Mohon tunggu...
Achmad faizal
Achmad faizal Mohon Tunggu... -

Sosiologi Universitas Hasanuddin. Dapat berkorespondensi melalui achmadfaizalxxx@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Euforia Nikah Muda

5 Januari 2018   07:21 Diperbarui: 5 Januari 2018   13:16 3839
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
rifdoisme.files.wordpress.com

Oleh : Achmad faizal

Beberapa hari belakangan ini, jagat sosial media kembali dihebohkan dengan viralnya berita perceraian dari kalangan selebriti (islami) tanah air. Yang menjadikannya menarik bukan pada aspek tragedi perceraiannya sebab tren perceraian di kalangan selebriti menjadi barang yang biasa. Tetapi yang menjadikannya menarik justru aktor yang terlibat di dalamnya yaitu Taqy Malik dan Salmafina (temannya Awkarin). Diketahui kedua sejoli tersebut "nyaris" menyandang gelar sebagai role model pasangan nikah muda terislami tanah air (setelah pernikahan Alvin, anak Ustad Arifin ilham), dan kini keduanya malah dirundung perkara perceraian yang mana usia pernikahannya masih seumur jagung.

Gelar tersebut sah - sah saja disabet oleh kedua pasangan itu mengingat indikator rumah tangga idaman bagi pemuda hijrah tanah air sedikit banyak telah melekat pada rumah tangga pasangan tersebut. Sang pria yang tampan dan hafidzh qur'an dengan lantunan suara merdunya yang mampu menggetarkan hati yang kering kerontang, maka wanita mana yang tidak merasa nyaman dan tenteram ?. Adapun sang wanita yang kini telah berhijrah secara simbolis dengan memilih menggunakan niqab (cadar) yang bagi pandangan orang awam sebagai standar wanita shalehah. Maka pria mana yang tidak merasa aman meskipun ia ditinggal sendirian ?.

Tetapi mungkin benar adanya jika rumput tetangga memang seringkali terlihat lebih hijau. Tak disangka, kedua sejoli tersebut akhirnya bercerai dan seketika gelar tersebut seolah runtuh.

Perceraian keduanya seakan menjadi sinyal negatif bagi para aktivis dakwah nikah muda tanah air, bahwa menikah di usia yang relatif muda tidak menjamin terwujudnya potret kebahagiaan seperti apa yang seringkali disaksikan di sosial media. Postingan - postingan gambar kemesraan berikut video kebahagiaan yang dibungkus rapi oleh kemasan halalnya pernikahan kini seakan sirna dan semuanya seolah tipuan dan palsu belaka. Sebagaimana karakter sosial media yang mampu memanipulasi kesadaran penggunanya agar senantiasa mengunggah sesuatu (foto/video) yang hanya memuat unsur canda tawa, bahagia dan sejahtera saja, maka begitupun dengan postingan artifisial para aktivis nikah muda itu.

Pasca viralnya berita perceraian tersebut, akhirnya saya urung dan murung mengikuti jejak langkahnya untuk memilih menikah muda. Dengan sadar diri saya bergumam, dia saja yang tampan, mapan dan hafidz qur'an dengan mudahnya dirundung perceraian hanya karena perkara celana apatahlagi dengan saya yang masih sulit berdamai dengan perkara kapan waktu sarjana.

Euphoria Nikah Muda

Sebenarnya pernikahan di usia muda (23 tahun kebawah atau masih berstatus pelajar) bukanlah sesuatu yang aneh dan diluar kelaziman masyarakat Indonesia apalagi bagi orang - orang keturunan Bugis -Makassar. Pemandangan nikah muda itu menjadi hal yang biasa bagi kakek -nenek kita dahulu. Cobalah sesekali mewawancarai (in-depth interview) orang - orang tua dulu terkait alasan mereka melakukan pernikahan di usia yang relatif muda. Maka paling tidak ada dua alasan yang sering muncul, pertama ; dijodohkan, kedua ; faktor ekonomi.

Lalu bagaimana dengan fenomena nikah muda dewasa kini ?. Apakah tren nikah muda  hari ini juga dilatari oleh kedua alasan sebelumnya ?. Saya justru melihat bahwasanya kedua faktor tersebut nampaknya telah usang. Mengapa ?. 

Pertama, konsekuensi hidup di era keterbukaan informasi seperti sekarang sedikit banyak akan mengubah pola pikir orang tua masa kini menjadi lebih demokratis, sehingga perkara perjodohan pun akan mengalami pergeseran nilai (demokratisasi) yang tadinya pilihan jodoh sangat ditentukan oleh orang tua, kini kedaulatan itu diserahkan kepada anaknya. Meskipun kadang pertimbangan penilaian orang tua juga sedikit berpengaruh pada keputusan akhirnya.

Kedua, faktor ekonomi juga menjadi pemicu pernikahan dini dilakukan. Gejala umum yang seringkali hadir adalah orang tua si anak (perempuan) yang tak sanggup lagi memenuhi kebutuhan ekonominya sehingga pernikahan dini dinilai menjadi salah satu jalan untuk mengurangi beban ekonomi itu. Bahkan ketika si orang tua memiliki anak perempuan yang cantik, maka itu bisa saja menjadi modal awal untuk melakukan mobilitas sosial (vertikal). Bagi orang tua Bugis-Makassar kekinian, kecantikan anaknya dinilai masih mujarab untuk mendulang "harta" melalui mekanisme uang panai'.

