Mohon tunggu...
Al Fiqh
Al Fiqh Mohon Tunggu... Mahasiswa - Anak Bangsa

Manusia alam, pembaca, penulis artikel dan puisi. Hanya sekedar gemar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

17 Agustus: Mengembalikan Kemerdekaan Pendidikan

2 Agustus 2024   21:28 Diperbarui: 2 Agustus 2024   21:30 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://images.app.goo.gl/e3T1iCAEa2ovajoZ9

17 Agustus menjadi momentum bersejarah yang sulit dilupakan di kalangan rakyat Indonesia. Dimana proklamasi dibacakan tepat pada tanggal tersebut sebagai upaya menyambut kemerdekaan Indonesia. Maka tidak salah jikalau pada bulan-bulan Agustus pesta di lingkungan masyarakat begitu meriah yang diiringi dengan berbagai macam hiburan, nobar dan lain sebagainya. Itu menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia masih tetap mengakui kemerdekaan Indonesia dalam konteks negara ---tidak dengan aspek.

Namun, penulis tidak ingin membahas kemeriahan, proses kemerdekaan, ataupun surat proklamasi yang dibacakannya. Melainkan penulis ingin mengatakan bahwa bagaimana seandainya jika kemerdekaan itu dimiliki oleh pendidikan di Indonesia? Mungkinkah masyarakat akan jauh lebih merespon baik terhadap kemerdekaan itu ---baca: pendidikan---?.

Sebelum membaca yakinkan diri terlebih dahulu, agar nantinya para pembaca tidak merasa rugi telah membaca tulisan ini. Karena memang tulisan ini tidak menemukan kejelasan yang signifikan untuk dinilai. Jadi, selagi pembaca tidak melangkah jauh silahkan dapat di tinggalkan tulisan ini, sebagai tulisan yang tidak memberikan kejelasan materi. 

Mungkin bagi beberapa individu, membicarakan pendidikan itu sama halnya membicarakan angin yang sedang berhembus sejuk. Bagi seorang guru, pendidikan tidak hanya dinilai sebagai desiran angin yang kemudian membawakan kesejukan. Namun, jauh dari itu pendidikan dinilai sebagai lautan lepas yang seketika menghasilkan ikan-ikan namun sang nelayan harus melawan gelombang.

Bagaimana dengan kasus lain? Seperti kebijakan maupun inovasi-inovasi pendidikan saat ini? Atau kasus yang muncul di media sosial tentang keterlambatan seorang anak di tingkat SMP yang masih belum dapat membaca? Penulis kira, ini bukanlah kelalaian diantara keduanya ---pembuat kebijakan dan pelaksana. 

Selanjutnya, mungkinkah pendidikan ini dibiarkan merdeka dengan sendirinya tanpa pengawasan yang ketat? Ataukah cukup melaksanakan program kebijakan yang diwajibkan terhadap guru-guru hingga kelalaian pun terjadi? Ataukah kelalaian itu memang sengaja dilakukan?

Antara "Iya & Tidak"

Tidak sedikit keluhan yang terdengar di telinga maupun di media sosial perihal kebijakan. Bagaimana mungkin, seorang pendidik mengeluh terhadap perkembangan dan kemajuan pendidikan yang sedemikian rupa ini---merdeka---, yang telah membawa pada kemajuan dan pemanfaatan teknologi? Bukankah itu sebuah tindakan yang dinilai kurang baik untuk pertumbuhan pendidikan di Indonesia? 

Meskipun, pada faktanya pendidik mengeluh karena banyaknya pekerjaan yang harus di selesaikan ---administrasi. Namun, sebagian keluhan itu dirasa cukup meyakinkan juga jika dengan keadaan pendidik yang dipenuhi dengan kegiatan administrasi dan sebagainya sehingga kesulitan untuk memfokuskan diri pada peserta didik. 

Mungkinkah sebagian pembaca memiliki asumsi berbeda dari penulis. Namun, penulis tidak ingin mendorong sudut pandang para pembaca untuk menerima opini ---baca:--- ini.

Kasus seorang ---baca: lebih--- anak yang masih belum dapat membaca hingga SMP mungkinkan hanya kasus sederhana bagi pendidikan kita? Ataukah ini menunjukkan secara positif, tugas pendidikan tidak hanya ada pada guru, melainkan orang tua? Tapi bukankah orang tua memenuhi kepercayaannya kepada seorang pendidik?

Pada posisi "IYA", kasus itu memang benar-benar terjadi di beberapa tempat, katakanlah bahwa tempat-tempat tertentu yang memiliki kasus tersebut ---desa mungkin---. Dan lembaga pendidikan yang kekurangan tenaga pendidik sehingga harus merangkul beberapa kelas untuk mengusi kekosongan tersebut.

Namun "TIDAK", tidak ada pendidikan yang ingin menjadikan generasinya kehilangan masa depan atau melewatkan belajarnya karena tidak dapat membaca. Pun kebijakan yang dibangun tidak untuk menjadikan pendidik merasa lebih terbebani oleh hal lain yang mengakibatkan terhambatnya jam belajar.

"IYA", banyaknya kegiatan atau tugas absensi dan katakanlah jurnal kegiatan yang perlu diselesaikan, tiap hari, bulan, semester, dan tahun. Belum lagi jurnal tertulis di kelas apakah memungkinkan, pendidik memanfaatkan waktu mengajarnya secara efektif? Belum lagi dihadapkan dengan berbagai kegiatan lain berkaitan dengan fasilitas yang perlu di penuhi.

Sayangnya "TIDAK", bahwa hal itu memungkinkan absensi dan jurnal kegiatan dilakukan untuk menghindari diri dari kelalaian pendidik dalam melaksanakan kewajibannya. Dan memungkinkan pula hal itu bermaksud untuk menjadikan guru memiliki tanggungjawab penuh dalam ketercapaian pendidikan.

Dan "IYA", mungkinkah hanya berpusat pada guru yang harus melaksanakan tanggungjawab penuh? Bagaimana dengan pemangku Kebijakan yang tidak diketahui tujuannya kemudian memberikan kebijakan seolah telah mengetahui problematika pendidikan secara keseluruhan di Indonesia?

Pada akhir ini, penulis tidak berusaha untuk menganalisa lebih jauh untuk kasus tersebut. Mungkin, penulis ingin bertanya bagaimana refleksi para pembaca terhadap kasus-kasus pendidikan saat ini? Apakah perlu merdeka ataukah mengembalikan wujud kemerdekaan saat ini pada kemerdekaan yang semula? 

(Eps: 1)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun