Mohon tunggu...
Alfaez Ridho
Alfaez Ridho Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pegawai Negeri Sipil

Seorang PNS dan Mahasiswa yang sedang mencoba untuk menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Belajar Mengenai Hak dari Keributan di Media Sosial Tentang KIP Kuliah

5 Mei 2024   23:55 Diperbarui: 6 Mei 2024   00:18 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pemerintah Indonesia telah menyediakan berbagai fasilitas bagi warganya untuk memperoleh pendidikan tinggi yang salah satunya adalah Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP Kuliah). Fasilitas ini memberikan kesempatan bagi warga yang kurang mampu agar dapat menempuh pendidikan tinggi dengan memenuhi syarat-syarat tertentu. Namun, akhir-akhir ini ramai diperbincangkan di media sosial mengenai penerima KIP Kuliah yang tidak tepat sasaran.

Permasalahan yang muncul tidak hanya sebatas KIP Kuliah yang tidak tepat sasaran, melainkan juga munculnya perundungan kepada penerima KIP Kuliah yang tidak tepat sasaran oleh pengguna media sosial. Perundungan ini bermula ketika beberapa pengguna Twitter (saat ini telah berganti nama menjadi X) mengenal penerima KIP Kuliah yang memiliki barang-barang mahal[i]. 

Kombinasi antara dua kejadian ini menjadi semakin rumit. Hal ini dikarenakan seseorang memiliki kecenderungan untuk mencari siapa yang "salah". Peristiwa serta proses ini harus dimaknai secara bijak agar dapat memberikan pencerahan bagi berbagai pihak.

 

Media Sosial yang Responsif

Era digital membuat seseorang dapat lebih mudah untuk memperoleh informasi serta meresponsnya. Respons ini merupakan salah satu wujud kepedulian masyarakat terhadap suatu peristiwa. Padahal mungkin saja peristiwa tersebut tidak akan berdampak langsung bagi dirinya.

Masyarakat akan lebih aktif untuk menanggapi sesuatu yang bertentangan dengan moral yang diyakini oleh dirinya maupun moral yang berlaku umum di masyarakat. Sifat responsif ini menunjukkan bahwa masyarakat telah mengimplementasikan "moral baik". Hal ini sejalan dengan pemikiran yang diungkapkan oleh Immanuel Kant bahwa moral baik merupakan suatu aksi yang bertujuan untuk menghormati hukum (moral) yang berlaku dan didasari pada moral yang diyakini oleh tiap individu[ii].

Moral dasar yang diyakini oleh banyak masyarakat Indonesia adalah peduli. Kepedulian antar sesama manusia inilah yang menggerakkan hati manusia untuk merespons peristiwa KIP Kuliah yang tidak tepat sasaran ini. Banyak masyarakat yang merasa kecewa dengan orang yang bersenang-senang dengan mengambil hak milik orang lain yang lebih membutuhkan. Kekecewaan terhadap moral yang tidak baik ini membentuk semangat gotong royong di masyarakat, khususnya pengguna media sosial,  untuk mewujudkan moral baik sebagaimana mestinya.

Pengguna media sosial secara kolektif membangun suatu dasar-dasar moral yang akan diikuti dan bersumber dari akal budi masing-masing penggunanya. Hal ini sejalan dengan pemikiran menarik Immanuel Kant bahwa seseorang mengikuti moralitas berarti mengikuti hukum dan/atau moral yang bersumber dari akal budinya[iii]. Kumpulan dari akal budi ini akan membentuk suatu moral yang lebih dinamis karena banyak pihak yang terlibat dan setiap pihak belum tentu memiliki pengaruh yang setara dalam membentuk moral secara kolektif.

Segala sesuatu di dunia ini tidak ada yang seratus persen baik maupun seratus persen buruk, begitu pula dengan sikap responsif ini. Pengguna media sosial harus menyadari bahwa dirinya adalah manusia yang tidak sempurna. Walaupun pengguna media sosial atau pun masyarakat lainnya sebagai makhluk otonom dapat membentuk moral , yang dalam hal ini adalah sikap responsif, terdapat sesuatu yang lebih berhak dalam menentukan suatu moral yaitu Tuhan.

Menurut Immanuel Kant, hanya Tuhan yang dapat berdaulat (sovereign) untuk menentukan moral karena manusia hanyalah anggota dari suatu kerajaan yang diciptakan oleh Tuhan[iv]. Dalam menjalani kehidupan di dunia, manusia hanya dapat mengikuti moral yang sejalan dengan yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Kebebasan yang otonom yang telah diberikan oleh Tuhan merupakan suatu tantangan bagi manusia untuk mencari hal yang benar. 

Dengan demikian, manusia harus menyadari dan meyakini posisinya sebagai manusia dalam menjalani suatu moral yang ada. Sikap responsif dari pengguna media sosial terkait KIP Kuliah yang tidak tepat sasaran ini telah menunjukkan moral berupa menentang suatu keburukan atau kekeliruan. Namun dalam implementasinya perlu dilaksanakan dengan hati-hati agar niat baik ini kemudian tidak menciptakan pertentangan antara iman dan akal budi pada diri manusia.

 Segitiga Tak Berujung

Seluruh pihak yang terlibat dengan ramainya pembahasan di media sosial mengenai KIP Kuliah yang tidak tepat sasaran ini memiliki kekeliruannya masing-masing. Pihak yang terlibat dapat disederhanakan menjadi tiga yaitu pemerintah, penerima KIP Kuliah yang tidak tepat sasaran, serta pengguna media sosial. Kekeliruan ini pada umumnya bersumber dari masing-masing individu yang tidak memahami perannya masing-masing.

Di sisi pemerintah, terdapat kesalahan pengelolaan KIP Kuliah yang menjadi sumber utama dari keramaian di media sosial ini. Pemerintah tidak dapat melakukan verifikasi secara lebih detail dan memadai agar penerima KIP Kuliah lebih tepat sasaran. Verifikasi sering kali dilakukan seadanya dengan hanya meyakini bukti yang dikirimkan oleh calon penerima KIP Kuliah tanpa dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.

Pemerintah melakukan kesalahan yang mendasar bahwa tanpa disadari mereka telah mengambil hak milik orang lain yaitu hak untuk menempuh pendidikan tinggi. Hal ini sejalan dengan pemikiran John Locke bahwa pemerintah dibentuk berdasarkan kontrak sosial sehingga pemerintah salah apabila mengambil sesuatu milik orang lain[v]. Tuhan telah memberikan berbagai hak dan berkah kepada manusia yang salah satunya adalah kesempatan pendidikan tinggi. Pemerintah seharusnya dapat menyadari posisinya sebagai pengelola negara agar dapat memberikan dan tidak mengambil hak warga negaranya. Hal ini karena pemerintah telah berkontrak kepada warga agar menjadi pelayan bagi warga negara.

Di sisi penerima KIP Kuliah yang tidak tepat sasaran, terdapat kekeliruan moral yang mendasar. Mereka mementingkan kepentingan sendiri tanpa menyadari bahwa perilaku yang dilakukan adalah salah. Mereka menggunakan hak milik orang lain untuk menempuh pendidikan tinggi meskipun mereka mampu untuk membiayainya sendiri.

Terdapat kekeliruan moral yang terjadi. Mereka berusaha untuk mendapatkan kesenangan dengan menempuh pendidikan tinggi dengan mengabaikan moral dasar yaitu tidak mengambil hak milik orang lain. Perilaku ini bertentangan dengan pemikiran Immanuel Kant bahwa manusia dapat dengan bebas selama tidak melanggar moral yang berlaku[vi]. Dengan demikian, kesenangan yang mereka dapatkan bukanlah kesenangan yang sesungguhnya dikarenakan terdapat pihak yang menderita dibaliknya. 

Walaupun pada akhirnya banyak yang mengakui kesalahannya dan melepaskan KIP Kuliah miliknya, hal ini belum tentu bersumber dari moral pada dirinya. Hal ini dikarenakan terdapat banyak tekanan dari pihak luar yaitu pengguna sosial media. Tekanan untuk melepaskan KIP Kuliah inilah yang dimungkinkan menjadi motivasi bagi mereka. Motivasi yang tidak bersumber dari kesadaran diri mengenai hak-hak yang telah diberikan oleh Tuhan.

Terakhir, di sisi pengguna media sosial timbul perilaku perundungan dalam menangani kasus KIP Kuliah yang  tidak tepat sasaran ini. Mereka cenderung meneror media sosial milik pihak terkait sehingga menimbulkan kecemasan baginya. Hal ini sama saja dengan mengambil hak milik orang lain berupa rasa aman. Meskipun tindakan ini pada awalnya untuk menegakkan moral sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, hal ini tetap tidak dapat dibenarkan.

Kesalahan dan kekeliruan dari berbagai pihak ini tidak akan pernah berhenti selama tidak timbul kesadaran pada diri masing-masing. Kesadaran mendasar yang perlu dipahami yaitu mengenai eksistensi serta peran manusia di dunia ini. Setiap manusia telah memiliki perannya masing-masing sehingga harus dijalankan dengan sebaik-baiknya beriringan dengan keimanannya kepada Tuhan.

Manusia harus dapat membedakan hak dan kewajiban serta batasan-batasan dalam berperilaku di dunia ini. Dengan pemahaman mendasar mengenai hal ini diharapkan tidak ada lagi bentuk dari pengambilan hal milik orang lain khususnya demi kesenangan pribadi. Kesenangan yang dirasakan oleh diri sendiri tidak boleh merugikan orang lain. Seorang manusia tidak lebih superior dibandingkan dengan manusia lainnya. Manusia memiliki derajat yang sama karena pada dasarnya ia adalah ciptaan dari sesuatu yang lebih tinggi yaitu Tuhan.

Tidak tepat sasarannya KIP Kuliah ini menjadi suatu bahan refleksi bersama. Apakah kita sebagai manusia telah memberikan pelayanan terbaik kepada sesama manusia? Apakah kita telah mengambil sesuatu yang menjadi hak dan tidak mengambil hak orang lain? serta apakah kita telah berperilaku humanis kepada sesama manusia?

Refleksi ini harus dihayati secara mendalam serta diimplementasikan pada berbagai aktivitas sehari-hari. Hal ini dapat dimulai dengan berpikir kritis terhadap suatu peristiwa dan melakukan pertimbangan mendalam mengenai hal tersebut. Apabila melibatkan pihak lain, perlu diperoleh berbagai sudut pandang demi tercapainya pemahaman yang lebih baik. Segala upaya-upaya tersebut dapat dijadikan suatu wujud keimanan kepada Tuhan sebagai sumber dari segala sesuatu.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun