Terhitung mulai awal Juli 2019, para nelayan Jepang memutuskan kembali berburu paus sejak terakhir dilakukan lebih dari tiga dekade lalu.
Hasil laut merupakan prioritas utama bagi otoritas Jepang. Masyarakat negara ini pun dikenal sangat gemar menyantap produk yang berasal dari laut karena mengandung gizi yang baik bagi tubuh.
Tradisi berburu paus di Jepang sudah berjalan setidaknya sejak 400 tahun yang lalu. Perburuan paus Jepang terpusat di Kota Taiji. Pihak Jepang menganggap tradisi ini semestinya tidak diintervensi oleh pihak asing.
Jepang mengklaim bahwa populasi mamalia terbesar ini belum terancam sehingga terbilang aman untuk dihidangkan di atas meja makan.
Hal ini dilakukan karena kandungan daging paus sebagai sumber protein utama pasca Perang Dunia II saat keadaan ekonomi negara ini mengalami kesulitan. Hingga kini perburuan paus kerap menjadi isu masalah hubungan diplomatik Jepang. Â
Badan Perikanan Jepang bahkan telah menetapkan batas maksimal perburuan paus sebanyak 227 ekor hingga akhir Desember tahun ini. Adapun jenis paus yang akan diburu, yaitu 52 ekor jenis minke, 150 ekor jenis Bryde, dan 25 ekor jenis sei.
Kritik keras dari dunia internasional ditujukan kepada Jepang akibat tindakan perburuan paus. Bergabung sejak tahun 1951, Jepang akhirnya menyatakan keluar dari Komisi Perburuan Paus Internasional (IWC) pada akhir tahun lalu.
IWC merupakan lembaga yang memiliki aturan berupa penangkapan paus sekaligus melestarikannya. Sejak aturan ini, daging paus yang ada di Jepang diperoleh dari ekspedisi perburuan paus tahunan.
Bukan hanya Jepang, Islandia dan Norwegia secara terbuka juga menentang larangan perburuan paus. Mereka menganggap keberadaan IWC bertujuan mengatur jumlah paus global dan bukan melarang perburuan paus secara menyeluruh.
Perburuan paus tidak hanya dilakukan di wilayah perairan legal milik Jepang, namun sudah mencapai wilayah internasional hingga ke Samudra Antartika. Sementara, Islandia dan Norwegia melakukan praktik ini di perairan Eropa
Jepang adalah satu-satunya negara saat ini yang melakukan praktik berburu paus di perairan internasional dimana paus di lokasi itu dilindungi secara hukum.
IWC menetapkan aturan berupa larangan perburuan paus jenis besar. Akan tetapi, Jepang dinilai kerap melanggar aturan tersebut untuk komersial dan berdalih tindakan perburuan paus sebagai riset ilmiah.
Tingkat konsumsi daging paus di Jepang dalam satu dekade terakhir dinilai mengalami penurunan akibat desakan dari berbagai kelompok aktivis agar Jepang sesegera mungkin meninggalkan tradisi tersebut.
Restoran yang menyajikan daging paus sebagai menu utama di Jepang biasanya diolah menjadi nugget paus goreng atau daging asap paus.
Mengklaim berburu paus telah menjadi tradisi turun-temurun, maka tidak mudah bagi Jepang untuk menghilangkan budaya ini. Justru praktik berburu paus menjadi tradisi yang mampu meningkatkan pendapatan negara.
Peningkatan perekonomian di sektor pariwisata dan kuliner menjadi ciri khas Jepang. Otoritas setempat tetap kukuh dalam berburu paus meski lembaga internasional melarang praktik ini.
Di era yang serba modern, Jepang dinilai masih sangat kental menerapkan budaya lokal hingga sekarang. Banyak negara di dunia yang hampir kehilangan kebudayaan asli akibat perubahan zaman.
Namun, statement tersebut tidak berlaku bagi Jepang. Mempertahankan budaya lokal lantas menjadi daya tarik wisatawan dalam berkunjung ke negera tersebut.
Evaluasi yang mesti dipertimbangkan Jepang agar tidak melakukan perburuan paus di wilayah internasional. Penertiban terhadap para nelayan agar tetap mengikuti prosedur yang telah ditetapkan.
Tradisi unik yang dimiliki suatu negara menjadi nilai lebih dalam meningkatkan sektor pariwisata. Mempertahankan budaya harus terus dilakukan sepanjang hal tersebut membawa pengaruh positif bagi bangsa dan negara.
Bogor, 1 Juli 2019