Mohon tunggu...
Alfan Alfian
Alfan Alfian Mohon Tunggu... -

M Alfan Alfian adalah Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta, dan juga Direktur The Akbar Tandjung Institute, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Pasar Malam (Sebuah Novel) - 3

4 Juni 2013   14:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:33 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

3/ Tukang Sulap yang Tak Bisa Menyulap Nasibnya (1)

Supardal langsung yang menemukannya. Namanya Junaidi, tetapi lazim dipanggil Juned, tukang sulap andalan Rombongan Pasar Malam SLALU GEMBIRA. Pardal tertarik pada sosok ini, bukan karena rambutnya agak keribo seperti Ahmad Albar, tetapi karena kemampuan persuasinya dalam mendamaikan orang berkelahi di pasar bunga siang itu. Pardal tengah membeli bunga untuk nyekar makam orangtuanya di pasar itu, ketika keributan terjadi.

Pasar itu kecil saja. Beberapa bangunan seadanya ada di situ. Pepohonan di sana-sini, termasuk pohon beringin yang besar itu, yang di bawahnya dipakai sebagai gelaran dagangan beberapa orang. Hampir semuanya jualan bunga, kecuali Yu Siyem yang juala nasi pecel dan Mas Wagino yang jualan es dawet. Tetapi agak sedikit jauh dari situ ada warung soto Yu Darni. Pasar itu tak jauh dari makam desa. Makam itu cukup besar, bahkan yang paling besar di kecamatan. Mengapa sampai ada pasar kembang di situ, karena di makam itu ada pusara seorang tokoh, kiai, penyebar Islam di situ yang wafat entah berapa tahun yang lalu. Dan anehnya, tak ada yang tahu siapa dia, nama yang sebenarnya, apa yang telah dilakukan, dan apa yang terjadi. Orang menyebutnya sebagai makam Mbah Santri.

Tidak ada orang yang punya otoritas untuk menjelaskan siapa dia, apakah dia seorang wali atau bukan. Tetapi yang sampai pada telinga Pardal adalah versi yang ini: Suatu hari di zaman dulu, ada dua orang santri yang diterjunkan kiainya untuk menyebarkan agama di desa-desa yang jauh. Dua santri itu datang dari jauh, dari daerah Kediri Jawa Timur. Seorang santri wafat karena sakit dan di makamkan di makam itu. Makamnya masih dapat dilihat sekarang, yang ada di sebelah kiri tengah kompleks pemakaman ini dengan kijing yang panjang dan disebelahnya pohon, entah pohon apa itu, yang tinggi. Itu katanya adalah tongkatnya. Santri satunya lagu menjadi guru mengaji di desa itu, walaupun tidak membuat pondok pesantren, tetapi konon ia menginspirasi penduduk untuk suatu ketika, setelah lama ia wafat, mendirikan masjid jami di desa itu. Setelah wafat, ia dikuburkan di pemakaman itu, di sebelah kanan tengah, dan dengan pohon yang sama di sebelahnya, yang juga konon katanya tongkatnya!

Namun, Pardal juga dapat sambungan cerita atau bahkan versi cerita lain dari kedua kuburan itu. Bahwa sesungguhnya yang ada di kuburan itu bukan jasad mereka, melainkan jasad kura-kura yag dipercaya sebagai mereka. Susah memahami logika kisah ini, tetapi, kisah berikut sudah demikian menyusup dalam benak orang-orang desa itu.

Bahwa suatu hari hujan deras terjadi dan desa itu diterjang banjir bandang. Ketika kedua santri itu masih hidup, mereka aktif menyelamatkan para penduduk dari terjangan banjir. Sejak banjir itu terjadi, desa ini terbelah menjadi dua, karena banjir telah membentuk aliran sungai yang semula kecil menjadi lebar dan dalam. Kalau hujan terjadi, desa ini tidak mungkin terjadi banjir lagi, karena airnya segera tertampung di sungai itu. Kalau air surut, penduduk desa bisa dengan mudah menyeberangi sungai itu dengan melompat dari batu-batu besar yang berjajar. Tetapi, apabila sungai penuh sehabis hujan lebat, maka tidaklah mungkin mereka bisa menyeberangi sungai itu, sementara belum ada jembata yang dibangun di sana, seperti sekarang.

Kedua santri itu tinggal di sebelah selatan sungai. Mereka sudah berbagai tugas, untuk mengisi pengajian ke beberapa desa sekitar. Saat hujan deras, padahal salah satu dari mereka sudah dijadwalkan untuk mengisi pengajian di desa sebelah utara sungai, maka tetap ditunaikan tugasnya itu. Bahkan keduanya tidak pernah absen walaupun hujan lebat dan sungai tidak mungkin diseberangi. Beredarlah kisah bahwa mereka dengan mudah menyeberangi sungai itu, karena mereka bisa berubah menjadi kura-kura. Pada suatu saat, kedua santri itu menghilang tanpa diketahui jejaknya. Seorang penduduk menemukan dua ekor kura-kura mati di pinggir sungai. Penduduk itu melaporkan kejadian itu pada kepala desa, dan kemudian diputuskan untuk dimakamkan di pemakaman itu. Kedua jasad kura-kura itulah yang diyakini sebagai jasad dua “orang suci” atau dua santri yang hilang itu.

Ketika kedua kura-kura itu dikuburkan dan yang berziarah banyak berdatangan dan makam menjadi ramai, seorang warga datang ke kepala desa. Warga itu bersaksi bahwa ia melihat kedua santri itu pergi meninggalkan desa diam-diam pada dinihari. Warga itu mengatakan bahwa dirinyalah satu-satunya orang yang dipamiti oleh mereka. Esoknya, kepala desa mengumpulkan warga. Warga yang melapor itu dipersilakan duduk di depan warga. Kemudian Pak Kepala Desan sendiri yang mengajukan beberapa pertanyaan.

“Apakah ketika kedua santri itu pergi dan katanya hanya berpamitan kepada Sampeyan, ada saksi lain?”

“Tidak Pak!”

“Apakah mereka mengatakan sesuatu?”

“Tidak Pak!”

“Tahukah mengapa cuma Sampeyan yang dipamiti?”

“Tidak Pak!”

“Lagi pula mengapa sampeyan, malam-malam, atau dini hari belum tidur?”

“Tugas ronda Pak!”

“Kalau tugas ronda, kenapa teman-teman lainnya tidak dipamiti?”

“Teman-teman lain tidak masuk Pak, jadi saya cuma sendiri!”

“Ke arah mana mereka pergi?”

“Selatan Pak!”

“Cukup! Sekarang, saya mau bertanya ke para warga, apakah percaya pada cerita atau pengakuan ini?”

Semua warga serentak mengatakan tidak. Mereka lebih percaya dengan dua ekor kura-kura yang telah dikubur itu. Dan kepala desa sendiri kemudian menutup pertemuan itu. Setelah seluruh warga pulang ke rumah masing-masing, Pak Kepala Desa mengatakan kepada warga yang melapor tadi.

“Sampeyan tahu sendiri kan tadi, bahwa seluruh warga tidak yakin dengan keterangan Sampeyan?”

“Iya Pak, tapi saya yakin, saya benar Pak!”

“Cukup kebenaran itu untuk Sampeyan saja! Semuanya sudah terlanjur. Warga sudah meyakini bahwa kura-kura itulah orang-orang suci!”

“Bapak membela kebenaran atau membela warga?”

“Kamu tahu kan, saya ini pemimpin, tentu saya akan membela warga!”

“Bukan membela kebenaran Pak?”

“Kebenaran itu bagimu saja, karena kamu yang meyakininya. Tetapi saya membela kebenaran orang banyak!”

“Kebenaran orang banyak, bukan kebenaran sejati Pak!”

“Sudahlah kita tidak usah berpanjang lebar. Begini saja, kamu pulang sekarang, kamu akan aku angkat sebagai kepala dukuh di tempatmu, dan kuberi nama duku itu Dukuh Sejati!”

Dan sejak itulah warga dukuh sejati tidak pernah percaya bahwa yang disebut makam “orang suci” itu adalah yang sebenarnya.

Makam itu tidak pernah digusur, walaupun para khotip di masjid-masjid selalu mengingatkan agar tidak berbuat kemusyrikan di makam itu. Para ulama di desa itu juga membiarkan pasar bunga hadir di situ, tetapi selalu aktif mengingatkan jangan berbuat kemusyrikan. Jangan meminta apapun pada kuburan. Kalau meminta keselamatan dan kebahagiaan hidup, mintalah kepada Allah! Para ulama setempat lah yang mensponsori berbagai tulisan di sekitar makam itu, termasuk yang berada di pohon beringin ini: DILARANG BERBUAT KEMUSYRIKAN, MINTALAH BERKAH DAN KESELAMATAN HANYA KEPADA ALLAH SWT.

Ketika kerusuhan itu terjadi, Pardal tengah menawar bunga melati di bawah pohon beringin tua itu. Penjualnya ibu-ibu tua yang sudah dikenal Pardal sejak ia SD. Ketika tengah memilih bunga melati itulah, seorang anak muda berlari ke arahnya, menerjang segala yang ada di depannya. Pardal hampir tertabrak, kalau tidak menjatuhkan diri ke belakang. Tetapi, yang lebih parah lagi adalah para pengejarnya. Karena jumlah mereka banyak, maka yang rusak juga banyak. Bunga melati yang ada di depan Pardal pun kocar-kacir ke mana-mana.

Ada apa ini?

Pardal bangkit dari duduknya dan berupaya mencari tahu. Ketika seorang lelaki berpakaian hansip mendekat, ia segera bertanya, apa yang sesungguhnya sedang terjadi.

“Biasa Mas, urusan anak-anak remaja, rebutan cewek!” kata lelaki berpakaian hansip itu.

“O alah, wong wedhok kok jadi rebutan sampai membikin keributan begini!” seru ibu-ibu tua penjual bunga itu.

“Memangnya perempuan di dunia ini hanya satu, kalau tidak dapat yang ditaksir, kan masih banyak yang lain. Kok sampai gelap mata begitu ya?” sahut yang lain.

“Lha iya, memangnya perempuannya itu Ken Dedes?”

Segera pasar bungan itu riuh dengan kalimat-kalimat sahutan yang membahs soal keributan yang disebabkan oleh rebutan cewek itu. Tiba-tiba Pardal ingat Narti, perempuan yang gagal direbutnya dari suainya sekarang, Karman. Waktu itu sebagai kenek bis, kenalan Pardal banyak, tetapi yang paling memikat hatinya adalah Narti, kembang desa sebelah. Bukan karena kulitnya kuning langsat, tetapi lebih karena kehalusan budi Narti yang dinilai Pardal, tanpa tandingan.

Narti masih duduk di kelas dua SMA ketika Pardal memperhatikan kehadirannya di bis itu. Rupanya ia pindahan dari daerah lain. Orangtuanya adalah dokter di Puskesmas yang baru berdiri di desa sebelah, dan otomatis semua keluarganya diajak serta. Adapun Narti juga harus pindah sekolah, dan hampir tiap hari, ia naik bis dimana keneknya adalah pemuda yang berambut gondrong bernama Pardal. Pardal memang suka menggoda perempuan, tetapi sama Narti tidak berani berbuat demikian. Bagi Pardal, Narti itu orang baik, dan entah mengapa ia merasa harus menjaganya setengah mati.

Termasuk, suatu hari ketika, pengamen naik ke bisnya. Mereka dua orang, yang satu nyanyi sekenanya, satu lagi bermain kencrung, gitar kecil tanpa nada yang jelas. Bis ini memang sering dinaiki pengamen, tetapi terhadap dua pengamen ini, Pardal tidak suka dengan tabiatnya, yang terlihat memaksa penumpangnya untuk memberi uang. Ketika mereka memaksa Narti untuk juga memberi uang, Pardal merasa mendapat peluang untuk menjadi pahlawan alias juru selamatnya. Apalagi, salah satu dari pengamen itu menarik-narik tas sekolah Narti. Melihat adegan demikian, Pardal berteriak lantang, “Lepaskan!”

Kedua pengamen itu kaget dengan teriakan Pardal, sang kenek. Semua penumpang melihat adegan dramatis itu, yakni ketika pengamen melepaskan tas Narti, dan dengan salah tingkah mereka berjalan menuju pintu. Kembali Pardal berteriak lantang, “Keluar! Keluar dari bisku!” keduanya lantas terbirit-birit keluar. Tetapi, begitupun sampai di luar bis, salah satu pengamen itu sempat meneriaki balik Pardal, “Dasar kenek bodoh!”

Pardal pun berteriak reflek, “Awas kamu! Kurangajar kamu!”

Dan bis pun tetap melaju kencang.

Suatu hari, ketika Pardal demam dan memeriksakan dirinya ke Puskesmas, tak disangka Narti ada di sana, dan ia langsung bilang ke bapaknya bahwa Pardal adalah pahlawan penyelamatnya. Pak Mantri, ayahnya Narti, langsung mengucapkan terima kasih kepada Pardal. Dan sejak itu, setiap kali Pardal periksa ke Puskesmas, Pak Mantri selalu menolak untuk dibayar.

LAGU-LAGU Meggy Z merupaan penghibur utama Pardal, ketika ia memutuskan untuk urung menyampaikan cintanya ke Narti. Pardal berpikir, percuma saja ia mengatakan sesuatu pada Narti, kalau ia, sebagaimana salah satu syair lagu Meggy Z adalah “orang tak punya”. Narto merasa kelas sosialnya tidak sebanding dengan kelas sosial Narti yang anak Pak Matri. Ia hanya kenek dan ia mencoba berpikir realistis. Apalagi, ketika ia mersa sangat cemburu tetapi tidak bisa berbuat apa-apa, ketika mengetahui bahwa Narti itu sering didatangi anak muda yang sepeda motornya GL-Pro. Orangnyaparlente. Ia anaknya Pak Camat, anak kuliahan dari kota. Langsunglah Pardal drop.

Tentu saja tidak ada yang tahu apa yang terpendam di hati Pardal, kecuali Jajuli, sopir bisnya. Jajuli lah orang yang selalu dicurhati Pardal, soal apa saja. Sebagai orang yang oleh Pardal dituakan, Jajuli lah yang sering mengingatkan agar jadi orang itu yang realistis, tidak nggegge mongso alias merasa bisa.

“Jangan merasa bisa, tetapi bisalah merasakan!” kata Jajuli.

“Justru karena saya merasa tidak bisa itulah, saya mundur, tak nekat menyampaikan maksud hati,” sahut Pardal.

“Orang-orang kecil seperti itu itu,” kata Jajuli, “hanya bisa membatin tingkah laku orang-orang yang merasa bisa. Membatin itu menilai, dan niteni, menandai, bahwa orang yang merasa bisa, orang yang ambisius pasti akan kepenthok, akan kena batunya!”

“Tapi, ternyata sekarang ini kan banyak orang yang kita kira merasa bisa tadi, memang akhirnya bisa menjadi lurah, camat, bupati, bahkan RT! Walaupun rakyatnya tidak pernah diurus!” sahut Pardal.

Gusti Allah maha adil Dal! Gusti Allah ora sare! Gusti Allah tidak tidur! Bahwa yang ambisius tetapi kemudian tidak adil, sewenang-wenang, jahat, adigang adigung adiguna alias sombong, tetap saja ia akan mendapatkan buahnya. Ia akan memperoleh hukuman dari-Nya. Kalau tidak di dunia, ya kelak di akhirat!” kata Jajuli dengan mimik muka serius.

Makanya, Pardal benar-benar tidak paham mengapa hanya soal cewek saja, bisa jadi keributan. ia membayangkan, kalau saja para pemuda berpikiran sama dengan dirinya, yang tidak kuduk wani kurang dedugho, makatidak akan pernah ada keributan.

“Kuduk wani kurang dedugho, itu artinya asal berani tidak punya pertimbangan,” demikian Jajuli pernah menjelaskan. Dan, orang yang demikian, biasanya orang nekat, orang yang brangasan.

JUNAIDI alias Juned berdiri gagah di depan sepuluh pemuda. Di belakangnya, meringkuk seorang pemuda yang tidak mungkin lagi bisa melarikan diri, karena ada dinding yang tinggi di belakangnya. Kiri-kanannya adalah bangunan permanen tempat pedagang menggelar bunga-bunga dagangannya. Juned berkacak pinggang. Kemudian, tangan kananya dilentangkan ke depan, sambil berteriak, “Stop! hentikan!”

Kesepuluh anak muda itu menghentikan langkahnya. Mereka berhadapan dengan Juned yang berdiri persis di depan anak muda yang dikejar-kejar itu.

“Apa urusanmu? Lekaslah serahkan orang itu!” teriak salah satu di antara mereka.

“Jangan main hakim sendiri! Semua masalah bisa diselesaikan! Dia bukan pencuri! Bubarlah!” teriak Juned.

“Hai orang asing, jangan banyak bicara, kalau tidak mau kami keroyok!” kata pemuda pengeroyok yang memakai pentungan.

“Hahaha... Aku bukan orang asing di sini! Aku Juned, anak pedagang bunga di sini! Aku jualan ayam di sini! Kalian tidak jantan main keroyok!” tukas Juned.

Dan pentungan itu dilemparkan ke arah Juned. Pada saat yang sama Juned dengan gerak refleknya menghindar. Pentungan itu menatap tembok, tidak mengenai siapa-siapa. Juned pun terpancing dan memulai aksinya dengan meraih bagian atas lampu templok di situ.Ia meraih pentungan tadi untuk memecahkan lampu teplok itu menjadi pecahan-pecahan kaca atau beling. Dan seperti atraksi dalam kuda lumping, beling-beling itu dikremusnya, seperti makan emping saja!

Tidak hanya kesepuluh pemuda di depannya, bahkan semua orang yang menyaksikan adegan itu miris. Tidak menyangka kalau Juned itu mampu makan beling. Pastilah ia orang yang berilmu sakti. Sambil meremus beling-beling itu, Juned mengacungkan pentungan itu ke arah para pemuda itu. Dan tiba-tiba, salah seorang pedagang di situ berteriak, “Bubar!”

Teriakan itu disambut yang lain, “Bubar! Bubar! Atau kalian ganti kami keroyok!”

Dan, pemuda itu kocar-kacir!

JUNED nambah sepiring lagi nasi sotonya, ketika Pardal menanyakan dari mana kemampuan makan beling tadi.

“Apakah Mas Juned pernah jadi pemain kuda lumping?” tanya Pardal.

Juned belum menjawab, ketika menerima tambahan nasi sotonya, menambahkan sambal dan jeruk nipis. Baru kemudian, setelah meraih kerupuk yang telah diambilkan penjual soto itu dari dalam blek warna biru, bertuliskan Kurnia Jaya, menandai perusahaan pemilik kerupuk itu, Juned menjawab, “Pernah!”

“Wah, di mana itu Mas Juned?” tanya Pardal yang sejak kejadian tadi memperhatikan betul ke mana Juned setelah ini. Ternyata Juned menuju warung soto, dan kemudian kesempatan bagi Pardal untuk juga ikut makan soto, sambil ngajak ngobrol.

Mulut Juned meringis karena kepedasan, ketika menjawab ringan pertanyaan Pardal.

“Malang, Jawa Timur!”

“Wah, hebat, hebat! Mas Juned ini punya keahlian makan beling, mengapa nggak dimanfaatkan saja sebagai tukang sulap?” ujar Pardal

“Apa? Tukang sulap?” sergah Juned setengah menyemburkan sesuatu dari mulutnya, pertanda kaget.

“Iya tukang sulap!”

“Aku bukan tukang sulap, aku hanya pernah ikut sebagai pemain kuda lumping itu saja. Lagi pula, siapa yang mau ajak aku jadi tukang sulap?” tangan Juned mengusap-usap hidungnya.

“Kalau ampeyan berkenan, ikutlah rombongan kami. Kami punya rombongan pasar malam, kebetulan tukang sulapnya belum ada. Kalau Mas Juned bersedia, nanti kita atur. Bagaimana Mas Juned?”

“Hehehe, aku bukan tukang sulap. Tapi menarik juga tawaran sampeyan, siapa namanya, sampeyan?”

“Pardal. Supardal.”

“Gini aja Kang Pardal. Kasih aku waktu untuk berpikir. Dua hari lagi, sampeyan datang ke sini. Di warungsoto ini. Bagaimana?”

Dua hari kemudian pardal datang ke warung soto itu. Dan betapa kagetnya ia menjumpai Juned memakai topi koboi. Bajunya hitam. Dia berdiri sambil bergaya di depan warung soto itu, ketika Pardal datang.

“Bagaimana Kang Pardal? Apakah aku sudah punya potongan sebagai pesulap?” tanya Juned sambil mengacungkan sebuah tongkat kecil.

Pardal bertepuk tangan kecil. Wajahnya tersenyum sumringah, bahagia, melihat tingkah laku Juned yang demikian percaya diri. Pastilah kelak ia menjadi pesulap tersohor!*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun