Di masa pandemic seperti saat ini membuat segala aktivitas bertatap muka harus dibatasi agar penyebaran virus terhenti. Hal ini berdampak kepada segala jenis aktivitas bertatap muka menjadi berganti menjadi aktivitas daring. Banyak kampus dan sekolah harus beradaptasi dengan melaksanakan kegiatan belajar mengajar dengan system daring. Menggunakan media social atau menggunakan chat massager sebagai media pengganti untuk berkomunikasi dengan para mahasiswa atau siswa.
Mau atau tidak kita semua harus beradaptasi dengan kondisi ini. Banyak pekerja yang harus merubah pola bekerjanya yang semua berada di kantor namun sekarang harus bekerja di rumah atau istilah kerennya WFH (work from home). Bagi mereka yang sudah terbiasa bekerja di kantor pasti akan mengalami kesulitan, karena perbedaan fasiitas, pengondisian rekan kerja dan lain sebagainya.
Kegiatan dakwah pun juga harus beradaptasi dengan kondisi ini. Sebelum masa pandem seperti saat ini harusnya pada dai bebas mengadakan atau menghadiri majlis ilmu di berbagai tempat. Mau tidak mau para dai harus beradaptasi dengan menggunakan metode daring, seperti menggunakan media youtube, fitur live di twitter atau Instagram. Kondisi ini terasa aneh dan jauh berbeda ketika dirasakan, bagi sebagian dakwah secara online dianggap kurang terasa feelnya karena tidak bertemu langsung dengan para dai. Atau ada yang mengatakan ketika tidak bertemu tidak ada barokah yang tersalur dari ulama atau ustad yang menyampaikan dakwahnya kepada mad’u nya.
Bagi para mad’u yang sudah terbiasa mengikuti majlis ilmu atau kegiatan dakwah mungkin masih mau mengkuti dakwah melalui daring, namun tidak bagi mereka yang sedari awal tidak biasa ikut dalam majlis ilmu. Anak-anak muda atau remaja yang setiap harinya disibukkan dengan game dan media online atau menonton drama korea tentu akan semakin jauh dengan kegiatan dakwah. Hal tersebut bisa menjadi bencana di kemudian hari bagi generasi muda islam. Maka para dai harus memikirkan cara yang kreatif dalam berdakwah di masa pandemic seperti ini agar tetap bisa menyampaikan dakwah ke semua kalangan.
Remaja saat ini jika di golongkan termasuk dalam generasi Z. generasi Z adalah generasi setelah generasi milenial yaitu mereka yang lahir rentang rentang 1996 hingga 2010 . menurut survey yang dilakukan oleh Tirto dari Pada 9 Maret hingga 16 Juni 2017. Mereka memiliki karakter hemat, berfikir terbuka, menyukai kampanye yang kekinian, asyik dengan teknologi, sanggup berkompromi, dan menghendaki perubahan social.[1]Â
Â
Remaja Gen Z berbeda dengan generasi milienial ketika mencari informasi. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu menggunakan internet dengan gadget mereka. Prinsip mereka adalah kepraktisan dalam mendapatkan informasi. Menurut survey Tirto.id di tahun 2017 para remaja minimal menghabiskan waktu 2 jam terhubung dengan internet, bahkan 7,3% menghabiskan 12 jam dengan internet.
Â
Karena variable kepraktisan tersebutlah para remaja gen Z lebih suka dengan media yang menyajikan kepraktisan dalam memaparkan informasinya. Maka wajar 89,1% menggunakan Handphone sebagai gawai untuk mendapatkan informasi. Dan aplikasi yang paling sering digunakan adalah Instagram, 54,2% menggunakan Instagram. Fakta diatas memberikan gambaran pesan yang membuat mereka tertarik adalah dalam formasi yang sederhana yang dapat di muat dalam sebuah gawai handphone. Dengan wujud pesan dalam format visual dan audio ringan sesuai dengan pesan yang dapat dimuat oleh media Instagram.
Â
Praktik dakwah di media social Instagram sudah dipelolori oleh akun-akun dakwah seperti akun Instagram @mdc (muslim desainer community), atau beberapa akun yang menyajikan komik stip seperti @itnart atau @heyjong yang secara konsisten menyampaikan dakwah melalui desain visual. Atau beberapa akun dakwah seperti akun @santriganyeng atau beberapa akun organisasi masyarakat islam seperti NU dan Muhammadiyah.