Aku menemui kembali diriku menatap jauh ke dalam pantulan cermin. Sesosok tua yang wajahnya mulai dikerubungi garis-garis keriput pertanda diriku tak lagi muda. Rambut keperakan mulai menghias seluruh bagian atas kepalaku. Fisikku mulai melemah tak lagi tangkas seperti dulu.
Lima puluh tahun.
Tidak terasa, hari ini genap lima puluh tahun semenjak aku hidup pertama kali di dunia ini. Sebuah angka yang kata orang adalah angka sakral, dimana orang biasanya harus mulai melupakan dunia dan bersiap-siap untuk kembali ke Maha Pencipta. Mengisinya dengan amal dan budi baik agar kelak bisa hidup bahagia di akhirat sana.Â
Aku...
Aku sendiri tidak pernah menyangka bahwa aku akan hidup sampai menyentuh kepala lima seperti ini. Entah kenapa, semasa muda dulu aku meramalkan nasibku akan meninggal di usia kedua puluh lima, tanpa ada dasar ilmiah ataupun magis yang mendasarinya. Tapi toh, ramalanku tak pernah terjadi. Hingga saat ini, aku masih hidup dan bernapas dengan bebas menjalani segala rutinitas. Mungkin Tuhan, masih sedikit memberikan waktu untuk orang sepertiku menata hidupnya kembali agar menjadi manusia yang lebih baik. Walaupun sebenarnya aku selalu meyakini bahwa diriku saat ini tak sama ubahnya dengan diriku saat aku berusia belasan tahun. Hanya raga yang berubah... tapi tidak dengan jiwa.
Puluhan tahun telah terlewati.
Aku sudah silih berganti melihat seseorang datang. Melihat jiwa-jiwa baru tumbuh dan menyemai warna baru di dunia yang sudah cukup lama kusinggahi. Entah setiap berapa minggu, berapa hari atau mungkin berapa bulan, aku kabar mengenai jiwa baru tercipta dan lahir menyapa udara. Aku ingat kali pertama aku mendengar kabar kelahiran putri pertama adik perempuanku. Aku begitu bahagia mendengarnya, karena jiwa baru telah tumbuh dan membersamai keluarga kecil kami. Aku menjalani hari mendengar kabar kelahiran anak-anak dari temanku, melihat mereka tumbuh dengan cara mereka masing-masing. Menjadi pribadi yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Menyelipkan doa agar anak-anak itu selalu baahgia dan menjalani kehidupan yang tak sama dengan apa yang kujalani. Menjadi pribadi yang lebih baik dari pribadi yang sudah renta ini.
Aku selalu menyukai anak-anak, walaupun kuakui aku tak mudah akrab dengan mereka. Aku memang tak pandai bercanda, bercerita ataupun segala macamnya. Tapi aku selalu menikmati pengalaman untuk melihat anak-anak itu tumbuh dari sesuatu yang lemah yang menjadi tunas kuat yang siap menggantikan kami generasi yang tak lagi muda ini.
Aku sudah silih berganti melihat seseorang pergi. Melihat jiwa-jiwa tua kembali pada haribaan Sang Pemilik Jiwa. Ada yang baru berusia dua puluh meninggal karena derita kanker yang menyerang otaknya. Ada yang seusiaku meninggal dengan tenang saat ia tertidur pulas, tenggelam dalam mimpi indahnya. Sungguh beruntung... tak banyak orang yang bisa meninggal dengan cara setenang itu. Semoga aku bisa seperti itu. Sampai saat ini belum ada keluargaku yang pergi meninggalkanku. Tapi, aku selalu mengingatkan diriku bahwa jika saat itu tiba... aku akan melepaskan mereka dengan penuh kerelaan. Karena semua yang ada di dunia ini pasti kembali, hanya saja dengan cara dan waktu yang tak pernah terduga sebelumnya.
Aku bisa dibilang adalah orang yang mendamba kematian. Menganggap bahwa semua penderitaan, keluh kesah akan terhenti jika aku menghentikan semua. Tapi, aku selalu menunggu saat itu datang dengan penuh kesabaran. Suatu saat kematian yang kurindukan itu akan datang, tanpa perlu aku memaksakan diriku menjemputnya terlebih dahulu. Bukan.. bukan karena apa.. aku hanya sedikit lelah dengan semua dan ingin beristirahat dalam waktu yang panjang tanpa memikirkan apa-apa. Sebuah rasa damai yang mungkin lama tak singgah di hati.
Aku akan menunggu...Â