"Besok sahurnya di luar aja, ya, di warung gitu. Pengen sesekali makan sahur di luar," ajakku kepada Mas yang hanya mengernyitkan dahinya.Â
"Kalau nggak dingin banget, ya," jawabnya singkat. Aku mengangguk dan tersenyum senang.Â
Begitulah hiburanku beberapa hari yang lalu menjelang sahur, jam 3 pagi. Saat itu kami memilih warung makan yang berada di tengah kota, warung sambal cobek yang buka 24 jam.Â
Tak ada alasan yang pasti kenapa ingin sahur di luar rumah. Aku cuma ingin menikmati waktu sahur dengan berkeliling kota, menghirup sejuknya angin dini hari saat tak ada kendaraan yang saling berebut mendahului.
Berbeda saat menjelang buka puasa yang selalu ramai kendaraan. Saat sahur justru benar-benar sunyi, barangkali orang-orang tak ingin disibukkan dengan udara dingin yang mencoba mengakrabi.Â
Ada Makna Tak Biasa, Bertemu Orang-orang yang Berjuang dengan Nasibnya.
Saat memilih warung makan yang buka 24 jam, aku sudah diingatkan oleh mas bahwa warung ini berbeda dengan rumah makan yang biasa didatangi berdua.Â
Warung makan yang lebih banyak lelaki, ojek online, atau orang-orang yang kelelahan habis meronda untuk mengingatkan waktu sahur.Â
Aku pun mengiyakan, dan ternyata memang benar. Saat baru menginjakkan kaki menuju warung yang terletak di tepi jalan, pandanganku langsung menuju penjuru ruangan.Â
Tak ada perempuan di warung makan itu, hanya aku saja sepertinya perempuan pertama yang akan menghabiskan waktu sahur di warung makan. Namun ternyata setelah beberapa jam kemudian ada seorang ibu bersama keluarganya yang juga mampir. Syukurlah.
"Kenapa warung ini ramai laki-laki, ya?" Tanyaku kepada mas, sambil duduk di kursi panjang dekat pintu masuk, menunggu pesanan lauk selesai digoreng.Â
"Karena murah, dan nasi bisa ambil sesukanya, itulah yang disukai lelaki kalau harus ngumpul sama lelaki," jawabnya yang membuatku terdiam.Â
Aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan dan berhenti pada sosok dua orang bapak-bapak yang berjaket ojek online sibuk menatap layar ponselnya.Â
Keduanya terlihat saling mengobrol, sambil sesekali menyeruput kopi hitam dan menyulut rokok di tangan kanannya.Â
Sontak aku malah berpikir tentang keluarganya. Saat sahur yang harusnya bisa menemani keluarga di rumah, tetapi mereka harus tetap berjuang mencari nafkah untuk bertahan hidup.Â
Dari pikiran itulah membuatku tersadar bahwa aku harus lebih banyak bersyukur, bahwa di bulan Ramadan masih bisa bersama keluarga dalam menjalankan ibadah puasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H