Mohon tunggu...
Naufal Alfarras
Naufal Alfarras Mohon Tunggu... Freelancer - leiden is lijden

Blogger. Jurnalis. Penulis. Pesilat. Upaya dalam menghadapi dinamika global di era digitalisasi serta membawa perubahan melalui tulisan. Jika kau bukan anak raja, juga bukan anak ulama besar, maka menulislah. "Dinamika Global dalam Menghadapi Era Digitalisasi" Ig: @naufallfarras

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Kekhawatiran Jepang dan Inggris terhadap Teknologi Drone

15 Juni 2019   22:00 Diperbarui: 16 Juni 2019   15:47 691
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Drone (Sumber: linkterkini.com)

 


Setiap teknologi menawarkan kemudahan dan kecanggihan beserta ancaman yang berdampak negatif dalam kehidupan manusia.

Pesawak tanpa awak atau yang lebih dikenal drone kerap digunakan baik untuk sekedar hobi, rekreasi, maupun tujuan lainnya.

Drone mampu terbang melintas di udara dan mengabadikan momen yang ada di bawahnya baik berupa gambar maupun rekaman video. Di samping kecanggihan yang dimiliki, tersimpan pula ancaman yang akan muncul.

Beberapa negara termasuk Indonesia telah membuat aturan tertulis yang mengatur tata cara pengoperasian drone oleh operator yang bertanggung jawab.

Larangan tersebut contohnya drone tidak diizinkan terbang mendekati instansi strategis milik pemerintah. Mengapa hal ini dilarang tentu memiliki sebab di dalamnya.

Hasil gambar dan rekaman video dikhawatirkan dimanfaatkan oleh oknum untuk memata-matai, sehingga mampu mengeksploitasi kelemahan di pemerintah terkait.

Jepang dan Inggris Hindari Ancaman Drone

Jepang sebagai salah satu negara di Asia dan bahkan dunia yang memiliki kemampuan teknologi di atas rata-rata. "Negeri Matahari Terbit" sangat mengandalkan kemajuan teknologi dalam menopang perindustrian.

Pada Jumat lalu, tepatnya tanggal 14 Juni 2019, Jepang secara resmi telah mengesahkan aturan tentang larangan untuk mengoperasikan drone dengan bobot lebih dari 200 gram dalam keadaan mabuk.

Pemerintah Jepang beralasan bahwa mengoperasikan drone usai mengonsumsi alkohol akan menimbulkan kecelakaan sama halnya saat menyetir dalam kondisi mabuk.

Apabila melanggar ketentuan tersebut, sanksi yang akan diterima berupa penahanan di balik jeruji besi serta denda sejumlah 300 ribu yen atau lebih kurang 39 juta rupiah.

Aturan ini juga melarang kepada setiap pilot yang menerbangkan drone dengan melakukan aksi berbahaya dan menerbangkan drone tersebut di atas massa yang sedang berkumpul dalam satu wilayah.

Sedangkan sanksi yang akan diterima oleh pilot akan didenda sejumlah 500 ribun yen atau setara dengan 66 juta rupiah.

Sebelumnya pemerintah Jepang telah menetapkan di mana area yang diizinkan bagi siapapun yang ingin mengoperasikan drone di udara.

Drone ini dilarang terbang dalam jarak 300 meter dari militer Jepang sekaligus fasilitas pertahanan tanpa perizinan lebih lanjut.

Pihak setempat selain itu telah melarang drone untuk mendekati wilayah pembangkit listrik tenaga nuklir, gedung parlemen Jepang, dan kantor perdana menteri.

Sebagai tuan rumah Olimpiade 2020 mendatang, Jepang juga melarang drone melintas di sekitar area stadion dan venue lainnya. Keberadaan drone akan menghambat proses pembangunan fasilitas olahraga menuju Olimpiade 2020.

Di Inggris pernah terjadi pengalaman pahit sebagai akibat adanya drone asing yang terbang secara ilegal dan melanggar konstitusi.

Terdapat dua bandara di Inggris yang telah dilengkapi teknologi anti-drone. Bandara tersebut yakni Gatwick Airport dan Heathrow Airport di mana keduanya terletak di Kota London.

Salah satunya dengan memanfaatkan teknologi yang sebelumnya telah diterapkan oleh militer Inggris untuk menghindari ancaman drone yang melintas ilegal.

Teknologi anti-drone diproduksi oleh perusahaan asal Israel bernama 'Rafael'. Perusahaan ini mengaku mampu mendeteksi sekaligus memutuskan komunikasi yang terhubung antara drone dan operator.

Selain itu dilengkapi empat radar yang memberikan deteksi 360 derajat dengan tujuan melacak dan mengidentifikasi drone asing dalam jangkauan mencapai beberapa kilometer.

Dengan biaya jutaan poundsterling, kedua bandara tersebut kini dapat mengantisipasi setiap drone asing yang mendekati area bandara.

Menindaklanjuti insiden yang pernah terjadi, ditemukan sebanyak dua drone melintasi area Bandara Gatwick saat menjelang natal tahun 2018 lalu.

Dampak yang timbul mengakibatkan bandara tersebut tidak beroperasi selama tiga hari saat puncak libur Natal sehingga sebanyak seribu penerbangan dibatalkan dan hampir sebanyak 140 ribu penumpang terlantar.

Pihak bandara mengungkapkan bahwa keamanan penumpang tetap dan akan terus menjadi prioritas utama dalam memberikan pelayanan terbaik.

Regulasi drone di Indonesia secara tertulis belum semasif di negara-negara maju. Jepang dan Inggris menyadari betul ancaman drone sebagai ancaman nyata baik sekarang maupun esok mendatang.

Pilot maupun operator harus dalam kondisi prima sebelum mengoperasikan drone. Jika drone rusak akibat kesalahan operator dalam mengoperasikan, maka perbaikan drone membutuhkan biaya yang cukup tinggi.

Terlebih lagi drone tersebut jatuh dan membahayakan orang yang berada di bawahnya. Dampaknya menimbulkan kerugian fisik maupun materiil.

Dalam memberi pelayanan kepada masyarakat, setiap bandara berkewajiban untuk memberikan rasa aman terkhusus mewaspadai ancaman yang ditimbulkan drone dalam mengganggu dan membahayakan penerbangan pesawat.

Di samping melakukan pembaharuan teknologi di semua lini kehidupan, negara lain juga mengutamakan faktor keamanan yang berpotensi mengganggu stabilitas nasional suatu negara.

Bogor, 15 Juni 2019

Referensi Bacaan  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun