Mohon tunggu...
Budi Rist
Budi Rist Mohon Tunggu... -

Sesuatu yang terjauh adalah masa lalu....sesuatu yang terdekat adalah rasa malu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Berjanjilah kepadaku...

4 Juni 2012   15:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:24 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Berapa hari lagi....?

Berapa jam lagi....?

Berapa menit lagi....?

Aku terjaga dengan peluh membanjir di sekujur tubuhku. Kupandangi tubuh istriku yang terlelap. Ah, hanya mimpi.

.........................................................................................................................................................

Kuseka embun dari dedaunan yang berjatuhan di kening istriku, Ratri. Perlahan kelopak matanya terbuka, senyum manis yang selalu menggoyahkan hatiku tersungging disana. " Lihatlah semburat mentari yang terbit  disana mas. " Ia berkata sembari bangun dari pangkuanku, dengan tatap berbinar seolah anak kecil kegirangan melihat mainan. Tersenyum saja kulihat tingkahnya itu. Kukibaskan remah tanah yang menempel di celanaku, tangannya yang lembut segera berada dalam genggaman ini. Duh gusti, betapa keindahan yang kau ciptakan membuat diri ini tak mampu berkata apalagi berbuat, selain mengingatMU. " Mas.." Aku tersentak, sejenak. Seolah di lemparkan dari kesadaran kosong kealam nyata. Segera tersadar, kurengkuh bahunya sebagai bias indah rasa sayangku ini. " Ya sayang," walau kering kucoba untuk bersikap wajar. " Mas, ada apakah...? Apakah............" Kutempelkan jariku di bibirnya, " Tidak apa-apa sayang, mas hanya sedang mengagumi keindahan yang diciptakan tuhan. Betapa luar biasa hasil ciptaan tuhan itu." Hendak kuteruskan kalimat ini ketika hujan rintik turun berpadu embun pagi yang runtuh disentuh bulir-bulir lembut hujan. " Mari kita berteduh, sayangku." berlari kecil kugandeng tangannya, menuju bungallow. Segera kubersihkan dipan kayu yang ada dari serpihan daun-daun yang seolah menyelimutinya. " Mas, coba lihat bunga itu betapa indah dan menawan bentuk dan warnanya. Oh, ingin benar aku seperti bunga itu, yang hanya membuat takjub orang yang melihatnya." katanya dengan gaya manja seperti biasanya. " Dik, tentu bunga yang indah mempesona siapapun yang melihatnya. Bagi mas, adik adalah bunga itu." Kucoba merayu, walau bukan kebiasaanku selama ini. " aahhh mas merayu" ucapnya sambil meluruh kembali di pangkuanku. " Berjanjilah kepadaku mas, untuk selalu mencintai dan menyayangiku sampai kapanpun!" Ia bangkit dari pangkuanku, berbalik, dan menatap dengan kedua bolanya yang bundar berbinar. " Ya..ya..mas janji " Jawabku sambil kukecup lembut keningnya. Tetapi ada yang senantiasa melintas di pikiranku. Sungguh mimpi itu amat mengganggu. Gerangan apa kiranya sehingga mimpi itu sering menghampiriku.

..............

Jadi apa yang harus dilakukan dok..?

Dan selanjutnya bagai neraka bagiku. Kata demi kata ucapan dokter seolah meremas-remas jantung ini. Pilu, sedih dan entah apa lagi, karena kemarahan yang tiba-tiba muncul menghentak membuat semuanya..

Gelap..........

Gelap.........

Aku tak sadar............

..............

Setelah hari itu, semua jadi terasa asing bagiku. Ingin kutumpahkan saja kemarahanku kepada langit, bumi bahkan seisi jagad raya ini. Apakah benar bila keindahan terenggut, maka pastilah menorehkan luka yang teramat dalam? Apakah keindahan dan kebahagiaan hanya boleh dinikmati dalam sekejap?. Adakah kebahagiaan yang abadi? " Nak zen, hendaknya selalu sabar dalam setiap cobaan yang di berikan tuhan kepada kita. Ingatlah bahwa Tuhan tidak pernah memberi cobaan melebihi batas kekuatan hambanya" kyai Muhyi berkata sambil menatap lekat kepadaku. Kutemukan kesejukan dalam tatapan mata renta itu. Kesejukan sebagai pengobat atas apa yang sedang bergejolak hebat dalam dada ini, dan rasa ini. Ucapan yang selalu terngiang dalam pengantar tangisku yang panjang.

Ruang ICU .........................

Hampir habis air mata ini tertumpah, ketika kulihat disana ujung kasihku terbaring lemas dengan berbagai peralatan yang...ah..entah apa namanya. Catatan kecil yang dibuatnya tentang harapan-harapannya kutemukan pagi itu tergenggam ditangan. Goresan tinta yang terang meminta akan kebahagiaan yang sejati.

..........................................

Semburat mentari pagi mengusap lembut dedaunan pohon yang meliuk perlahan di belai angin semilir. Gembala kambing menggiring ternaknya merumput di padang yang rimbun Kulangkahkan kaki entah kesekian kali menuju  harapan yang bertahun lalu tertinggal. Dihadapanku berdiri nisan berlumut, karena ternyata alam telah setuju untuk menggapainya. Kusingkirkan jatuhan daun yang menutupinya. Lalu dengan lembut kubisikkan kepadanya, " Beristirahatlah dengan tenang dik, mas akan selalu menepati janji untuk selalu mencintai dan menyayangimu sampai kapanpun. Kukecup lembut nisan berlumut itu, perlahan semua gelap,  lamat-lamat kudengar suara gembala kambing, " Tolong mbah zen jatuh...tolong mbah zen jatuh..."

Dan gelap yang dingin menyelimutiku.............

Jogjakarta, 4 Juni 2012

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun