Berita tentang rencana pemerintah melakukan pembatasan premium bersubsidi mulai April nanti, tentu saja menimbulkan pro dan kontra. Bagi yang setuju dengan kebijakan ini, penghematan anggaran dan kebaikan bagi kelestarian lingkungan menjadi alasan. Sementara bagi mereka yang kontra , penolakan itu sebenarnya lebih pada cara pembatasan yang dirasa kurang pas, demikian juga sosialisasi yang belum merata serta rawan memicu penyelewengan.
Memang benar bahwa subsidi, dalam banyak hal, akan memicu penyelewengan. Disparitas harga yang cukup tinggi tentunya akan mengundang para spekulan untuk bermain curang sehingga tujuan pembatasan premium yaitu penghematan anggaran tidak tercapai. Pengalaman membuktikan bahwa penyelewengan itu memang ada, seperti tertangkapnya para penyelundup solar yang menjual solarnya di laut lepas kepada kapal-kapal asing, penjualan pupuk urea bersubsidi yang seharusnya untuk petani kecil tetapi malah dijual kepada perkebunan besar hingga terbongkarnya modus memindahkan gas bersubsidi (tabung 3 kg) ke tabung 12 kg yang tidak disubsidi.
Memang, pemerintah juga menawarkan kemudahan bagi para pemilik mobil pribadi, yang pertama terkena kebijakan ini, untuk beralih menggunakan bahan bakar gas. Namun sayangnya harga kit konverter yang cukup tinggi, antara 8 sampai dengan 14 juta rupiah per unit, dirasa memberatkan calon penggunanya. Belum lagi stasiun pengisian bahan bakar gas yang belum merata di negeri ini akan menjadi hambatan keberhasilan program ini.
Ada yang berpendapat bahwa subsidi premium ini harus dihapus karena salah sasaran dan lebih banyak dimanfaatkan oleh orang-orang berpunya. Pendapat ini benar jika mereka itu adalah para pemilik mobil yang berharga ratusan juta rupiah. Namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak di jalan raya kita, terutama di pelosok-pelosok negeri, berseliweran mobil-mobil buatan era '80-90an yang harganya tak lebih dari harga sepeda motor. Mereka menggunakan mobilnya lebih banyak untuk menunjang usahanya dalam mencari nafkah, bukan sebagai sarana transportasi.
Di desa-desa, mereka-mereka ini antara lain adalah para petani pemilik mobil-mobil bak terbuka yang digunakan untuk mengangkut hasil panennya, para peternak sapi yang menggunakan mobil semacam ini untuk mengangkut rumput dan jerami bagi ternaknya. Begitu juga dengan para pengusaha mikro yang harus menggunakan mobil pribadi untuk mendistribusikan barang-barang produksinya, seperti pengusaha kerupuk skala rumah tangga dan semacamnya. Di kota-kota, mobil-mobil tua semacam ini biasanya digunakan untuk menjual sayur, pencari barang bekas hingga jasa angkutan. Jika dipaksa menggunakan Pertamax bisa jadi usaha mereka akan bangkrut sementara jika harus menggunakan kit konverter tentu tidak akan terjangkau, bahkan lebih mahal dari harga mobilnya sendiri.
Sebenarnya lebih bijak jika pemerintah menaikkan harga premium 500 hingga 1.000 rupiah per liter dibanding dengan menerapkan kebijakan pembatasan ini. Menaikkan harga premium tentunya akan memicu laju inflasi, sesuatu yang tampaknya tidak disukai pemerintah, dan dianggap kebijakan yang tidak populis. Namun kenaikan harga premium justru memudahkan pemerintah mengontrol distribusi premium bersubsidi ini. Keuntungan lainnya adalah pemerintah mempunyai waktu yang cukup untuk panjang untuk mensosialisasikan rencana penghapusan subsidi segala jenis bahan bakar.
Di samping itu pemerintah juga cukup waktu untuk menyiapkan SPBG dan memberi peluang bagi industri nasional untuk memproduksi kit konverter sehingga alat ini tidak perlu diimpor. Apalagi selisih harga kit konverter buatan luar negeri (Italia) sekitar 5 juta rupiah lebih mahal dibandingkan jika diproduksi massal di dalam negeri. Kita harus belajar dari terburu-burunya program penghapusan subsidi minyak tanah yang diganti dengan gas dan berakibat jatuhnya korban jiwa akibat ledakan tabung gas dan kebakaran yang menyertainya. Hal ini terjadi diduga akibat buruknya kualitas tabung gas, selang dan regulatornya serta kesalahan para penggunanya yang memang belum terbiasa.
Jika kit konverter itu diprodusi di dalam negeri tentu akan mampu menggerakkan perekonomian kita dan akan menyerap tenaga kerja serta akan dinikmati oleh warga Indonesia sendiri. Selain itu, harga yang lebih murah juga akan meringankan beban para pemilik mobil yang ingin berpindah memakai bahan bakar gas. Waktu sosialisasi yang cukup juga akan memudahkan masyarakat untuk bersiap-siap dengan penghapusan subsidi semua jenis bahan bakar.
Sebenarnya pengguna premium bersubsidi yang akan terkena dampak kebijakan pembatasan premium bersubsidi ini tak hanya para pemilik mobil saja. Nelayan-nelayan kecil dengan motor tempel tentunya juga akan menjadi korban. Begitu juga dengan para petani kecil yang biasa membajak sawahnya dengan traktor tangan berbahan bakar premium tentu juga turut merasakan pahitnya kebijakan ini. Jika dipaksa menggunakan bahan bakar Pertamax yang harganya hampir dua kali lipat harga premium bersubsidi tentunya mereka tidak akan mampu karena akan menambah ongkos produksi padahal harga ikan dan beras tak juga membaik dihajar ikan dan beras impor. Jika kebijakan ini bisa ditunda tentu akan memberikan kesempatan kepada para nelayan dan petani kecil untuk berlatih mendayung dan membajak sawah dengan kerbau kembali.
Mungkin juga jika rencana pembatasan premium bersubsidi ini benar-benar diberlakukan April nanti di Jakarta, dan diterapkan juga untuk sepeda motor tahun 2014 nanti bisa jadi kerbau akan naik kelas menjadi tunggangan. Maka jika Anda memiliki kerbau, hewan yang dianggap lamban dan bodoh ini, maka kembang-biakkanlah peliharaan Anda itu. Lalu, belajarlah menungganginya sebab binatang ini, karena kebodohannya, hanya akan menuruti perintah majikan dan orang-orang yang dikenalnya saja.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H