Repost dari blog pribadi.Â
7 Maret, 2022
Oleh : Faridh eLkhansa
Rindu ini pahit, aku belajar menikmati kesendirian untuk menikam deru hati yang tiada henti. Bagiku kamulah candu, Â seperti secangkir kopi pemantik semangat pagiku.
-_-_-_
"Kopinya, Mbok. Seperti biasa, ya."
Pintaku pada Mbok Minah di suatu pagi. Walau sebetulnya dia enggan membuatkan secangkir kopi untukku karena alasan kesehatan. Namun tanpa secangkir kopi, hariku sudah pasti akan kelabu. Alasan itu membuat siapa pun tak akan menolak keinginanku.
**
Di La Tansa coffee kamu meracik secangkir kopi pertama kali untukku. Kamu bilang meracik kopi dengan bijian kopi organik jauh lebih baik, menuangnya dengan filter kertas dapat mengurangi level cafestol dalam kopi. Lalu jangan mencampurnya dengan krimer rendah lemak, beri campuran kayu manis agar kopi makin nikmat dan aromanya kuat.
Ah, bahkan detilnya masih sangat kuingat. Terakhir kamu akan membubuhi bubuk kakao sebagai topingnya. Nikmat sekali, sempurna. Sesempurna hidupku saat menikmati secangkir kopi bersamamu.
Aku menggilai kopi buatanmu, hingga tak satu pun starbuck yang mampu menyamai kopi racikanmu. Dalam secangkir kopi yang kamu buat ada seulas senyum yang menyapa hangat, ada ceria yang memeriahkan hari-hariku, semangat hidup selalu baru.
"Kopi buatanku takan ada duanya." Begitu kamu meyakinkanku saat aku meragukan kemampuanmu.
Kemudian kita tidak sehari pun melewati sore tanpa secangkir kopi, mendiskusikan banyak hal, bercerita banyak tentang hidup dan masa depan. Sesekali kulempar pandangan pada kopi di hadapakanku saat kau dapati aku tak lepas memandang ayu wajahmu.
Hidung mancung kecil, gigi kelinci juga dua lesung pipi itu tak lekang dari netraku. Tawamu lepas dengan ribuan kata yang lolos dari bibir ranum memesona itu. Aku memilih jadi pendengar yang baik.
Secangkir kopi adalah alasan aku selalu meluangkan waktu bertemu denganmu, bahkan untuk sekedar duduk mengamati kesibukanmu, menunggu hingga usai pekerjaanmu.
_-_-_-
Gadis berkucir dengan secangkir kopi, duduk memandang senja di luar sana, sebuah foto kenangan sebelum kamu benar-benar menghujani hati dengan kerinduan tiada habis. Maka setiap fajar menyingsing, sebelum aku beranjak menyapa dunia, akan kusempatkan menyapamu, walau kau sudah enggan bercerita seperti dulu.
 Mungkin ini saatnya aku yang bercerita dan kamu sebagai pendengar setia. Kita menikmati secangkir kopi seperti biasanya.
***
"Pah, udah ngopinya, ya. Sekarang kita berjemur dulu," ucap Rara sembari merapikan frame di meja.
"Mama cantik banget, ya, Pa. Semoga mama bahagia di syurga sana," ucapnya lagi sebelum ia benar-benar mendorong kursi rodaku ke halaman belakang rumah kita untuk berjemur.
Faridh eLkhansa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H