Syahdan, fenomena nikah muda yang kini lagi tren nampaknya lebih disebabkan oleh faktor lain yakni dimensi agama dan sosial media. Pertama,faktor agama. Saya justru melihat bahwa kini agama (Islam) dijadikan justifikasi untuk menggalakkan gerakan nikah muda. Para pemuda seringkali digambarkan sebagai makhluk yang memiliki libido seksual yang tinggi dan dikhawatirkan akan terjerumus ke dalam lembah perzinahan melalui mekanisme pacaran atau pelacuran.  Dengan berlandaskan dalil tentang bahaya mendekati zina, maka agama (islam) menawarkan solusi terbaik yaitu pernikahan. Sekilas alur berfikir seperti ini benar tetapi justru menimbulkan kesan polarisasi wacana bahwa kalau tidak mau berzina, yah segera menikah. 

Mengapa tidak belajar gagasan psikoanalisis Freud tentang mekanisme pertahanan diri (self defence mechanism) ? Secara teoritis, hasrat seksual (id) bisa disalurkan atau dikendalikan tidak melulu melalui hubungan badan. Misalnya melalui pendekatan displacement (penggantian), libido seksual (id) bisa disalurkan ke objek lain seperti berlibur, berenang, berkuda dan seterusnya. Atau juga bisa dikontrol melalui pendekatan represi yakni puasa sebagaimana anjuran Nabi SAW.

Maka tak heran jika belakangan ini seminar tentang nikah muda lagi subur - suburnya tumbuh di kalangan muda terutama aktivis dakwah. Bahkan kini nikah muda telah menjadi sebuah gerakan sosial yang dibuktikan dengan hadirnya berbagai komunitas pro nikah muda dan pemuda hijrah seperti "Indonesia Tanpa Pacaran", "Gerakan Nikah Muda" dan sejenisnya.

Melalui organisasi/komunitas tersebutlah, para pegiat nikah muda melakukan infiltrasi gagasan kepada kalangan muda terutama mahasiswa. 

Kedua,sosial media. Kegiatan seminar tanpa sosial media ibarat ujian skripsi tanpa revisi, pasti akan terasa hambar. Maka melalui platform sosial media, kampanye nikah muda menjadi lebih hidup dan lebih efektif mengingat penduduk Indonesia lagi gencar-gencarnya berimigrasi ke sosial media (80 juta orang indonesia telah mengantongi KTP sosial media). Maka jika ada artis sosial media melakukan nikah muda misalnya, maka potensi perubahan juga berimplikasi bagi para pengikutnya. Kalaupun tidak banyak dari pengikutnya yang berhasil menikah muda, minimal niat untuk segera menikah seketika muncul.

Dengan massifnya gerakan nikah muda plus kampanye poligami yang seringkali mencatut nama islam, pada titik tertentu akan mereduksi keagungan islam itu sendiri. Seakan akan islam hanyalah agama yang sibuk dengan urusan selangkangan belaka.

Tanpa mengurangi urgensi dari pernikahan itu sendiri, gerakan nikah muda sepatutnya tidak perlu terlalu digaungkan. Saya malah khawatir, jika kesadaran para pemuda kini hanya difokuskan pada perkara semacam ini.

Masih terlalu banyak masalah umat yang lebih subtansi untuk dituntaskan seperti kemiskinkan, kebodohan, ketimpangan, kerusakan lingkungan dan sebagainya. Dan tentunya dibutuhkan gagasan gagasan segar dari pemuda.

Wujudkan Pernikahan Progresif 

Sebagai catatan akhir, bagi saya tidak ada yang salah dengan menikah di usia muda dan membenarkan nikah di usia tua, sebab keduanya adalah pilihan. Bahkan memutuskan untuk tidak menikah sekalipun adalah sebuah pilihan. Kalian mau seperti Bung Karno yang menikah di usia muda, ataukau Bung Hatta yang menunda untuk menikah hingga usia 43 demi menunggu Indonesia merdeka atau seperti Tan Malaka yang tidak menikah - menikah (hahaha).

Meskipun sebagai seorang muslim, saya masih mengaminkan pernikahan sebab itu adalah salah satu sunnah Rasul. Tetapi ada satu hal yang paling mendasar yang perlu disadari yaitu pernikahan bukan sekedar urusan selangkangan dan penyaluran kasih sayang, namun pernikahan adalah pondasi pertama yang harus dikuatkan sebelum membangun dan membina generasi yang akan datang.

Saya masih menaruh harapan yang besar terhadap institusi keluarga sebagai penyelamat nasib bangsa yang kini dirundung beragam masalah. Keluarga sebagai unit terkecil dari sebuah tatanan masyarakat menjadi benteng terakhir bagi individu dalam mewariskan nilai dan cita -citanya. 

Oleh karena itu, untuk melahirkan generasi yang inklusif, kritis dan progresif maka setidaknya dimulai dari membangun bahtera rumah tangga yang progresif pula. Dan untuk mewujudkannya, tentu dimulai dari memilih pasangan (wanita) yang progresif pula.

Saya justru membayangkan jika kelak ada orang tua calon yang menjadikan standar mahar pernikahan bukan hanya seperangkat alat sholat, emas dan uang panai' semata tetapi si calon juga harus menempuh mekanisme screening. Misalnya screening mengenai isi Das Kapital-nya Marx, atau Sapiens -- nya Yuval Noah Harari, atau Falsafatuna-nya Baqir al Sadr. Juga bisa melalui persembahan karya tulis berupa Jurnal terindex scopus atau sebuah buku seperti apa yang dilakukan oleh bung Hatta dulu. Tentunya pra-syarat ini jauh lebih visioner. Bukan ?   

*Gampanna  berteori dih ? hahaha  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun