Jum'at selanjutnya pun tiba. Saya pun sudah selesai bebersih diri dan berpakaian rapi, waktu ideal yang kuperhitungkan pun tiba. Waktunya saya berangkat. Saya berangkat dengan berjalan kaki, karena saya merasa kaki saya masih cukup tangkas. Di perjalanan, wudlu saya batal karena saya terpaksa kentut. Daripada perut sakit, lebih baik dilepaskan saja. Toh nanti di masjid pun masih bisa berwudlu lagi. Begitu pikir saya.
Sesampainya di sana, saya bernapas lega. Kedatangan saya cukup tepat, masjid dalam keadaan belum terlalu ramai tapi sudah tidak terlalu sepi juga. Kemenangan sudah di depan mata, saya hanya tinggal berwudlu, lalu ambil posisi duduk yang strategis di sekitar lokasi nasi bungkus diletakkan. 'Akhirnya kalian kalah, anak-anak' gumam saya sambil tersenyum.
Saya pun bergegas ke tempat wudlu. Rupanya di tempat wudlu sedang ada banyak orang mengantre. Antreannya tidak terlalu panjang, hanya paling 3-4 orang saja per kerannya. Saya pun mengantre di keran paling ujung yang hanya tinggal menunggu tiga orang lagi. Masih aman.
Antrean semakin berkurang, kini giliran orang di depanku untuk berwudlu. Saat dia menyentuh keran, tidak disangka keran tersebut lepas. Spontan dia kaget, orang di sebelahnya juga kaget. Saya tidak. Untung saja airnya tidak terlalu deras sehinga tidak sampai bikin orang di depanku basah kuyup. Mungkin sedikit basah, iya. Tapi tidak sampai kuyup.
Karena airnya tidak terlalu deras, keran bisa dengan mudah terpasang. Kali ini orang di depanku memastikan keran tersebut benar-benar kencang. Saatnya dia berwudlu. "Lha kok airnya malah gak keluar ya, pak?" tanya dia tiba-tiba kepada orang di sebelahnya. "Itu lho sampean salah puter kerannya mas. Harusnya berlawanan arah jarum jam" orang yang di sebelahnya menjelaskan, dengan berusaha menahan sabar.
Kejadian itu tanpa aku sadari cukup memakan waktu. Aku baru sadar ketika selesai berwudlu dan menuju ke tempat yang sudah aku tandai sebagai lokasi strategis untuk mengambil nasi. Aku kaget sekaligus geram ketika tahu bahwa tempat tersebut sudah diduduki oleh anak-anak. Bukan hanya satu atau dua, tapi belasan. Sepertinya anak-anak kecil ini saling berkonspirasi untuk menghalangiku.
Kegagalan-kegagalan tadi tentu tidak akan membuatku menyerah. Saya akan terus berusaha, demi nasi bungkus gratis yang rasanya biasa saja itu. Walaupun ada banyak hambatan dan kekacauan yang mungkin akan datang, saya akan tetap berupaya. Terakhir, akan saya kutip perkataan yang membuatku terus bersemangat, yaitu dari Sun Tzu, yang berbunyi :
Seribu pertempuran, seribu kemenangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H