Dalam beberapa tahun terakhir, media sosial telah menjadi salah satu alat komunikasi yang paling dominan dalam memengaruhi opini publik, termasuk di bidang politik. Pemilu 2024 di Indonesia menandai momen penting di mana media sosial memainkan peran signifikan dalam membentuk preferensi pemilih. Dengan tingginya penetrasi internet di Indonesia, platform seperti Facebook, Instagram, TikTok, dan Twitter menjadi sarana utama bagi para kandidat dan partai politik untuk menjangkau pemilih, terutama generasi muda.
Media Sosial sebagai Alat Kampanye
Media sosial memungkinkan politisi untuk langsung berinteraksi dengan pemilih tanpa melalui perantara. Mereka dapat membagikan visi, misi, dan program kerja melalui konten visual yang menarik seperti video pendek, infografis, atau siaran langsung. Hal ini tidak hanya meningkatkan keterjangkauan, tetapi juga menciptakan hubungan yang lebih personal antara kandidat dan pemilih.
Namun, keunggulan ini juga membawa tantangan, seperti penyebaran berita palsu (hoaks) dan manipulasi informasi. Kampanye hitam atau informasi yang sengaja dipelintir sering kali digunakan untuk merusak citra lawan politik. Pemilih yang kurang kritis cenderung terpengaruh oleh informasi yang tidak valid, sehingga memengaruhi keputusan mereka di bilik suara.
Pengaruh terhadap Generasi Muda
Generasi muda, terutama kelompok milenial dan Gen Z, adalah segmen pemilih terbesar di Pemilu 2024. Mereka menghabiskan banyak waktu di media sosial, sehingga kampanye politik yang kreatif dan relevan di platform tersebut dapat berdampak besar. Tren seperti penggunaan meme politik, tantangan TikTok, atau kolaborasi dengan influencer kerap menarik perhatian mereka.
Namun, pengaruh ini juga dapat bersifat superfisial. Banyak pemilih muda yang cenderung memilih berdasarkan daya tarik visual atau popularitas kandidat di media sosial tanpa mempertimbangkan program kerja secara mendalam.
Pentingnya Literasi Digital
Untuk mengurangi dampak negatif media sosial terhadap preferensi pemilih, literasi digital menjadi kunci. Pemilih harus dibekali kemampuan untuk memverifikasi informasi dan memahami konten politik secara kritis. Kampanye edukasi tentang pentingnya memilih berdasarkan substansi, bukan sekadar citra, perlu digencarkan oleh pemerintah, lembaga pendidikan, dan organisasi masyarakat sipil.
Kesimpulan
Media sosial adalah pedang bermata dua dalam konteks Pemilu 2024. Di satu sisi, platform ini dapat menjadi alat yang efektif untuk meningkatkan partisipasi politik dan menyampaikan pesan kandidat. Di sisi lain, risiko penyebaran hoaks dan keputusan memilih yang kurang berbasis informasi juga meningkat. Oleh karena itu, kolaborasi antara pemerintah, penyedia platform, dan masyarakat sangat dibutuhkan untuk memastikan media sosial digunakan secara positif dalam mendukung demokrasi yang sehat.
Dengan literasi digital yang baik, pemilih dapat lebih bijak dalam menentukan pilihan, sehingga Pemilu 2024 tidak hanya menjadi ajang demokrasi, tetapi juga mencerminkan kematangan politik masyarakat Indonesia.
Muhammad Alfan Adinata, Mahasiswa fakultas hukum Universitas Trunojoyo Madura, NIM (240111100105)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H