Mohon tunggu...
Hajar Alfarisy
Hajar Alfarisy Mohon Tunggu... Petani - Menulis mengabadikan masa depan

Berjalan dalam kadar mengingat

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Legislator Para Koruptor

7 September 2019   19:38 Diperbarui: 7 September 2019   20:02 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat ini, hampir dipastikan bahwa korupsi bukan lagi musuh para legislator. Mereka sementara membuat benteng kokoh, yang membuat mereka dengan leluasa merampok negara. Bagi mereka, korupsi bukanlah wabah penyakit yang harus disembuhkan, sebaliknya korupsi seperti nutrisi bagi keberlangsungan kekuasaan mereka.

Benteng kokoh itu dibuat dimasa akhir jabatan legislator 2014 -2019. Meskipun didepan publik terkesan serba terburu buru, hampir dipastikan para legislator itu telah merancangnya dalam waktu yang lama. Operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK selama ini membuat mereka dan koleganya menjadi serba was - was.

Mereka berkilah, meningkatnya operasi tangkap tangan pelaku korupsi merupakan tanda kegagalan KPK, tanda keberhasilan KPK bagi mereka adalah berkurangnya operasi tangkap tangan oleh lembaga anti korupsi.

Dibalik pernyataan mereka itu, ada gema watak Orde Baru yang terdengar saling bersahut juga menghasut. Mungkin, mereka menolak dikatakan sebagai repetisi watak Orde Baru di zaman reformasi, tetapi bukankah memang, bahwa dimasa Orde Baru  tak ada penangkapan, dan karenanya mereka sebenarnya ingin menyampaikan warta kepada publik, Orde Baru telah berhasil melawan Korupsi.

Saat paripurna revisi UU KPK, kita masih berharap, ada satu, dua partai yang akan menginterupsi pentas teater para legislator konyol itu. menghardiknya dengan cacian, namun tak ada penolakan dari partai politik , bahkan dari partai pengusung Jokowi. Padahal, oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI), kemenangan Jokowi dalam pilpres 2019 salah satunya karena tinggkat kepercayaan publik yang tinggi pada lembaga anti korupsi.

Partai politik memang ada, tetapi hanya sebagai syarat minimum agar terkesan demokratis. Watak koruptor telah menubuh dalam partai politik,bermetamorfosa pelayan koruptor, mereka menjadi lembaga politik yang melatih para aktor aktornya untuk memaikan peran memenangkan koruptor diatas panggung demokrasi.

Demokrasi kita semakin tak bugar, metabolisme sistem politik tidak terjadi, legslator melakukan hanya melakukan penyalinan prilaku korup. karenaya dalam paripurna pembahasan revisi undang undang KPK, tak ada interupsi diruang itu. Suara mereka sama seperti nyanyian paduan suara. Dalam hitungan dua puluh menit, mereka menyepakati pengamputasian kewenangan KPK.

Oleh pimpinan KPK, lembaga anti korupsi itu sementara dilumpuhkan dengan begitu baiknya, Ketua KPK Agus Raharjo menyebut tiga trisula hendak membunuh KPK :  Revisi RKHUP, Revisi UU KPK dan lolosnya Calon Pimpinan KPK yang secara etik tidak sesua dengan semangat pemberantasan korupsi.

Ketiga hal itu berpadu baik, ditangan para legislator operasi pengamputasian wewenang KPK berjalan. Pertama, merubah cara pandang soal korupsi dengan mengurangi masa hukuman dan denda koruptor. 

Kedua, revisi UU KPK terkait dengan pelemahan kewenangan : pengaturan OTT dan pengendalian secara politik melalui pemilihan dewan pengawas oleh DPR. Ketiga, calon pimpinan KPK, sebagai pelaksana yang secara etik tidak sesuai dengan semangat anti korupsi. ketiga pola itu, merubah paradigma soal korupsi dan penyediaan instrumen yang menopang penyelematan koruptor.

Memang demokrasi kita hanyalah penjumlahan suara, bukan penjumlahan ide ide besar untuk republik, Sang Politikon mestinya menjadi hakim non formal diluar lembaga yudikatif, mengevaluasi kebijakan apakah benar benar untuk demos. Tapi, Adorno telah memberikan kita kabar, bahwa kita memasuki pemujaan penjumlahan kuantitatif yang memusuhi penjumlahan kualitatif.

Oleh Jurgen Habermas, kita memasuki fase krisis legitimasi. Karenya, mungkin kita telah salah, jika kita hendak mengalahkan para koruptor. Sebab, sejarah panjang manusia memang berupa kegagalan mengalahkan epithumia - hasrat primitif-, kesenangan yang tak memiliki tepian dalam diri manusia.

Benar yang dikatakan Gusdur dimasa pemerintahannya, DPR dianalogikannya sebagai Taman Kanak Kanak, tetapi ketika Gusdur tidak lagi menjadi presiden, dengan serius ia meralat kata katanya  "DPR sekarang bukan lagi taman kanak kana, tetapi telah menjadi Playgroup". Dan, kritik yang menggema dimana dimana terhadap legislator para koruptor itu akan ditanggapi mereka  dengan ucapan " Gitu aja kok repot".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun