Mohon tunggu...
Hajar Alfarisy
Hajar Alfarisy Mohon Tunggu... Petani - Menulis mengabadikan masa depan

Berjalan dalam kadar mengingat

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Revisi UU KPK: Jokowi Tanpa Beban

12 September 2019   13:30 Diperbarui: 22 September 2019   08:02 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat pemilihan Presiden, Oleh para politisi, almamater kampus dan kelompok agama didekati sedemikian rupa, hingga kita tak bisa membedakan antara warna politisi, akademisi dan agamawan.

Setelah terpilih, suara akademisi, dan kelompok agama mulai disisihkan. Penolakan revisi UU KPK oleh tokoh lintas agama, dan akamdemisi Kampus se Indonesia tidak memiliki ruang untuk diakomodir, interupsi diruang publik tak berguna.

Watak koruptor berdesakan, mencari celah, memenangi pertarungan. Operasi tangkap tangan KPK memang menjadi hambatan dalam merampok kekayaan negara. Yang tertangkap tangan, mereka sebut bernasib sial, nasib sial itu melingkupi bahwa korupsi itu merajalela. Pernyataan itu muncul dari dalam budaya korup yang menjamur dimana mana.

Dengan kecerdasan kejahatan yang mereka miliki, mereka  membuat sabuk pengaman hukum untuk mengamankan prilaku korupsi. Dari kekerasan individu menjadi kekerasan struktural, mereka menghindar dari "nasib sial".

Joban - Jokowi tanpa beban, memang tak bisa dimaknai sebagai menguatnya sikap sikap Jokowi pada komitmen anti korupsi. Yang nampak, Jokowi tanpa beban adalah sikap apatis Jokowi sekaligus menguatnya lingkaran kekuatan politiknya untuk melakukan praktik kesewenang wenangan mereka.

Interupsi dari akademisi kampus, tokoh lintas agama serta pegiat anti korupsi tak bisa menembus apa apa. Jokowi tanpa beban menjadi satu ruang bebas kedap suara. Dimana yang bisa didengarkan hanya suara dalam ruang itu saja.

Dan, akhirnya Jokowi pada sebelas September, mengirimkan surat persetujuan presiden untuk melanjutkan pembahasan Revisi UU KPK. Pemilihan tanggal tersebut, adalah pilihan politik agar suara publik dan media tak menyorotnya, karena publik sementara berduka dengan meninggalnya BJ Habibie.

Apa yang dilakukan Jokowi, memiliki kesamaan dengan menguatnya suara partai dan politisi merevisi UU KPK setelah pemilihan anggota legislatif dan presiden. Dengan demikian, tanda tersebut, menunjukkan kesamaan sikap antara eksekutif dan Legislatif. 16 September 2019, pemerintah dan DPR menyepakatinya. Paripurna tugas mereka melucuti kewenangan KPK.

Selamat datang para pegiat korupsi. Infrastruktur korupsi sementara dibangun, dan bersiaplah menyediakan modal investasi, tak butuh waktu lama, tak perlu takut tertangkap.

Seperti  kata Jokowi soal perizinan "Saya maunya perijinan itu, diurus hanya dalam waktu sekejap, selekas kedipan mata"

Oleh Plato, melalui alegori wayang, dalam diri manusia terdapat dua tali ; kebijaksanaan dan hasrat primitif yang menggerakkan manusia. Untungnya ada tali emas, yaitu hukum yang menengahi dua tegangan itu. Dan, tali emas itu, di negeri ini, telah dikuasai oleh mereka yang menggandrungi hasrat primitif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun