Mohon tunggu...
Budi Rist
Budi Rist Mohon Tunggu... -

Sesuatu yang terjauh adalah masa lalu....sesuatu yang terdekat adalah rasa malu

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Nglenggono, semeleh, semende

4 Juni 2012   13:25 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:24 1427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

.....................................................................................

Maaf, bukan maksud untuk menyindir ataupun menghakimi. Tapi sebenarnya jujurkah kita apabila di beri pertanyaan : " Apakah anda orang baik?" Tentunya sebagai 'orang lumrah' dengan adanya pertanyaan itu lantas saja timbul rasa aneh. Nah itu dia. Bukannya merasa diri atau bahasa jawanya 'Ngrumangsani' tetapi malah rasa curiga yang ada, plus ego yang superrrrr tinggi. Padahal duluuu jauh sebelum negara ini ada para waskita sudah sering memberi wewarah / ajaran agar senantiasa menjauhi 'ngugemi penemune dhewe' (hanya berpegang pada pengetahuannya saja ), ngendel-ngendelake penemune dhewe ( mengandalkan pengetahuannya saja ), ngendel-ngendelake wicarane dwhewe ( mengandalkan pintarnya bicara saja ). Coba kita bayangkan seandainya saja..ya seandainya saja semua orang bisa ngrumangsani dirinya. Apa yang terjadi? Tentunya tidak ada itu yang namanya 'pertikaian antara burung emprit dengan burung hantu'.

Lho...kok bisa..?

Saudaraku kompasioner tercinta,

Syahdan ada seekor burung emprit bertemu dengan burung hantu. Setelah berbicara ( anggap saja bisa bicara ) demikian lama, maka sampailah topik pembicaraan pada kemampuan melihat. Yang pertama berbicara dan mengeluarkan pendapat adalah si burung hantu. Kata si burung hantu, " He...emprit, kamu tahu tidak? Sebenarnya  semua burung itu sama saja dengan apa yang dilihatnya. Yang ada hanyalah kegelapan di dunia ini. Itu karena demikianlah yang aku alami dari aku lahir. Aku burung, kamu pun burung tentunya sama saja bukan?" Si burung emprit berniat menjawab dan mengeluarkan argumennya, tetapi dia sangat maklum dengan kemampuan si burung hantu yang hanya bisa melihat kegelapan malam. Apalagi saat itu malam hari. Otaknya yang cerdas berpikir cepat. Menentang berarti mati, karena empritpun faham perangai si burung hantu. Akhirnya si burung emprit menjawab, " Oh sahabatku burung hantu, Betul sekali apa yang kau katakan pada malam hari ini. Dan pada malam hari ini aku menjadi saksi atas ucapanmu.

Saudaraku kompasioner tercinta,

Demikianlah yang terjadi. Bila sekali lagi kita jujur, dalam kehidupan sehari-hari sebagai emprit atau sebagai burung hantukah kita dalam berkehidupan di dunia ini? Tentunya jawaban ada pada hati kita masing-masing. Senatiasa Nglenggono, semeleh, semende.

........................................................................................................

Bhaktiku pada guruku

Jogja, 4 Juni 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun