Uang 200 juta di lempar ke wajah Anjani. Semua Crew tertawa dan bersiap merekam semua peristiwa dalam kamar itu.
"Saya di lempar ke kasur. Karter yang tajam menyobek baju saya. Saya menendang-nendang. Saya ditampar. Saya dicekoki minuman beralkohol. Saya tak sadar,"
Entah pagi, atau sore, Anjani terbangun. Kemaluan Anjani terasa perih dan anusnya lebih lagi.
"Saya menangis dan kehilangan akal. Saya ingin menyayat nadi. Tapi, tak ada beling, karter apalagi pisau. Sementara, di atas kasur dan di atas tubuh saya tercecer uang yang cukup untuk membeli rumah dan mobil," katanya seraya berdiri dan menggebrak meja.
Dia marah. Dia melemparkan vas bunga ke dinding.
"Saya menyesal karena hari itu tidak mengajak teman sebagai pendamping. Pada pemotretan sebelum yang menyekitkan itu, saya selalu ditemani seorang kawan. Tapi, karena saya terlalu bersemangat dan mengingat tidak terjadi hal-hal mengerikan selama pemotretan maka saya berpikir untuk pergi sendiri," katanya seraya melerai rambut dan menuangkan vodka ke seloki.
Anjani melangkah ke tepi jendela apartemen. Tinggi jendela itu 25 lantai. Â Dia tidak ingin bunuh diri. Tapi, melemparkan botol vodka.
Tak terdengar ada suara pecahan. Selama 30 menit, tak pula satpam menghampiri kamar ini.
"Hidupku sarang laba-laba tanpa penguni. Takkan pernah aku kembali pulang. Seperti ini adalah lebih baik dari pada hidup tapi ada sesuatu dalam tubuh ini yang telah direnggut. Keluargaku, mereka semua manusia. Mampu hidup meski kelahiranku tidak pernah ada," katanya lalu melangkah ke kamar mandi.
Suara muntahannya terdengar cukup kuat. Lambung Anjani sudah begitu parah lukanya.
"Pergilah. Aku tak perlu dokter. Yang kuperlu hanyalah malaikat pencabut nyawa," tutupnya lalu merebahkan tubuh di sofa. Mengangalah kemaluannya.