Mohon tunggu...
Achmad faizal
Achmad faizal Mohon Tunggu... -

Sosiologi Universitas Hasanuddin. Dapat berkorespondensi melalui achmadfaizalxxx@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Filosofi Tahun Baru

1 Januari 2018   14:56 Diperbarui: 1 Januari 2019   18:04 892
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Achmad faizal

“Malam telah menunjukkan pukul 20.00 wita dan orang – orang di setiap sudut kota sedang sibuk menyiapkan aneka acara. Mulai dari pelacur hingga tukang cukur, dari balita hingga tua rentah, semua turut gembira menyambut momen pergantian tahun dengan gegap gempita. 

Jalan – jalan semakin disesaki oleh kumpulan sampah berikut manusia, sementara di sudut lain, beberapa masjid mengeluarkan suara tausyiah dari sang penceramah sembari bermunajat kepada Tuhan agar di tahun yang akan datang, umat dijauhkan dari segala malapetaka.”

Sungguh malam itu dipenuhi oleh aktivitas paradoks yang saling mengisi dan menghiasi. Saya berkeliling menyusuri beberapa sudut dan lorong kota sembari menyaksikan berbagai aktivitas masyarakat yang tengah sibuk dengan masing – masing acaranya.

Sebenarnya perjalanan saya kali ini bukan tanpa tujuan, melainkan sedang mengantar penumpang ke tempat tujuannya karena berhubung saya adalah driver Grab. Selain itu, sebagai pengamat sosial amatiran, sesekali saya mencoba mendekati realitas yang saya jumpai dengan teori – teori sosial yang sebentar lagi membusuk di kepala saya.

Sesaat saya menyaksikan kelas sosial masyarakat seakan melebur menjadi satu. Musik, alkohol dan beberapa wanita seakan menjadi menu pesta yang patut dinikmati bersama. Selain itu, sampah sisa petasan yang bertebaran dimana mana dan polusi udara yang membuat langit memerah juga tak luput dari pengamatan saya. Tentunya fenomena tersebut bukanlah sesuatu yang baru sebab ia telah menjadi aktivitas tahunan yang membosankan.

Sungguh betapa candunya perayaan tahun baru itu.  Barangkali kita telah bosan dengan format acara yang begitu – begitu saja tetapi toh faktanya kita tetap turut merayakannya. Maka mengajukan pertanyaan – pertanyaan sederhana terhadap berbagai aktivitas yang mengalami kekeringan makna bagi saya, kini menjadi penting.

Misal secara ontologis (hakikat), apa yang sebenarnya kita rayakan dari setiap momen pergantian tahun baru ?. Jika yang kita rayakan adalah momen perpindahan waktunya, maka sesungguhnya tak ada yang benar – benar baru. Sebab tahun baru hanya akumulasi waktu dari detik ke menit, menit ke jam, jam ke hari dan begitu seterusnya.

Kemudian, jika yang kita rayakan adalah proses penghayatan atas perpindahan waktunya, maka sekali lagi kita hanya terjebak pada satuan waktu. Sebab memaknai perpindahan waktu tidak perlu menunggu akhir tahun.

Belum lagi jika kita melontarkan pertanyaan – pertanyaan anak kecil semisal, apa relasi objektifnya antara meniup terompet, bakar petasan, bakar jagung, minum sarra’ba, dengan malam pergantian tahun baru ?. Apa hubungannya tahun baru dengan mengadakan pesta sex dan minuman akohol ?. 

Sederet pertanyaan tersebut bukan sekedar menyoal hadist tentang tasyabbuh yang kini banyak digaungkan oleh aktivis dakwah yang nampaknya mereka juga tak paham realitas sosiologis persilangan budaya (akulturasi). Tetapi lebih kepada proses mencari esensi dari setiap aktivitas yang kita lakukan. Dan tentunya pertanyaan – pertanyaan anak kecil semacam ini cukup menggelitik bagi orang dewasa yang lebih paham tentang cara menggunakan waktunya.

Nasihat Heidegger Dalam Memaknai Waktu

Ada hal yang menarik tatkala kita berbicara tentang waktu secara filosofis terlebih dengan mengadakan perjumpaan gagasan bersama salah satu filsuf eksistensialis Jerman bernama Martin Heidegger. Dalam karyanya, Being and Time (Ada dan Waktu, 1927), beliau merumuskan 2 tipologi waktu yaitu innerzeitigkeit dan Zeitlichkeit.

Untuk mengartikan kedua istilah tersebut secara literal, dalam kamus bahasa jerman pun sulit ditemukan padanan katanya bahkan bagi orang jerman pun sulit membahasakannya. Tetapi secara sederhana, penulis memahaminya sebagai berikut ;

       • Secara eksistensi, semua makhluk hidup berada dalam aliran waktu yang objektif.    Manusia, hewan, dan tumbuhan tak dapat memisahkan diri atau berada diluar aliran waktu tersebut. Detik, menit, jam, hari adalah aliran waktu yang dimaksud dan inilah yang diistilahkan sebagai innerzeitigkeit. Oleh karena itu, tidak ada satupun tubuh makhluk hidup yang mampu keluar atau melampaui dari satuan waktu tersebut. Sebab secara eksistensi, tubuh kita sedang berada pada waktu sekarang atau pada detik ini, menit ini, jam ini dan seterusnya. Dengan kata lain, tubuh kita tidak dapat kembali ke masa lalu maupun maju menuju masa depan.

       • Adapaun istilah Zeitlichkeit secara sederhana dapat diartikan sebagai mengada atau mewaktu. Mengada atau mewaktu berarti menyadari seutuhnya bahwa diri kita (tubuh dan jiwa) memang benar – benar ada. Oleh sebab itu, makhluk hidup yang dapat mengada atau mewaktu hanyalah manusia, sebab tindakan mengada membutuhkan aktivitas mental berupa kesadaran, penalaran, maupun ingatan dan tentunya hanya manusialah yang memiliki kemampuan tersebut. Heidegger menyematkan manusia dengan istilah Das Sein, lantaran manusia tidak hanya pasif di kendalikan waktu tetapi ia juga mampu aktif menggunakan waktu.

Seumpama binatang yang hanya disibukkan dengan aktivitas makan, tidur dan bersenggama namun ia tak pernah mampu memahami dan menghayati aktivitas tersebut. Berbeda dengan manusia, dimana ia tidak sekedar makan, tidur dan bersenggama, melainkan manusia mampu (aktif) memaknai saat – saat melakukan aktivitas tersebut. 

Maka saat- saat seperti inilah yang dinamakan aspek mengada atau mewaktu. Oleh karena itu, jika ada manusia yang hanya sekedar makan, tidur, bersenggama dan seterusnya tanpa ada upaya perenungan di dalamnya, maka ia sejatinya tidak lebih daripada binatang.

Kelebihan selanjutnya yang dimiliki oleh manusia adalah ia dapat hidup di masa lalu dengan ingatannya dan hidup di masa depan dengan angan – angannya. Sebagai contoh, ketika anda bertemu dengan mantan misalnya, maka secara eksistensi (tubuh) anda memang sedang berada pada waktu sekarang atau pada detik, menit, jam dan hari ini. tetapi secara esensi (ingatan), anda bisa saja hidup di masa lalu. Mengapa ? karena kehadiran mantan (yang seringkali identik dengan masa lalu itu) seketika dapat mengingatkan anda kembali dengan berbagai kenangan pahit tatkala masih bersamanya dulu.

Inilah keunggulan manusia dibanding dengan makhluk hidup lainnya sebab manusia tidak hanya hidup secara eksistensi layaknya hewan dan tumbuhan lainnya, tetapi ia juga dapat hidup secara esensi dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.

Manusia dan Waktu Otentik

Tahun baru telah menghampiri kita dan tentunya sebagai manusia yang memiliki kesadaran barangkali telah menyiapkan serangkaian visi misi ataupun resolusi dalam satu tahun kedepan. 

Barangkali ada diantara kita yang telah bersiap tahun ini bisa wisuda (lalu menikah). Mungkin juga ada yang telah pasang target tahun ini harus dapat kerja (untuk biaya menikah). Ataukah juga barangkali ada yang telah mematok tahun ini minimal bisa berkenalan dengan seorang wanita (supaya ada yang ditemani menikah). Masing – masing dari kita tentunya telah menyusun timeline sedemikian rupa dan tertata, meskipun pada akhirnya kita tidak memiliki kuasa untuk memastikannya (dengan siapa nanti kita akan menikah).

Oleh sebab itu, sembari kita merangkai agenda dalam kurun waktu setahun kedepan, maka satu hal yang patut disadari adalah bagaimana menjadikan setiap waktu kita sebagai waktu yang otentik. Seumpama seseorang yang saling jatuh cinta, dimana keduanya nyaris tak pernah rela melewatkan waktunya sedikit pun untuk saling menjauh darinya. Setiap detik, menit, dan jam yang dilaluinya adalah begitu sangat berharga. Maka itulah waktu otentik, dimana kesadaran kita hadir untuk memaknai setiap waktu yang tersisa.

Mengapa ini menjadi penting ?. Sebab kemampuan untuk melibatkan kesadaran dalam setiap waktu ini yang kerap hilang dari diri kita. Ketika kita berkumpul dan bercengkerama dengan kolega misalnya, betapa banyak dari kita yang betul – betul menghadirkan kesadaran kita pada saat itu ?. Faktual hanya fisik kita yang hadir, sementara kesadaran kita berkeliaran dalam dunia maya.

Wallahu A'lam Bishshawab,

Selamat (menghayati) Tahun Baru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun