"Kopi buatanku takan ada duanya." Begitu kamu meyakinkanku saat aku meragukan kemampuanmu.
Kemudian kita tidak sehari pun melewati sore tanpa secangkir kopi, mendiskusikan banyak hal, bercerita banyak tentang hidup dan masa depan. Sesekali kulempar pandangan pada kopi di hadapakanku saat kau dapati aku tak lepas memandang ayu wajahmu.
Hidung mancung kecil, gigi kelinci juga dua lesung pipi itu tak lekang dari netraku. Tawamu lepas dengan ribuan kata yang lolos dari bibir ranum memesona itu. Aku memilih jadi pendengar yang baik.
Secangkir kopi adalah alasan aku selalu meluangkan waktu bertemu denganmu, bahkan untuk sekedar duduk mengamati kesibukanmu, menunggu hingga usai pekerjaanmu.
_-_-_-
Gadis berkucir dengan secangkir kopi, duduk memandang senja di luar sana, sebuah foto kenangan sebelum kamu benar-benar menghujani hati dengan kerinduan tiada habis. Maka setiap fajar menyingsing, sebelum aku beranjak menyapa dunia, akan kusempatkan menyapamu, walau kau sudah enggan bercerita seperti dulu.
 Mungkin ini saatnya aku yang bercerita dan kamu sebagai pendengar setia. Kita menikmati secangkir kopi seperti biasanya.
***
"Pah, udah ngopinya, ya. Sekarang kita berjemur dulu," ucap Rara sembari merapikan frame di meja.
"Mama cantik banget, ya, Pa. Semoga mama bahagia di syurga sana," ucapnya lagi sebelum ia benar-benar mendorong kursi rodaku ke halaman belakang rumah kita untuk berjemur.
Faridh eLkhansa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H