Aku adalah bujangan biasa yang kebetulan mengendarai motor tua. Tidak sepenuhnya tua, sih. Hanya tampilannya saja yang tua. Atau klasik. Pokoknya itulah. Aku mengendarai motor CB 125 yang dikasih Abahku ketika aku kelas 2 Madrasah Aliyah.
Sebagai pengendara motor 'tua', aku sering dianggap mahir dan paham seluk beluk permesinan duniawi. Selain dianggap jago 'ngebengkel', aku juga dikira orang-orang sudah khatam touring berkali-kali. Pasti ada saja yang tanya "Udah turing sampe mana aja, Mas?". Singkatnya, orang-orang memandangku sebagai 'anak motor'.
Padahal, kalau soal permotoran dan permesinan, aku payah sekali. Kemampuan ngebengkelku hanya sebatas pasang kaca spion, itupun kadang masih miring. Kalau ada masalah pada motorku, yang mana sangat sering terjadi, aku akan pergi ke bengkel.
Soal touring juga sama payahnya. Aku ini sebetulnya malas berkendara jarak jauh. Capek. Pinggangku terasa pegal, bokong terasa panas. Aku berkendara jarak jauh hanya ketika pulang ke Bumiayu atau berangkat ke Jogja. selebihnya aku sangat menghindari motoran jauh-jauh. Bahkan, kalau saja kostku dekat halte, pastilah aku pilih naik Trans Jogja ketimbang motor.
Tapi rupanya, bila dibandingkan beberapa temanku, aku termasuk orang yang berkendara cukup jauh. Jogja-Bumiayu sekitar 210an kilometer, angka yang dianggap cukup jauh bagi sebagian orang. Perjalanan itu biasa aku tempuh sendiri, dengan segala keseruan dan kemalangan di sepanjangnya.
Aku akui terkadang perjalanan jarak jauh bisa sangat seru dan menyenangkan. Biasanya bisa aku rasakan ketika berangkat ke Jogja. Biasanya aku mulai berangkat pagi buta, dimana jalanan masih lengang dan cuacanya menyegarkan. Pada jam segitu, aku bisa berkendara lebih santai dan tidak tergesa-gesa.
Pernah suatu kesempatan ke Jogja, aku iseng ambil rute Wonosobo. Jadi dari Bumiayu aku menuju Kebumen untuk mampir ke pesantren tempatku mengabdi. Dari situ aku menuju Banjarnegara dan lanjut ke Wonosobo. Tidak ada tujuan wisata waktu itu, murni iseng.
Sampai di Wonosobo, aslinya aku bisa langsung ke arah Magelang, tapi urung karena aku mencoba agak memutar lagi lewat Temanggung. Sepanjang jalan raya Tarakan yang menghubungkan Wonosobo-Temanggung, aku melihat berbagai hal menakjubkan. Sindoro-Sumbing tampak sangat memukau dan membuatku bersyukur melewati jalan tersebut.
Meski beberapa kali menempuh perjalanan motor cukup jauh, aku masih tidak bisa disebut anak motor. Aku tidak bisa mengeluarkan uang untuk mempercantik motorku, berbeda dengan anak-anak motor di luar sana yang sudah habis jutaan untuk kendaraan kesayangan mereka.
Jadi bila nanti bertemu denganku, sebelum kau sempat buka obrolan tentang otomotif, sebelum kau sempat mengajak touring, sebelum kau tanya sudah berapa juta habis buat motor, aku tegaskan kalau aku ini bukanlah anak motor. Aku anak Abah dan Mamah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H