Selama 20an tahun saya hidup, baru kali ini saya benar-benar merasa resah dengan kenaikan harga BBM. Ya, saya baru merasakan betapa kesalnya harga BBM naik baru kali ini, ketika harga Pertamax menjadi 12.500 rupiah dari harga sebelumnya, 9000 rupiah perliternya.
Tentu saya bisa memahami ada banyak faktor yang menyebabkan harga BBM naik. Saya juga yakin keputusan pemerintah menaikkan harga BBM adalah keputusan yang bijak dan diambil demi kebaikan Indonesia. Semoga.
Jadi apa yang akan saya tulis kali ini bukanlah sebuah kritik, apalagi saran. Saya cuma hendak berkeluh kesah saja. Sambat. Hanya itu. Sebab, apa yang saya alami ini adalah suatu hal yang baru bagi saya. Padahal saya sudah berulangkali menyaksikan berita tentang kenaikkan harga BBM sebelumnya, yakni antara 10 tahunan yang lalu.
Kalau diingat-ingat, pertama kali saya beli BBM sendirian adalah ketika saya berumur 10 tahun. Waktu itu saya diperintahkan guru ngaji saya untuk membeli bensin eceran dekat langar tempat kami ngaji. Saya masih ingat waktu itu saya menyerahkan uang 10 ribuan dan mendapatkan 2 jerigen bensin, masing-masing 1 liter. Belakangan saya ketahui jenis bensin yang saya beli itu adalah Premium.
Praktis, itulah pertama kalinya saya tahu harga BBM, meski cuma Premium yang saya tahu. Waktu berlalu, saya jadi tahu ada jenis Pertamax yang harganya sedikit lebih mahal dari Premium. Tahun berganti tahun, muncullah Pertalite, jenis BBM yang kelasnya diantara Premium dan Pertamax.
Tahun berganti tahun pula, saya berulangkali menyaksikan berita di televisi tentang kenaikan harga BBM beserta semua kejadian yang menyertainya. Yang paling sering saya saksikan adalah demo masyarakat yang protes tentang kenaikan harga tersebut. Hal-hal lainnya adalah seperti beberapa tokoh politik yang angkat bicara soal isu ini, baik yang pro maupun kontra. Yang paling kuingat mungkin adalah ketika Bu Megawati menangis.
Namun, sederet pengalaman itu tidak membuat saya resah. Saya tahu alasan masyarakat berdemo kala itu, tapi tidak sampai simpati. Apa yang saya lihat di berita-berita itu tidak sampai menyentuh hati saya secara emosional. Bahkan para elit politik yang angkat bicara soal isu kenaikan harga tersebut saya anggap hanya angin lalu.
Sampai akhirnya pada awal April tahun 2022, harga BBM kesayangan saya naik. Saya betul-betul kesal ketika mendengar kabar itu. Padahal secara kemampuan ekonomi, tanpa bermaksud jumawa, mungkin masih terjangkau bagi saya. Lantas, bila memang masih mampu kenapa saya merasa kesal? Atau yang cukup penting juga, kenapa baru sekarang kesalnya?
Setelah saya pikir-pikir, sangat wajar saya baru kali ini merasa kesal ketika harga BBM naik. Alasan yang bisa saya pikirkan adalah pertama, seiring bertambah usia, pola pikir dan tanggung jawab semakin berubah, demikian juga hal-hal yang dipikirkan. Dulu mungkin saya tidak merasa resah sama sekali karena memang tidak kepikiran tentang kenaikan harga BBM dan rentetan dampak yang menyertainya. Pikiran saya waktu itu mungkin lebih banyak soal hiburan dan kegiatan seru lainnya, disamping memikirkan sekolah dan mondok juga.
Alasan yang kedua adalah karena BBM merupakan kebutuhan dan tidak bisa terhindarkan. Maksudnya adalah, meski harganya naik seberapapun, saya harus tetap membelinya karena memang sudah kebutuhan. Hal ini juga beriringan dengan saya yang sudah mulai bekerja dan tahu susahnya cari uang. Apalagi, hidup di perantauan yang mengharuskan apa-apa harus sendiri dan tidak bergantung pada orang lain. Sehingga bila amit-amit keuangan saya sedang tidak stabil, akan berat sekali rasanya terpaksa membeli BBM yang makin mahal. Mungkin membayangkan hal tersebutlah yang membuat saya menjadi kesal.
Alasan-alasan tadi membuat saya mulai bisa (sedikit) memahami perasaan masyarakat yang berdemo memperjuangkan kehidupannya serta keluarganya. Pada saat yang bersamaan, saya juga jadi tahu maksud elit politik yang angkat bicara adalah demi menyiapkan pondasi untuk penggung politiknya beberapa waktu kedepan. Kayaknya sih.
Tapi, saya tahu, betapapun kesalnya saya, harga BBM akan terus naik mengingat minyak bumi akan semakin langka. Yang bisa saya (atau mungkin kita) lakukan hanyalah tinggal terima nasib aja. Kalau bisa, lebih hemat lagi dalam penggunaan BBM. Opsi lainnya adalah dengan menjadi orang super kaya, sampai pada level tidak perlu merisaukan apa yang terjadi di sekitar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H