Mohon tunggu...
Alfa Riansyahh
Alfa Riansyahh Mohon Tunggu... Lainnya - Mr Random Word's

Hola! Bye.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hujan yang Panjang

22 Juli 2024   18:01 Diperbarui: 22 Juli 2024   18:25 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dengan kaki-kaki puisinya yang pincang, dan tetes-tetes tinta jemarinya yang camping-compang, seorang penyair merentangkan malam sekian panjang. Agar tidur perempuan pujaannya lebih menyenangkan. 

Kata-katanya tidak pernah luwes dan mudah untuk dicerna oleh perempuan yang amat dicintai itu, itulah sebab ia tidak pernah bisa meraih matanya. Sajak-sajaknya yang tua dan ketinggalan zaman itu hanyalah uap yang mengisi celah-celah udara, hampir sama tak bergunanya dengan asap rokok dan knalpot yang memenuhi langit kota. 

Sampah! Kolot! Tidak membuat jatuh cinta sampai gila. 

Tidak sama dengan lelaki senja yang mengkilap di penghujung dermaga, dengan seragam yang aduhai gagah, nada bicara yang tegas dan apa adanya, mudah untuk dimengerti dan sangat-sangat berwibawa. 

Sang penyair kalah, tidak sekedar kalah, melainkan telak kalah. Sajak dan puisi apalah nilainya, tidak mentereng dan bercahaya, lihatlah seragam milik lelaki itu! Jauh lebih indah dipandang mata. Perempuan pujaannya dengan begitu mudah luluh, melelah asmara. 

Tetapi, kisah yang ganjil baru saja dimulai. Setelah ribuan waktu merentangkan malam, menabur-nabur gemintang, mewarnai dan membentuk rembulan dengan kata-katanya itu. Sang Penyair tak kunjung berhasil mendapatkan mata perempuan pujaannya. 

Lantas, terjadilah bencana paling besar. Sang penyair yang merasa terabaikan naik pitam! Marah! Dicurilah sebuah kitab lawas yang berusia ribuan tahun, kitab yang dijaga dengan amat ketat oleh pasukan bersenjata negara. Disembunyikan di sebuah gedung dengan teknologi paling mutakhir, tidak pernah terjemah oleh manusia mana pun. Kitab itu adalah Kitab Pemanggil Hujan. Dahulu, kitab itu digunakan para pendahulu guna menghentikan matahari yang meradang tiada henti. Dengan kitab itu, siklus musim akhirnya terjadi, juga siang dan malam. Waktu juga telah tertulis dengan rapi di dalamnya. Setiap detik, jam, hari, minggu, bulan dan tahun sudah tertata dengan baik di sana. 

Sang penyair berlari menghindari kejaran pasukan bersenjata, sambil memeluk erat kitab lawas itu. Menembus hutan pohon jati, melompat merenangi sungai, mendaki menuruni bukit, dengan tergesa-gesa. Menerobos malam yang selama ini ia jaga dengan kata-kata, melucuti cintanya yang agung, menggantinya dengan kemarahan tak terbendung. Karena hati yang patah, Sang Penyair kehilangan akal sehatnya. 

Dicurinya Kitab Pemanggil Hujan menjadi berita besar yang mengguncang negara, para petinggi, pemimpin, bahkan rakyat biasa cemas tak terkira.  Kitab Pemanggil Hujan telah hilang, sebuah bencana besar sedang menanti mereka. Tak butuh waktu lama, wajah sang penyair seketika memenuhi pelosok negara. Terpampang jelas sebagai Buronan! Pencuri! Musuh negara! 

Sang Penyair semakin naik pitam, awalnya ia hanya marah kepada sang pujaan hati, kini ia juga marah kepada semua orang. 

Tidak ada yang mengerti bagaimana perasaanku!  

Sang Penyair tiba di sebuah Goa, jauh dari pemukiman. Ia menyalakan sebuah lilin untuk penerangan, selanjutnya Ia membuka Kitab itu perlahan. Setiap kali jemarinya menggeser halaman demi halaman dari Kitab Lawas yang Ia curi itu, udara terasa semakin dingin. Angin berembus kencang, lautan bergemuruh, ombaknya menghantam pesisir meluluhlantakkan semua yang ada di sana. Semua orang kalang kabut, sementara Sang Penyair tidak peduli dengan konsekuensi yang akan terjadi. 

Suasana semakin kacau balau di luar, Sang Penyair semakin jauh dan dalam membuka Kitab Lawas itu, tenggelam dalam mantra-mantra, Sang Penyair semakin jauh dari akal sehatnya. Lilin di depannya seketika mati, jemari Sang Penyair telah sampai pada lembar yang Ia cari. Beberapa detik bergelap gulita, cahaya putih tiba-tiba memenuhi Goa itu, bersamaan dengan cahaya itu muncul sosok berjubah biru dengan bunga mawar di tangan kanannya. Sosok itu tersenyum begitu semringah, sembari berjalan ke arah Sang Penyair berada. 

"Tidak Kukira, dunia sudah begitu berubah." Sosok berjubah biru itu mendekat, Sang Penyair bisa menghirup sebuah aroma yang begitu harum memekakkan indra penciumannya. 

"Kau, adalah seorang Penyair yang patah hati?" Sosok berjubah biru itu bertanya, Sang Penyair mengangguk pelan. 

"Lihatlah, dunia benar-benar berubah. Manusia juga terseret ke dalamnya. Terakhir kali Aku dipanggil adalah ketika umat manusia ingin Aku membantu mereka menghentikan matahari yang meradang tanpa henti. Kini, Kau memanggilku, untuk apa?" 

Sang Penyair ragu-ragu menjawab, terdiam sejenak. Ingatan tentang sang perempuan pujaannya, tentang cintanya yang tidak berbalas, tentang penghakiman, cacian, yang dilakukan orang-orang kepadanya saat ini kemudian menghapus keraguannya. 

"Aku...Ingin semua manusia tidak pernah merasakan cinta. Aku, ingin memberikan mereka sebuah hujan yang panjang." Sang Penyair berkata tegas. 

Goa itu hening sejenak, udara semakin kencang berembus, sedangkan keadaan di luar jauh lebih kacau. Pohon-pohon mulai tumbang, jalanan kacau balau, orang-orang berlarian sana-sini. Bencana terbesar sebentar lagi menimpa mereka. 

Sosok berjubah biru itu tersenyum, "Tentu, Kau boleh meminta apa pun dengan kitab ini. Namun, boleh Aku tahu alasannya?" 

Sang Penyair mengembuskan napas, kembali mengingat hal-hal menyakitkan yang dia alami. Mencintai seseorang, menulis puisi tentangnya, menjaganya dengan kata-kata, tetapi cinta yang Ia punya tidak kunjung berbuah indah. 

"Aku mencintai seorang perempuan, Dia sangat cantik, elok berbicara dan berperilaku. Aku benar-benar mencintainya. Namun Dia tidak kunjung mengerti kata-kata yang kutuliskan, Dia acuh tak acuh, tak pernah melihatku sekalipun." 

"Jika Aku tidak bisa mendapatkan hatinya, maka tidak boleh ada seorang pun yang mendapatkannya." 

Sosok berjubah itu mengangguk, paham. Kemudian menatap Sang Penyair sangat dalam. 

"Namun, apakah itu salahnya?" 

"Apakah tidak mencintai orang yang mencintai kita adalah dosa yang besar?" 

"Begitukah menurutmu?" 

Sang Penyair tertegun, hatinya bagai dihantam sebuah batu besar. 

"Kau tidak akan bisa menjawab pertanyaan itu. Hal paling berbahaya di dunia ini bukanlah senjata tercanggih, bencana paling dahsyat bukanlah tsunami, gempa bumi, melainkan sebuah perasaan cinta yang berubah menjadi benci." 

"Mencintai seseorang dengan kuat hanya akan melahirkan kebencian yang kekal, karena cinta tidak pernah adil. Tidak akan pernah." 

Sosok berjubah biru itu menghirup bunga mawar yang Ia genggam, sesaat kemudian mawar itu mulai layu dan menghitam. Sosok berjubah itu menghampiri Sang Penyair yang mematung di depannya, kemudian menyerahkan sekuntum mawar yang sudah layu itu ke tangan Sang Penyair. 

Situasi di luar semakin tak terkendali, air laut mulai menyurut jauh ke tengah, untuk sesaat kemudian naik kembali menjadi tsunami yang menghantam daratan. Hujan sudah bergemuruh sedari tadi, diiringi instrumen petir yang menyambar sana-sini. Bumi terguncang, meluluhlantakkan semua yang ada di atasnya. Kitab lawas sakral itu sudah bekerja, memenuhi permintaan Sang Penyair. Memberi sebuah hujan yang panjang, hujan yang akan dikenang di sisa hidup manusia sebagai sebuah kisah kelam. Bagaimana cinta bisa berubah dari kebahagiaan menjadi kebencian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun