaan, mengganggu keseimbangan alam).
Lalu Apa Solusinya om Marcuse ?
Seperti sebelumnya telah dikatakan bahwa Marcuse sangat pesimis terhadap modernitas dan kemajuan teknologi modern, sehingga Ia menawarkan solusi radikal terhadap persoalan tersebut yakni mengkampanyekan "The Great Refusal" (penolakan secara besar - besaran). Apanya yang ditolak ?. yakni segala bentuk status -- quo atau establishment yang mapan atau minimal melakukan upaya kritik terhadapnya ; Kapitalisme, HAM, Demokrasi, Teknologi dan segala produk modernitas.
Dan satu - satunya kelompok masyarakat yang mampu mengemban misi ini bagi Marcuse adalah para kaum muda, mahasiswa, atau cendekia yang kritis. Melalui kekuatan intelektualitasnya, mereka diharapkan mampu melancarkan serangan kritis. Namun andai saja om Marcuse masih hidup dan menyaksikan bagaimana wajah para pemuda, mahasiswa dan kaum cendekia hari ini, tentu ia semakin pesimis terhadap modernitas.
Bukan karena tidak adanya lagi orang -orang yang kritis, tetapi dalam abad imperium citra hari ini, seringkali kita sulit membedakan mana yang murni kritis dan seolah - olah terlihat kritis. Yang dimaksud seolah -olah kritis adalah jumlah pencitraannya jauh lebih besar daripada perubahan yang diciptakan.
Wallahu a'lam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H