Mohon tunggu...
Syahdan Adhyasta
Syahdan Adhyasta Mohon Tunggu... Administrasi - Profil

Hidup ini bagaikan sebuah lautan, dan kitalah nelayan yang sedang mengarunginya.. Sejauh apapun kita melaut, pasti akan ada masa dimana kita harus kembali ke daratan tempat kita berasal.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

(V) Wanita Penyendiri dan Lelaki yang Mencintai

30 September 2014   22:20 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:54 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahukah kalian kesalahan terbesar seorang wanita sebagai pasangan?

Banyak wanita yang tidak menyadarinya dan beberapa di antaranya, lebih memilih menutup mata terhadap kesalahan tersebut. Kesalahan itu adalah mereka hanya merasa bahwa saat terjatuh, hanya mereka lah objek yang menderita. Mereka hanya fokus terhadap perasaannya sendiri, tanpa memikirkan apa yang dirasakan oleh pasangannya. Seolah-olah para wanita itu mengatakan, ‘aku sakit dan kamu harus mengobatinya’, padahal seharusnya, ‘kita berdua terluka, dan mari kita bangkit untuk mengobatinya’.

Laki-laki, walaupun tidak pernah secara lantang mengungkapkan apa yang dia rasakan. Walaupun ia tidak pernah menangis untuk mengungkapkan duka yang ia rasakan. Tapi ia juga manusia yang memiliki hati. Ia mungkin merasakan duka, jauh lebih yang dirasakan oleh wanita. Sangatlah tersayat hati seorang laki-laki sejati, jika dirinya tidak dapat melindungi orang yang seharusnya ia lindungi. Sangatlah terluka hati seorang laki-laki sejati, jika ia melihat orang yang ia cintai menderita dan ia tidak mampu menghiaskan senyum di wajahnya.


Seorang istri harusnya mengetahui bahwa bukan hanya dirinya yang terluka, namun juga pasangan yang mencintainya. Tak banyak lagi wanita, yang memahami konsep ini. Jika mereka terluka, mereka terluka bersama-sama. Yang mereka ketahui adalah laki-laki adalah makhluk yang bajingan dan tidak pernah bertanggung jawab. Padahal boleh jadi, sang lelaki sudah berkorban mati-matian untuknya, tapi sang wanita tak pernah menghargai pengorbanan itu…

Ya… seolah-olah hanya merekalah yang menderita dan merasakan perasaan duka.

***

[caption id="attachment_362804" align="aligncenter" width="300" caption="(gambar: www.digaleri.com)"][/caption]

“Mas Ariedo kapan menikah lagi?”

Salah seorang kenalannya menanyakan hal itu kepadanya. Ariedo hanya tersenyum dan tertawa seadanya. Beberapa orang yang baru dikenalnya mungkin belum mengetahui hal ini. Mereka mengira bahwa Ariedo adalah seorang duda yang tidak lagi memiliki seorang istri dan kini sibuk berjuang membesarkan anaknya sendiri. Namun kenyataannya bukan seperti itu. Ariedo belum pernah menikah dengan wanita manapun.

Intan yang dianggap sebagai anaknya sendiri adalah anak dari kakak laki-lakinya. Sudah hampir 2 tahun ia merawat Intan sendirian. Kalian masih ingat dengan perkataanku beberapa saat yang lalu? Bahwa setiap kepergian seseorang pasti akan menimbulkan luka bagi orang yang menyayanginya. Banyak yang dengan mudah mengobati luka itu, namun tidak sedikit harus berdarah-darah dan menyimpan luka yang ada di dalam hatinya. Itulah yang terjadi pada Ariedo dan keluarganya..

Maman.. itulah nama kakak laki-laki Ariedo. Satu-satunya, saudara yang ia miliki setelah kepergian kedua orangtua mereka. Bapak mereka sudah meninggal beberapa tahun yang lalu, sedangkan ibu mereka entah sekarang ada di mana. Jauh sebelum mereka mengenal dewasa, ketidakharmonisan telah muncul dalam keluarganya.


Entah apa pasal permasalahan orangtua mereka, tapi yang jelas pertengkaran selalu menghiasi masa kecil Ariedo dan kakaknya. Menutup telinga dan menangis sesenggukan di kala malam sudah menjadi kebiasaan keduanya. Sangatlah sakit bagi mereka berdua untuk tumbuh dalam lingkungan yang tidak harmonis dan penuh pertengkaran seperti itu. Puncak dari pertengkaran-pertengkaran kecil itu pun kemudian terjadi.

Hari itu, rumah yang biasanya selalu ramai dengan pertengkaran menjadi begitu sepi.
“Pak, Ibu mana?”

Bapak mereka hanya menatap sendu ke arah senja. Menghisap rokok yang menjadi teman setianya di kala senja. Membiarkan hening menyelimuti mereka dan angin sore menerpa tubuh mereka bertiga.

“Ibumu….”

Suara parau ayah mereka terdengar pelan, sedikit bergetar dan membuat bulu roma yang mendengarnya berdiri.

“Dia pergi Nak.”

Ariedo dan kakaknya hanya terdiam mematung.

Bapak kembali menghisap dalam-dalam rokok miliknya. Kemudian menyemburkan asap putih ke arah langit, seolah menyatu dengan jingga kala itu. Sungguh terasa lama pemandangan yang hanya terjadi beberapa menit itu.

Dengan mata memerah yang menggambarkan kemarahan dan kesedihan di dalam dirinya, ayahnya pun mengatakan dengan sangat jelas…

“Bersama laki-laki itu.”

***

Belasan tahun mereka tinggal bertiga. Ketiganya hanya bungkam dan tak lagi membicarakan keberadaan ibu mereka. Mereka seolah terlihat seperti keluarga yang sama dengan keluarga lain, tapi sebenarnya tidak. Luka akibat hilangnya seorang ibu, tidaklah semudah itu untuk disembuhkan. Ada sedikit rasa dendam, ada sedikit rasa marah, tapi ada pula rasa rindu dan sedikit rasa sayang yang masih tersisa. Tapi mereka semua berusaha diam, menjalani kehidupan seolah tak ada hal yang salah selama ini.

Bapak Ariedo pun meninggal ketika Ariedo baru mulai bekerja. Dokter mengatakan paru-parunya telah rusak akibat teman hidup yang selalu dihisapnya. Ah, Ariedo tahu bahwa pelampiasan Bapaknya, kekecewaan Bapaknya hanya bisa ia tumpahkan pada kepulan asap-asap itu. Memendam duka dan berharap luka itu hilang bersama asap-asap di udara.

Beberapa bulan setelah kepergian ayahnya, kakak Ariedo memutuskan untuk menikahi seorang gadis yang dikenalkan seorang teman kepadanya. Mas Maman hanya memiliki niatan tulus untuk bisa hidup bahagia bersama seseorang yang dicintai dan mencintai dirinya. Namun definisi bahagia yang Mas Maman miliki berbeda dengan definisi bahagia yang wanita itu miliki.

Kang Maman memang bukan seorang yang kaya. Dia hanya bekerja sebagai pegawai negeri dengan penghasilan secukupnya. Untuk menambah penghasilannya, ia pun menjual buku secara online. Diambilnya buku-buku dari supplier dan menjualnya dengan harga yang lebih miring dari harga yang ada di pasaran. Telah habis keringat dan darah Mas Maman untuk memenuhi kebutuhan istrinya.

Mas Maman memang tidak kaya, tapi setidaknya ia mampu menyediakan tempat berteduh bagi istrinya meskipun itu hanya sebuah rumah sederhana yang di peroleh dari cicilan setiap bulannya. Ia memang tidak memiliki mobil mewah untuk mengantar istrinya, tapi ia berjanji akan mengantar istrinya kapan pun dan kemana pun menggunakan sepeda motor miliknya.

Ah.. tapi wanita itu memiliki pandangan berbeda. Malu katanya jika ia dilihat teman-temannya menaiki motor suaminya. Malu katanya jika ia memiliki rumah sederhana, jika dibandingkan rumah milik saudara-saudaranya. Pun ketika Intan lahir di dunia ini, pandangan istrinya belum berubah terhadap definisi kebahagiaan yang dimilikinya.

Hingga setahun yang lalu, ketika Intan berumur kurang dari 4 tahun, wanita itu pergi. Entah ke mana ia pergi, yang jelas ia hanya meninggalkan hutang-hutang yang bertumpuk yang harus ditanggung oleh suaminya. Betapa hancur hati Mas Maman setelah kepergian wanita itu. Rumah dan semua yang ia miliki terpaksa ia jual untuk menutupi hutang wanita yang dicintainya itu. Telah habis pula keringat dan darah untuk mencari wanita tersebut. Namun usahanya itu tak pernah membuahkan hasil.

Sampai di suatu pagi.

Ia berkunjung ke tempat Ariedo bekerja. Ia bilang hanya menitipkan Intan sebentar. Namun, hingga detik ini, ia tak pernah kembali. Ya… meninggalkan puterinya sendirian bersama pamannya.

Ariedo tidak pernah keberatan harus hidup bersama Intan. Tidak pernah sekalipun ia ucapkan keluhan atas tindakan kakaknya. Ia hanya berharap suatu saat kakak dan wanita itu akan datang menjemput Intan, anak yang tak pernah mengetahui kesalahan di dunia. Ya… ia hanya bisa mengharapkan itu di dalam setiap doanya.

Semenjak saat itu, Ariedo boleh dibilang membenci hubungan dengan seorang wanita. Ia tidak pernah memiliki keinginan untuk membina keluarga bersama mereka. Begitu lekat ingatannya ketika ibunya pergi meninggalkan mereka. Begitu lekat ingatannya akan luka yang diderita oleh kakaknya. Luka itu begitu dalam, hingga ia tidak pernah berusaha mendekati seorang wanita. Ia sekarang lebih memilih menjalani pekerjaannya sambil merawat puteri kesayangannya itu. Sendirian… tanpa adanya wanita yang akan menemaninya.

Namun… setetes cinta telah menitik di dalam hatinya.

Hanya sebuah titik kecil…

Yang entah akan kembali menutup atau semakin membesar di dalam hatinya..

Ya…

Semenjak ia bertemu wanita berjilbab dengan senyum yang manis itu…

Mia…

***

Cerita sebelumnya

Bagian I; Bagian II; Bagian III; Bagian IV

- Pengennya sih ngelanjutin besok... moga bisa T____T

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun