Mohon tunggu...
Alfan Alfian
Alfan Alfian Mohon Tunggu... -

M Alfan Alfian adalah Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta, dan juga Direktur The Akbar Tandjung Institute, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Pasar Malam (Sebuah Novel)-2

3 Juni 2013   18:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:35 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

2/ Hidup ini Seperti Tong Setan

Maryo mengelap dahinya. Handuk kecil itu setia menemaninya. Wajahnya tersenyum puas. Penonton malam ini cukup banyak. Tidak seperti malam sebelumnya, malam ini cerah. Beberapa bintang tampak bersinar di langit. Ketika Sulaiman menghampiri, ia tengah meneguk cangkir kopinya yang sudah dingin. Beberapa butir kopi menempel di kumisnya ketika, Sulaiman, seperti biasanya mengabarkan bahwa setelah penonton pulang, pasar malam ditutup ada pertemuan dengan yang lain.

Agendanya rutin: evaluasi. Manajemen Rombongan Pasar Malam SLALU GEMBIRA selalu tampak demikian: diwarnai tradisi berdoa sebelum pasar malam dibuka, dan ditutup dengan evaluasi dan berdoa lagi. Yang memimpin berdoa selalu Solikhin, satu-satunya anggota rombongan yang jebolan pondok pesantren. Sulaiman adalah penanggung jawab pertunjukan tong setan. Maryo adalah pemainnya. Sulaiman yang merekrut Maryo. Maryo adalah pemain utama pertunjukan pemicu adrenalin itu. Tiga tahun lalu, ia menggantikan pemain sebelumnya yang mengundurkan diri dengan alasan, mencari pekerjaan yang lebih baik. Sulaiman menemukan Maryo di pinggir jalan, ketika malam itu polisi membubarkan balap liar.

Maryo sesungguhnya hanya penonton biasa malam itu. Tetapi, yang membuat Sulaiman terkesan adalah, ketika ia dipercaya mengendarai sepeda motor yang bukan miliknya untuk beraksi melawan pesepeda motor lain dalam balap liar itu. Dan Maryo juara. Ketika ia menyerahkan sepeda motor itu ke yang punya, dan balap liar dilanjutkan lagi, polisi datang membubarkan. Banyak yang ditangkap, tetapi Maryo tidak ikut, karena ia hanya satu di antara sekian orang yang ikut menonton. Sulaiman menanyakan apa pekerjaan Maryo, dan merasa punya peluang untuk merekrutnya, ketika jawabnya ialah serabutan.

Yang dimaksud serabutan adalah, apapun dilakukan, mulai dari tukang batu, jualan minuman, makanan, baju-baju atau sepatu-sepatu bekas, kacamata hitam, dan apapun.Maryo tidak punya potongan untuk malu menjalankan pekerjaannya. Lalu, Sulaiman menyampaikan maksudnya. Tapi, Maryo bilang kalau tong setan, ia bukan ahlinya. Sulaiman tersenyum, dan mengatakan bahwa ia akan membuatnya ahli. Kalau balap liar saja juara, pastilah tong setan itu gampang. Sulaiman berpikir demikian.

HARI pertama Maryo datang ke kantor sekretariat Rombongan Pasar Malam SLALU GEMBIRA, adalah hari ketika ia menerima pelajaran lisan dari Sulaiman. Sulaiman mengajak Maryo duduk di samping rumah. Di bawah pohon waru itu ada bangku berhadap-hadapan. Di tengahnya ada meja kecil. Setelah menayai mau minum apa, dan Maryo menjawab kopi, maka bertuturlah Maryo tentang tong setan. Sulaiman menjelaskan bahwa tidaklah mungkin menjelaskan tong setan tanpa menguraikan dimensi filosofisnya. Dalam bahasa Sulaiman, dimensi filosofis itu adalah “kandungan maknanya”.

Tapi, sebelum itu, Sulaiman bertanya, mengapa sampai Maryo ikut balap liar malam itu.

“Apa kamu sering melakukannya?” tanya Sulaiman.

“Tidak juga,” jawabnya.

“Tapi, mengapa malam itu Sampeyan ikut hadir, bahkan ikut berlomba?” cecar Sulaiman.

“Ada seorang teman yang mengajak. Ia punya sepeda motor. Ia sering balap liar. Ia yang meminjamkan sepeda motornya ke saya. Ia yakin saya bisa juara malam itu. Saya sendiri tidak punya sepeda motor,” papar Maryo.

“Baik, sebaiknya keahlian kamu naik sepeda motor disalurkan ke yang benar. Dengan menjadi pemain tong setan, bakat Sampeyan yang menakjubkan itu akan tersalurkan dengan baik. Saya yakin, kamu bisa. Kamu berbakat!” tutur Sulaiman.

Kemudian Sulaiman melanjutkan uraiannya, uraian filosofis tadi. Maryo menyimak dengan takzim, ketika Sulaiman memulainya dengan kalimat, “Hidup ini seperti tong setan”. Maryo sangat bingung degan kata-kata itu, tetapi ia tetap sabar menyimak. Kopi sudah datang dan Sulaiman sendiri memilih minum teh, sebelum melanjutkan uraiannya. Suara cicak lirih, dan beberapa daun kering jatuh diterpa angin ketika Sulaiman melanjutkan uraiannya.

Hidup itu seperti tong setan!Hidup itu penuh tantangan dan bahaya. Tetapi kita harus hadapi tantangan dan bahaya itu. Dalam tong setan, hidup bukan hanya untuk menghadapi tantangan dan bahaya, tetapi tantangan dan bahaya itu harus ditaklukkan!

Maryo masih belum paham, apa hubungannya tong setan dengan penaklukan tantangan dan bahaya, tapi ia segera paham dengan penjelasan selanjutnya, berikut: Dalam atraksi tong setan, para pemain menderu-deru dengan sepeda motornya, meraung-raung menaikinya di jalan yang tidak mendatar melainkan di dinding. Jalan yang dilaluinya vertikal. Kamu tahu artinya vertikal kan? Seperti pendekar laba-laba yang merangkak di dinding-dinding gedung-gedung tinggi itu.

Orang biasa pasti punya pikiran bahwa itu tidak lazim, itu penuh bahaya. Bagaimana mungkin sepeda motor bisa dijalankan di jalan yang vertikal? Termasuk vertikal melingkar sekalipun, karena para pemainnya ada dalam semacam tong besar. Rasa penasaran pun hadir di sini. Dan itulah sejatinya yang ditawarkan oleh tong setan ini. Penasaran! Itu yang pertama.

Yang kedua adalah adrenalin! Kamu tahu adrenalin? Adrenalin itu hormon pemacu keberanian. Dan itu lebih banyak ke kita, ke para pemain. Keberaniannya diuji, adrenalinnya diuji. Para pemain adalah para penjawab tantangan dan bahaya. Para penonton adalah mereka yang disuguhi ketakjuban! Dan pada akhirnya, hidup adalah ketakjuban, dalam arti sesungguhnya banyak hal yang biasa saja tetapi kita pandang sebagai membahayakan. Tetapi, dengan adrenalin kita, semua itu bisa ditaklukkan, dan kalau sudah ditaklukkan, maka hasilnya adalah tepuk tangan ketakjuban.

Setelah tepuk tangan ketakjuban, ketika orang-orang memandang bahwa yang bahaya bisa diatasi maka tepuk tangan usai dan mereka mulai biasa hidup dengan itu. Contohnya ialah pesawat terbang. Ketika Wright Bersaudara melakukan eksperimen membuat suatu benda yang dibayangkan bisa terbang, maka ia ingin menjawab tantangan, sekaligus menaklukkan bahaya. Apa yang dilakukan mereka memang sudah pernah dilakukan orang-orang sebelumnya dan selalu gagal. Tapi kita tahu setelah generasi mereka, pesawat terbang memang bisa diwujudkan. Pesawat tebang itu ada!

Zaman sekarang orang sudah tidak lagi merasa bahaya, melintasi Samudera Pasifik atau Atlantik dengan pesawat terbang yang sudah demikian canggih. Memang ada pesawat terbang yang mengalami kecelakaan, tetapi manusia selalu mengantisipasi dan mengevaluasi, agar hal demikian tidak terjadi. Soal pesawat terbang ini, pertama kali kita kagum sekali: bagaimana mungkin besi seberat berton-ton bisa terbang? Tapi, kemudian kita bisa memahami dan kemudian lagi, kita tidak lagi terlalu kagum dengan benda ajaib itu.

Demikian juga dengan tong setan. Bagi saya dan para pemain, sudah menganggapnya biasa, bukan sesuatu yang aneh lagi, soalnya sudah menjadi bagian dari hidup. Dan hidup itu memang seperti tong setan!

Maryo mengangguk-angguk.

“Kamu sudah melihat tong setan?” tiba-tiba Sulaiman bertanya demikian.

“Belum!” jawab Maryo lugas.

“Apa? Belum?” terkaget-kagetlah Sulaiman.

“Iya, memang belum pernah,” jawab Maryo tak kalah lugunya.

“Wah, semoga saja kamu paham apa yang aku uraikan di muka. Besok, kamu akan kubawa ke lokasi pertunjukan tong setan. Sebagai calon pemain utamanya, kamu harus lihat secara detil pertunjukkan tong setan itu!” ujar Sulaiman.

Sulaiman menyeruput tehnya pelan-pelan dan angin mendesir lembut, serta suara sayup-sayup penjual es tong-tong berlalu, ketika Sulaiman mengakhiri pertemuan itu. Ia merasa ada yang salah dengan langkahnya. Mestinya pertanyaan terakhir itu ditanyakan di depan. Selama ini, Sulaiman mengasumsikan bahwa Maryo sudah pernah melihat benda yang bernama tong setan itu, ternyata belum. Ini artinya, peluang kegagalan untuk merekrutnya sebagai calon pemain utama lebih besar. Bagaimana kalau Maryo ternyata takut dengan pertunjukan tong setan? Bagaimana kalau Maryo yang gagah dan idola para pembalap liar itu, menderita phobia alias ketakutan berlebihan dengan tong setan?

MARYO duduk tertegun di tengah-tengah benda yang bernama tong setan itu. Tempat seperti tong ini, yakni silinder yang tersusun dari papan kayu sebagai dindingnya, dengan tinggi dan diameter tertentu ini, memang baru dilihatnya. Ia memandangi mentornya, Sulaiman langsung yang hendak memperlihatkan secara langsung teknik permainan tong setan. Sulaiman sedang menstarter sepeda motor trail itu, ketika Maryo mengingat kembali uraian teknis Sulaiman sebelumnya. Ukuran lintasannya berdiameter enam meter dengan tinggi empat meter. Enam belas dinding terbuat dari plat bordes atau menggunakan kayu. Di sana juga sudah ada ruang penjualan tiket. Ada juga payung besar sebagai atapnya. Para penonton juga sudah diberi ruang tersendiri di atas, ruang untuk mengintip langsung dari balik dinding ujung atas tong setan itu.

Maryo baru paham mengapa permainan ini dinamai tong setan. Tanpa harus mencari tahu setannya di mana, Maryo langsung paham bahwa setan yang dimaksud bukan setan yang sesungguhnya, melainkan dalam arti yang lain. Setan dalam arti menakutkan atau menyeramkan. Dan tong setan, maksudnya jelas, bahwa tanpa harus tahu siapa pencipta permainan ini dan pemberi namanya, ia termasuk ke kategori permainan atau pertunjukan yang menyeramkan, atau dalam bahasa Sulaiman, pemacu adrenalin!

Sulaiman menaiki sepeda motornya, sesekali menarik gasnya, menderu-derukan suaranya yang sengaja dibikin lebih keras ketimbang suara sepeda motor biasa. Asapnya menyembul dari knalpot, tetapi tidak begitu pekat. Sulaiman sudah menyetel agar asap sepeda motor itu tidak terlalu pekat, sehingga tidak membuat mata penonton pedih dan dadanya sesak.

Tak seberapa lama Sulaiman memulai aksinya. Partama-tama ia berputar biasa di dalam tong yang berdiameter sempit itu, semakin lama semakin cepat, dan semakin mengambil ruang di dinding silinder itu. Sepeda motor yang menderu-deru itu bagai bayangan yang hadir sekelebat, tetapi terus menerus. Di titik pusat tong itu, Maryo tertegun dan kepalanya pusing. ia seolah ta percaya, kalau Sulaiman mampu melakukan atraksi ajaib itu. Ia dan sepeda motornya berlari kencang di dinding vertikal!

Maryo baru paham apa yang diuraikan Sulaiman kemarin: hidup ini seperti tong setan. Hidup penuh tantangan dan bahaya. Dan tong setan mengajarkan bahwa bahaya dan tantangan itu tidak harus dihadapi saja, tetapi ditaklukkan. Mampukah ia menjadi Sulaiman? Maksudnya, melakukan atraksi maut seperti yang dilakukan Sulaiman itu?

Jawabnya mampu. Terbukti ia masih bertahan, sebagai pemain utama tong setan di Rombongan Pasar Malam Slalu gembira. Bahkan, Maryo sudah sepenuhnya serahi oleh Sulaiman untuk merekrut anggota baru. Dan Maryo pun sudah menemukan dua anak muda sebagai pemain tong setan. Sudah setahun belakangan, Maryo dan dua anak buahnya melakukan atraksi-atraksi ajaib di tong setan itu, dan selalu menggembirakan penonton!

Dalam merekrut dua anak muda itu, Dul Rahman dan Sumarso, Maryo diberi kesempatan Sulaiman untuk langsung memberi wejangan dan melatih secara teknis. Dan kemudian inilah adegan yang terjadi. Di samping rumah itu, di bangku yang sama di bawah pohon waru duduk empat orang: Maryo, Sulaiman dan dua calon anggota barunya. Sulaiman bersekedap sambil manggut-manggut mendengarkan Maryo menguraikan hal-hal yang dulu pernah ia uraikan. Tetapi, uraiannya Maryo tidak sama persis, terutama ketika ia menambahkan falsafah hidup dari Ki Ronggo Warsito, pujangga legendaris tanah Jawa.

Hidup ini seperti tong setan. Hidup ini membuat banyak orang memilih menjadi gila. Edan. Ki Ronggo Warsito telah menyinggung hal ini di masa lalu. Amenangi Jaman Edan. Artinya mengalami, memasuki, atau menyaksikan suatu zaman gila. Ewuh aya ing pambudi. Melu edan ora tahan. Yen tan melu anglakoni. Boya keduman milik. Kaliren wekasanipun. Bahwa, zaman edan itu tidaklah mudah untuk dimengerti. Ikut edan tidak sampai hati. Bila tidak ikut, tidak kebagian harta, akhirnya kelaparan!

Tapi, kemudian: Ndilalah kersaning Allah. Begja begjaning kang lali. Luwih begja kang eling lan waspada. Bahwa, namun kehendak Tuhan, seberapapun keberuntungan orang yang lupa, masih untung orang yang sadar dan waspada! Para pemain tong setan itu menghadapi sesuatu yang dipandang edan karena melakukan atraksi maut sedemikian rupa, sehingga pemainnya disangka orang-orang edan juga. Tapi, kalau kita sangkut pautkan dengan Ki Ronggo Warsito, justru sebaliknya, bahwa kita, para pemain tong setan, ialah orang-orang yang sadar dan waspada. Karena hanya dengan sadar dan waspada itulah kita tidak menjadi edan dalam arti yang sesungguhnya. Kita adalah kumpulan orang-orang waras, yang menghibur masyarakat, yang bekerja untuk menghidupi diri dan anak istri secara wajar. Tidak nyolong! Bahwa pekerjaan yang kita lakukan adalah halal dan wajar!

SOLIKHIN hendak memimpin doa malam itu, ketika Maryo merasa bahwa betapa ia sudah sangat menyatu dengan benda yang bernama tong setan itu. Ia merasa bahwa jalan hidupnya memang di sana, di silinder raksasa itu dan dari situlah ia bisa menghidupi anak istri. Apabila ia ingat anaknya, lelaki semata wayang yang sekarang sudah duduk di SMA, ia ingat kejadian beberapa tahun yang lalu, ketika Maryo menyelamatkan penonton kecil yang terlempar jatuh dari tempat penonton tong setan.

Waktu itu, penonton amat padatnya. Ketika atraksi utama berlangsung, seorang penonton, yang kemudian diketahui seorang lelaki berumur sepuluh tahun, terlempar ke dalam tong setan itu. Secara reflek, Maryo menangkap tubuh anak itu dan dipangkunya. Banyak penontonyang mengira itu bagian dari atraksi, kecuali seorang ibu muda yang panik sekali. Ia ibu anak itu, dan merasa tak punya harapan ketika anaknya terjatuh dan celaka. Tapi ternyata anak itu tidak apa-apa! Ketika Maryo mengakhiri pertunjukkannya, tepuk tangan malah membahana. Ibu itu kaget setengah mati melihat anaknya selamat dalam dekapan Maryo. Sejak itu Maryo melegenda namanya.

Radio lokal memberitakan kehebatan Maryo terus-menerus, dengan memutarulang rekaman wawancaranya. Ibu dari anak itu juga di wawancara dan terus memuji-muji Maryo yag dianggapnya sebagai pahlawan. Suratkabar lokal juga tak kalah gencar memberitakannya. Supardal pun memberikan penghargaan kepada Maryo atas upaya dan keberhasilannya menyelematkan anak itu. Pak Camat dan Pak Bupati juga turut memberikan penghargaan. Tetapi yang lebih membuat Maryo bangga adalah pujian Sulaiman.

Sulaiman memujinya sebagai murid terbaik, yang lebih baik daripadanya! Sulaiman merasa menjadi pemimpin sejati setelah merasakan perkaderannya jalan, bahwa Maryo adalah kadernya yang terbaik! Kebanggaan Rombongan Pasar Malam SLALU GEMBIRA terhadap Maryo semakin luar biasa, ketika seorang bule terpikat pada atraksi tong setan Maryo dan rekan-rekannya. Bule Belanda itu mengundang mereka untuk memainkan atraksi yang sama di negerinya. Dan Rombongan Pasar Malam SLALU GEMBIRA pun go international!*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun