Masalah lokasi sudah, masalah suara pun juga sudah. Seharusnya kami sudah bisa bermain dengan tenang. Namun sebagaimana hidup, bermain catur di pesantren pada waktu kegiatan berlangsung tidak pernah berjalan mulus. Selalu ada saja hal yang membuat semua usaha kami sia-sia. Misalnya pada suatu waktu, entah bagaimana caranya ustadz kami berhasil menemukan tempat persembunyian kami.
Jika hal itu terjadi, maka esok hari kemudian kami harus mencari tempat baru yang lebih aman. Kali ini kami memikirkan banyak tempat sekaligus, sebagai langkah antisipasi. Permainan catur yang memang sudah menguras banyak pikiran menjadi satu tingkat lebih susah karena panca indera dipaksa lebih waspada dari ‘ancaman luar’. Sehingga walaupun jika dilihat dari luar kami terlihat tenang dan senang, dalam hati kami tetap merasa tegang.
Semua ketegangan tersebut sebenarnya tidak perlu kami alami apabila bermain catur sesuai dengan waktunya. Jika waktunya kegiatan, maka seharusnya kami ikut saja kegiatan tersebut, bukan malah bergerilya kesana-kemari hanya demi bermain catur. Toh kami juga tahu bahwa kegiatan tersebut lebih banyak manfaatnya.
Kini, setelah saya lulus dari pesantren, saya bisa bermain catur semau saya, baik melalui papan catur langsung maupun melalui papan catur virtual. Baik melawan manusia maupun melawan program komputer. Tapi sejauh yang saya alami, belum ada nikmat yang sebanding saat bermain catur dibawah tekanan keadaan saat di pesantren
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H