Tak bisalah kebersamaan kita dikatakan romantis.Â
Di dalam penuh sesak kereta.Â
Di tengah hingar bingar manusia.
Kau memegang tanganku erat.
Takut jatuh akibat hentaman keras dari kereta.
Â
Kita berdiri
Sama-sama memandang jendela
Sesekali kau menyandarkan kepalamu di lenganku
Kemudian kau berbisik pelan, yang kadang aku tak tahu itu apa
Aku balas dengan senyuman.Â
Â
Kedua pandangan kita lalu bertemu
Jauh menatap apa yang nampak pada guratan wajah
Jauh menatap apa yang ada dalam cokelat mata kita
Â
Satu jam berdiri di kereta.
Setiap pagi. Setiap sore.
"Kamu lelah?"
Kau menatapku. Tersenyum seperti anak kecil yang kukenal belasan tahun silam, lalu menggeleng.
Â
Kemudian menitipkan kembali kepalamu di bahuku.
Menatap senja di balik jendela
Tersembunyi, tersamar dalam gedung-gedung menjangkau langit.
Â
"Itu jingga."
Celoteh polos yang tak pernah berubah
Aku membalas dengan guyonan
"Itu burung gereja"
Â
Kau tertawa, entah itu untuk apa.
Â
Satu jam kita berdiri
Menuju tempat pembaringan kita malam ini
Gubuk kecil yang kita susun dari keringat sendiri
Â
Pintu terbuka
Ratusan orang berkerumun mengerucut menuju pintu keluar
Â
Kau mengikutiku dari belakang.
Memegang jaket hitamku dari belakang.
Â
Tapi sayang, hujan.Â
"Hujan." celotehmu dengan nada sendu
Aku menimpali dengan nada ceria
"HUJAN!"
Â
Kau kembali tertawa
Entah itu untuk apa
Â
Kuambil motor dan jas hujan
Kau menunggu
Â
"Ini..."
Kita memakai jas hujan berkepala dua
Menerobos hujan dalam dinginnya sore ini
Â
Dalam hujan, kita merasakan kehangatan
Kau memelukku sepanjang perjalanan
Ya.. dengan pelukan erat
dan hangat
Â
Di depan pintu rumah kau berlari-lari
Menyambut malaikat kecil yang menunggu kita sejak kecil tadi
Bersamaan mereka memanggilku,
"Ayaaah"
Â
Aku tersenyum
Menikmati ritual penyambutan mereka
Â
Ah... sore yang indah
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H