Akhirnya selesai juga kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 setelah hampir sebulan ini kita dijajahnya. Di media massa dan media sosial serta di jalanan aktifitas itu berangsur surut. Beruntunglah masa kampanye ini bertepatan dengan digelarnya Putaran Final Piala Dunia 2014 Brasil serta diikuti dengan dimulainya puasa Ramadhan sehingga sedikit menurunkan tensi kampanye, khususnya memecah bahan obrolan untuk masyarakat awam.
Bagi yang belum menentukan pilihan capresnya, masih ada waktu untuk menimbang siapa yang layak diberi amanat menjadi pemimpin kita. Yang telah membulatkan hati memilih salah satu calon juga masih ada waktu sehari ini untuk berpikir ulang sudah tepatkah pilihannya, begitu juga untuk yang memilih golput masih tersisa waktu memikirkan kembali pilihannya.
Hari ini, terutama bagi yang belum menentukan pilihan, ada baiknya meluangkan waktu untuk mencari informasi dan menelaahnya sebagai bekal memilih presiden esok hari. Satu hal yang harus dipegang adalah jargon "politikus menghamba pada kepentingan". Maka kita tak perlu heran jika tokoh-tokoh yang dulu bergandengan kini menjadi seteru, dulu memuja setinggi langit kini menghina serendah-rendahnya dan sebaliknya, yang dulu getol menyerang kini menjadi kawan.
Kita bisa mencari sumber informasi dari media massa. Namun kita perlu berhati-hati dalam menelaahnya karena sebagian besar media menjadi partisan, masing-masing mengusung capresnya sendiri sehingga berita yang disajikan dibingkai sesuai dengan kepentingan memenangkan capresnya sendiri. Tentu saja kabar yang disampaikan menjadi bias, sehingga kita perlu mencari pembanding berita dan menggunakan akal kita sendiri untuk memilah berita mana yang lebih akurat sesuai dengan fakta yang ada.
Di luar itu, ada banyak sekali sumber berita tak resmi yang bisa juga dijadikan sumber informasi seperti de media sosial Facebook maupun Twitter maupun blog-blog pribadi. Sayangnya, kebanyakan sumber di medsos telah memiliki capres pilihan juga sehingga dalam memberikan informasi menjadi kurang obyektif. Sebagai contoh isu surat suara yang hanya berisi gambar salah satu calon saja di Hongkong yang ternyata hanya keisengan semata padahal isu tersebut sempat membesar dan menimbulkan reaksi yang beragam. Maka tetap saja akal kita yang harus menjadi bumper untuk menelaah sumber berita seperti ini.
Meneliti rekam jejak capres juga ada baiknya dilakukan. Membaca dan mencermati berita tentang sosok capres di masa lalu, saat mereka belum di posisi saat ini akan menghasilkan cerita yang lebih jujur. Namun hasil yang akan kita dapat, secara kualitas dan kuantitas akan berbeda karena Prabowo telah 'menasional' semenjak Orde Baru sementara Jokowi 'baru-baru saja menasional', puncaknya saat Pemilihan Gubernur DKI Jakarta lalu.
Berita tentang Prabowo di masa lalu tak jauh dari tudingan tentang pelanggaran HAM yang dilakukannya saat masih aktif berdinas di kemiliteran. Sementara berita tentang Jokowi kebanyakan berisi rentetan kebaikan dan prestasi mulai dari keberhasilannya menjadi Walikota Surakarta, mobil Esemka dan tentu saja kemenangannya di Pillgub DKI Jakarta. Sisi baiknya dengan segala kabar buruk tentang Prabowo adalah jika kita memutuskan memilihnya, kita telah tahu dia memiliki 'cacat' soal pelanggaran HAM, meskipun kita tak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi saat itu.
Dan bagi Jokowi, dengan semua berita baik yang disiarkan menjadikan dia tak boleh salah, setidaknya meminimalisir kesalahan sekecil mungkin. Kesalahan, apalagi soal korupsi, akan menjatuhkannya serendah-rendahnya. Dan bagi pemilihnya juga harus bersiap jika Jokowi di belakang hari ternyata tak sebaik yang dicitrakan. Hal itu sangat mungkin terjadi, sebagaimana kita tak menyangka seorang Lutfi Hasan Ishaq, Presiden Partai Keadilan Sejahtera yang dianggap sebagai salah satu partai yang bersih, terseret skandal impor daging sapi. Pun juga siapa menyangka saat berderet-deret petinggi Partai Demokrat, partai penguasa, dijerat kasus korupsi dan gratifikasi oleh KPK. Demikian juga saat akademisi seperti Rudy Rubiandini juga menjadi pesakitan KPK.
Salah satu hal yang menjadi 'cacat' bagi Jokowi adalah dugaan mark up pengadaan bus Transjakarta, yang berpotensi merugikan miliaran rupiah, saat dia menjadi Gubernur DKI. Beberapa orang anak buahnya sudah menjadi tersangka dan sangat bisa menarik Jokowi dalam pusaran kasus itu. Apalagi dalam berita yang dirilis oleh Majalah Tempo, diduga ada salah satu warga Solo yang ikut berperan dalam kasus itu. Maka jika tak segera ada kejelasan, hal itu bisa menjadi bom yang waktu meledaknya tak bisa dipastikan. Dan sekali lagi akal kita yang harus dimajukan menapis rekam jejak capres-capres itu agar kita tak salah pilih.
Hal lain yang bisa kita cermati saat memilih capres nanti adalah melihat siapa-siapa saja tokoh yang ada di sekitar capres saat ini, juga mencari informasi siapa penyokong-penyokong utama mereka. Adalah omong kosong jika mereka tak punya agenda dan tujuan untuk kepentingan mereka sendiri atau kelompoknya. Dan adalah omong kosong pula jika presiden terpilih nanti bisa menutup mata tanpa memberikan imbal jasa apapun untuk tokoh-tokoh itu. Dan jika kita bisa melihat rekam jejak tokoh-tokoh itu, kita bisa mengira-ira apa yang mereka harap saat sang capres menjadi juara dan menimbang kira-kira seberapa mereka akan memberikan pengaruh saat presiden baru telah berkuasa.
Mestinya masih sangat banyak yang bisa kita lakukan untuk mengukur seberapa layak seseorang menjadi presiden, namun setidaknya dengan cara di atas akan menghindarkan kita memilih kucing dalam karung. Jika tak ada capres yang ideal, setidaknya memilih yang terbaik dari calon yang ada. Bukan saatnya saat ini jika kita memilih hanya berdasar kefanatikan, 'serangan fajar', terlebih lagi jika hanya mengikuti suara tokek.
Prabowo....Jokowi......Prabowo....Jokowi......Tokek.....Tokek.....Tokek....
Selamat Berpuasa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H