Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam yang berlimpah, mulai dari hasil tambang hingga keanekaragaman hayati yang dimiliki. Indonesia merupakan negara maritim dimana terdiri atas pulau-pulau dan sebagian besar wilayahnya merupakan perairan. Menjadi negara kepulauan tentunya memiliki banyak keuntungan bagi Indonesia, khususnya pada ekosistem pesisirnya.Â
Pesisir merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan (Dahuri, 2001). Kemudian menurut Poernomosidhi (2007) pesisir merupakan kawasan laut dan kawasan darat yang berhadapan dan saling mempengaruhi satu sama lainnya. Secara umum, pesisir merupakan wilayah yang terdiri dari daratan dan lautan serta saling mempengaruhi  satu sama lain (Dahuri,2000)
Wilayah pesisir di Indonesia terdapat berbagai macam ekosistem, seperti ekosistem  terumbu karang, ekosistem estuaria, ekosistem padang lamun, dan ekosistem mangrove. Wilayah pesisir di Indonesia terdapat berbagai macam ekosistem, seperti ekosistem  terumbu karang, ekosistem estuaria, ekosistem padang lamun, dan ekosistem mangrove. Ekosistem terumbu karang merupakan salah satu potensi sumberdaya yang memiliki banyak manfaat di Indonesia, akan tetapi potensi tersebut belum dimanfaatkan dengan baik. Ekosistem terumbu karang memiliki manfaat sebagai benteng alami untuk melindungi pantai dari hempasan ombak, sebagai tempat tinggal, berlindung, mencari makan dan tempat berkembang biak biota yang ada di ekosistem terumbu karang, selain itu juga  sebagai penunjang kegiatan pendidikan dan penelitian serta menjadi tempat wisata untuk dinikmati keindahannya.  Namun, dibalik fungsi dan keindahan yang dimiliki oleh ekosistem terumbu karang tersebut terdapat fenomena yang kerap menjadi momok perusak ekosistem tersebut yaitu pemutihan terumbu karang
      Pemutihan Terumbu Karang atau yang biasa disebut Coral Bleaching terjadi ketika toleransi terumbu       karang dan plankton yang membantu terumbu karang dalam proses fotosintesis (zooxanthellae) tidak dapat mentolerir perubahan panas yang terjadi (Taufik,2015) Terumbu karang dan zooxanthellae mampu melakukan penyesuaian terhadap perubahan lingkungan, tetapi dalam kondisi tertentu atau perubahan lingkungan yang sangat drastis, aklimatisasi atau penyesuaian terhadap lingkungan tersebut tidak dapat berlangsung dengan baik sehingga mengakibatkan terumbu karang dan zooxanthellae mengalami kondisi yang tidak baik sehingga terjadi fenomena pemutihan terumbu karang (Taufik,2015).
      Di Indonesia, banyak terdapat kawasan ekosistem terumbu karang yang mengalami fenomena ini. Salah satunya terjadi di ekosistem terumbu karang Taman Wisata Perairan (TWP) Gili Matra yang terletak di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Taman Wisata Perairan Gili Matra (Gili Meno, Gili Ayer, dan Gili Trawangan) adalah satu dari sekian banyak wilayah konservasi perairan yang memiliki keindahan ekosistem lautnya. TWP Gili Matra terletak di sebelah utara Pulau Lombok. TWP ini memiliki  kawasan konservasi sebesar 2.954 Ha dengan perincian 665 Ha daratan, 227,65 Ha terumbu karang, 116,82 Ha padang lamun dan 8,24 Ha hutan mangrove (LIPI, 2014). Wildlife Conservation Society (WCS) dan BKKPN satker TWP Gili Matra pada tahun 2012 melakukan observasi dan penelitian  untuk mengetahui kondisi ekologi TWP Gili Matra. Dari kajian yang telah dilakukan didapatkan hasil komposisi terumbu karang mengalami pemutihan sebesar 50%, kondisi pucat 18%, dan dalam kondisi normal 31%. Kondisi karang yang baru mati akibat pemutihan karang hanya ditemukan sekitar 1% dari jumlah koloni karang. Observasi Coral Bleaching di TWP Gili Matra dilakukan di 6 spot, yaitu Air Wall, Bounty Wreck, Corner Reef, Meno Wall, Sunset Reef, dan Teluk Medane.dari pengamatan tersebut, presentase pemutihan karang tertinggi rata-rata diatas 60% ada pada lokasi Sunset Reef, Bounty Wreck, dan Teluk Medane.  (Fakhrizal,2017). Setelah didapatkan hasil komposisi terumbu karang yang mengalami pemutihan tersebut dilakukan kajian guna menganalisis faktor apa saja yang menyebabkan fenomena ini terjadi dan dari kajian tersebut didapatkan kesimpulan bahwa pemutihan terumbu karang yang terjadi di Gili Matra disebabkan oleh adanya kenaikan suhu di perairan yang menimbulkan dampak cukup berpengaruh terhadap kondisi ekosistem perairan Gili Matra
Gambar 1. kondisi terumbu karang yang mengalami pemutihan
      Dampak yang dihasilkan dari terjadinya pemutihan karang salah satunya penurunan kelimpahan dan biomassa ikan yang terdapat pada ekosistem terumbu karang Gili Matra. Biomassa ikan herbivora juga mengalami penurunan dimana ikan herbivora berfungsi sebagai pengontrol keberadaan alga dalam proses pemulihan ekosistem terumbu karang. Sehingga hal ini sangat berpengaruh terhadap masa pemulihan terumbu karang. Tentu hal ini sangat mempengaruhi aspek-aspek lain salah satunya aspek pariwisata. Pada kurun waktu 2012-2016, beberapa titik spot snorkeling sepi pengunjung karena terumbu karang disana mengalami pemutihan dan tentu saja nilai keindahan yang ditawarkan berkurang drastis sehingga minat wisatawan untuk menikmati pemandangan bawah laut menjadi ikut berkurang.
      Dari kasus Coral Bleaching yang terjadi pada Taman Wisata Perairan Gili Matra tersebut telah diketahui gambaran dampak apa saja yang terjadi jika terumbu karang mengalami pemutihan. Lantas selain hal yang telah disebutkan diatas, apa saja hal yang menyebabkan atau yang mempengaruhi sehingga terjadi fenomena Coral Bleaching ini? Apa saja dampak yang disebabkan oleh pemutihan karang ini? Berikut merupakan penjelasan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Terumbu karang sangat subur di daerah yang memiliki stabilitas lingkungan tinggi. Pada daerah tropis, rata-rata fluktuasi musiman dan diurnal sangatlah kecil, juga variasi rata-rata temperature laut daerah tropis berada di bawah angka 20C selama lebih dari 18000 tahun (Turner,2000). Terumbu karang mendominasi lingkungan pesisir di daerah tropis dengan lingkungan bertemperatur 180C hingga 300C (Veron, 1986). Kehadiran terumbu karang di daerah pesisir berkurang drastis setelah melewati latitude 300. Faktor lain yang mempengaruhi kehadiran terumbu karang adalah cahaya yang masuk dan carbonate alkanity dari air laut (Kleypas,2004).
Dari fakta tersebut dapat dikatakan terumbu karang sangat peka terhadap perubahan lingkungan, dimana daerah hidupnya bukan di tempat dengan keadaan lingkungan ekstrim. Kadar salinitas lingkungan terumbu karang hidup memiliki batas, yaitu dari 32 hingga 40 ppm (Veron, 1986), perubahan kadar salinitas secara drastis akan mengakibatkan terumbu karang sulit untuk beradaptasi dan menyebabkan terumbu karang mati. Faktor lain yang mempengaruhi yaitu intensitas cahaya. Intensitas cahaya juga mempengaruhi karna zooxanthellae memerlukan cahaya matahari untuk melakukan fotosintesis dimana zooxanthellae-lah yang menyediakan makanan untuk terumbu karang. Konsentrasi klorofil dan pigmen fotosintesis lain dan zooxanthellae meningkat di intensitas cahaya rendah dan menurun di intensitas cahaya tinggi (Falkowski dan Dubinski, 1981). Ketiadaan zooxanthellae di sekitar terumbu karang mengakibatkan terumbu karang tersebut menjadi stress, karena 80% lebih gizi yang dibutuhkan terumbu karang berasal dari zooxanthellae (Glynn, 1990)
Variasi warna yang dihasilkan oleh terumbu karang dipengaruhi oleh zooxanthellae karena terumbu karang menghisap pigmen dari organisme tersebut  Pemutihan terumbu karang rata-rata disebabkan karena terjadinya pengurangan populasi zooxanthellae secara drastis di lingkungan terumbu karang sebanyak 60-90% dan pigmen fotosintesis zooxanthellae sebesar 50-80% (Glynn, 1990). Sebenarnya terumbu karang dapat melakukan simbiosis dengan alga lain dalam jangka waktu tertentu sehingga dapat dikatakan permasalahan tersebut tidak benar-benar berat tetapi punahnya zooxanthellae akan berdampak serius yang mengakibatkan kematian pada terumbu karang..