Mohon tunggu...
Alfarisma Melandika
Alfarisma Melandika Mohon Tunggu... Lainnya - Pecinta kopi, coklat, hujan, dan senja

Terus belajar dan tidak berhenti belajar karena hidup tidak pernah berhenti mengajarkan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rindu yang Terpendam dalam Segelas Sarabba

14 November 2022   14:43 Diperbarui: 14 November 2022   17:45 438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi segelas sarabba (sumber : selasar.com)

Rintik hujan terus berjatuhan membasahi bumi sejak sore tadi. Dan sekarang waktu sudah menunjukkan jam 7 malam dan sepertinya belum ada tanda-tanda  dia mau berhenti, malah makin menderas. Rama lupa membawa jas hujannya, terpaksa dia menunggu sampai hujan reda. Setelah lama menunggu hujan reda di dalam masjid, dia mencoba keluar masjid dan mencari warung di sekitar masjid. Dan dia menemukan sebuah warung dengan menu yang cocok saat hujan begini.

"Mau pesan apa, Mas?" sapa pemilik warung dengan ramah.

"Sarabba satu Pak tidak usah pakai susu," jawab Rama.

Rama menyeruput sarabba yang masih agak panas itu sedikit demi sedikit sembari menikmati tiap tetes hujan yang turun dari langit. Perpaduan jahe dan gula merah itu cukup menghangatkan badannya yang sempat basah kuyup karena kehujanan. Dari dulu dia menyukai sarabba tanpa susu, hanya jahe dan gula merah saja. Perutnya juga keroncongan, tak kalah riuhnya dengan suara rintik hujan. Dia ambil seikat buras yang ada di piring di atas meja. Dia buka ikatan buras tersebut, lalu membuka bungkusnya. Aroma daun pisang menambah sedap rasa buras tersebut. Ditambah dengan takaran santan yang pas sehingga membuat rasa buras menjadi gurih. Dicocolkannya buras tersebut pada sambal ebi yang rasa dan pedasnya juga pas. Sungguh mereka adalah pasangan yang serasi saat hujan seperti ini.

Baca juga: Rindu dalam Doa

Rama baru mengenal sarabba dan buras setahun yang lalu, maklum dia belum lama tinggal di sini dan dia tidak pernah kemana-mana. Setelah pulang kerja, dia langsung pulang ke rumah karena lelah seharian bekerja. Setahun yang lalu, saat Rama berteduh di emperan toko sepulang kerja, hujan turun dengan derasnya. Di tempat yang sama, berdiri seorang perempuan yang juga menunggu hujan reda. Setelah mereka lama menunggu dan hujan belum juga mereda, akhirnya Rama mengajak perempuan yang ternyata bernama Kirana ke warung yang ada di sekitar toko tersebut.

"Mau pesan apa, Mas?" tanya pemilik warung.

"Ada apa saja, Pak?" Rama balik bertanya.

"Ada sarabba, kopi, kopi susu, sama teh," jawab pemilik warung.

Baca juga: Mengeja Rindu

"Apa itu sarabba, Pak?" tanya Kirana

Baca juga: Sahaja dalam Doa

"Sarabba itu minuman yang dibuat dari jahe yang ditumbuk lalu direbus bersama air dan gula merah, biasanya dihidangkan selagi hangat dan ditambah susu," pemilik warung menjelaskan.

"Bisa tidak usah pakai susu, Pak?" tanya Rama lagi.

"Oh iya tentu saja bisa," jawab pemilik warung

"Saya sarabbanya pakai susu ya Pak," tambah Kirana.

"Iya, Mbak," jawab pemilik warung. Tak lama kemudian, segelas sarabba hangat terhidang di depan meja mereka.

"Ini apa, Pak?" tanya Kirana sambil memegang bungkusan daun pisang.

"Itu buras Mbak, dibuat dari beras yang dimasak dengan santan, lalu dibungkus dengan daun pisang dan diikat dengan tali rafia tiap dua atau tiga buras. Setelah itu direbus selama kurang lebih 3 jam, semakin lama direbus semakin awet burasnya," pemilik warung menjelaskan lagi.

Ilustrasi buras (sumber : facebook Berau kuliner)
Ilustrasi buras (sumber : facebook Berau kuliner)
"Ini dimakan begini saja Pak?" tambah Rama.

"Itu dimakan pakai sambal ebi, itu sambal ebinya ada di mangkok samping piring buras," jawab pemilik warung sambil menunjuk sambal ebi yang ada di mangkok. Segelas sarabba membuat mereka akrab di tengah rinai hujan yang turun. Dan seikat buras telah mengikat mereka dalam sebuah rasa.

Tapi sayang, semesta tak berpihak kepada mereka. Beberapa bulan kemudian Kirana harus pulang kampung karena kondisi kesehatan ayahnya yang semakin memburuk. Dan di saat itu juga, semua mimpi yang telah dibangun Rama dan Kirana itu luluh lantak tak bersisa.

"Kirana, waktu Ayah tidak akan lama lagi, Ayah tidak akan bisa menjagamu lagi. Ada satu permintaan Ayah, Ayah mohon kamu bisa memenuhinya," kata Ayah Kirana waktu itu.

"Permintaan apa itu Ayah? Selama Kirana mampu, Kirana akan melakukan apa saja demi kebahagiaan Ayah dan Ibu," jawab Kirana.

"Ayah dan Ibu sudah membicarakan hal ini sejak dulu, begitupun dengan keluarga Pak Hasan, dan kami sudah sepakat akan menikahkan kamu dengan Bima. Sudah lama Bima menaruh hati kepadamu, Kirana. Apalagi Bima orangnya juga baik. Kalian juga sudah saling mengenal kan?" jelas Ayah Kirana. Sebagai anak pertama perempuan dan sebagai wujud baktinya kepada kedua orang tuanya, Kirana tidak bisa menolak permintaan ayahnya, apalagi dia juga tahu kalau Bima orang yang baik walaupun sebenarnya hatinya sudah tertambat pada Rama.  "Tentu orang tua akan memberikan yang terbaik untuk anaknya dan tidak akan menjerumuskannya," pikir Kirana menguatkan hatinya.

Waktu terus berjalan tanpa bisa dihentikan, sebelum menikah dengan Bima, Kirana menyempatkan  berpamitan kepada Rama, dan sejak saat itu tidak ada kabar lagi tentang Kirana. Mereka sudah sepakat untuk menjalani kehidupan masing-masing tanpa saling menyapa.

Segelas sarabba itu memang menghangatkan badan Rama saat hujan turun, tapi tidak dengan hatinya, karena ada rindu yang telah lama terpendam dalam segelas sarabba.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun