Beberapa waktu lalu, warganet sempat dihebohkan dengan adanya insiden kebocoran data pribadi masyarakat melalui jaringan internet. Hal ini meningkatkan kekhawatiran masyarakat terkhusus mereka yang aktif menggunakan jasa internet seperti transaksi online, mencari pekerjaan atau sekolah lanjutan, dan sebagainya.
Kekhawatiran mereka bukan tanpa alasan. Penyalahgunaan data pribadi untuk aksi kejahatan menjadi alasan yang utama. Akhir-akhir ini Indonesia kerap menjadi target sasaran peretas dikarenakan pengguna startup yang cukup tinggi.
Ahli digital forensik menyebutkan bahwa terdapat 7,5 miliar data pribadi masyarakat tersebar luas secara global melalui internet. Berdasarkan sumber yang ada, para peretas ini menjual sebanyak 13 juta data pribadi seharga 20 juta rupiah melalui dark web maupun deep web.
Metode pembayaran yang biasa digunakan dalam transaksi ini adalah dengan menggunakan mata uang kripto seperti bitcoin. Transaksi menggunakan bitcoin belum mempunyai landasan formal dan otoritas yang mengatur sehingga kerap menjadi perbincangan di masyarakat.
Kebocoran data pribadi masyarakat pada umumnya berasal dari transaksi e-commerce atau fintech. Salah satunya adalah yang berasal dari e-commerce dengan status unicorn di Indonesia. Data pribadi yang bocor berupa nama lengkap, alamat, email, nomor ponsel, password, hingga alamat IP.
Muncul argumen yang menyebutkan bahwa pemerintah dalam hal ini memilih untuk menutupi perihal kebocoran data yang dialami oleh e-commerce Indonesia. Terkesan melindungi e-commerce tersebut namun membahayakan keamanan nasional.
Yang menjadi kekhawatiran adalah masalah keamanan nasional dimana data yang seharusnya bersifat sangat rahasia dan tidak terpublikasi ternyata bocor sehingga diketahui pihak luar.
Jepang: Batasi Modal Asing Terhadap Teknologi
Berangkat ke Jepang, Negeri Matahari Terbit berencana untuk membatasi kepemilikan modal asing terhadap perusahaan teknologi dalam negeri. Pembatasan direncakan mulai berlaku pada 1 Agustus mendatang.
Aturan yang ditetapkan ini sebagai upaya mencegah terjadinya potensi kebocoran teknologi yang mengancam keamanan nasional. Pengumuman diungkap saat Presiden AS Donald Trump dan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe melakukan pertemuan di Tokyo yang membahas topik perdagangan global dan isu lainnya.
Langkah yang dilakukan sebagai bentuk preventif keamanan siber dan keamanan nasional berdasarkan fenomena yang ada sekarang. Rencana ini disampaikan karena melihat isu keamanan siber yang melibatkan perusahaan teknologi asal China.