Malang, 3 Juni 2024 - Kesehatan mental pria sering kali menjadi topik yang kurang dibicarakan dalam masyarakat. Padahal, pemahaman tentang bagaimana pria menafsirkan penyebab dari masalah psikologis mereka bisa memberikan wawasan penting untuk intervensi dan dukungan yang lebih baik. Dalam konteks ini, Teori Atribusi, yang diperkenalkan oleh psikolog Fritz Heider pada tahun 1958, dapat membantu menjelaskan bagaimana pria memahami dan bereaksi terhadap masalah kesehatan mental mereka.
Teori Atribusi fokus pada bagaimana individu menilai penyebab dari perilaku mereka sendiri dan orang lain. Menurut teori ini, atribusi bisa bersifat internal (disalahkan pada diri sendiri) atau eksternal (disalahkan pada faktor luar). Selain itu, atribusi juga bisa bersifat stabil (selalu terjadi) atau tidak stabil (kondisional), dan dapat dikendalikan atau tidak dikendalikan oleh individu.
Penelitian menunjukkan bahwa pria cenderung membuat atribusi internal dan stabil terhadap masalah mereka, seperti budaya toxic masculinity yang menganggap depresi sebagai tanda kelemahan pribadi. Misalnya, seorang pria yang mengalami stres di tempat kerja lebih memikirkan, "Saya tidak cukup kuat untuk menghadapi tekanan ini," daripada mempertimbangkan faktor-faktor eksternal seperti lingkungan kerja yang tidak sehat atau beban kerja yang berlebihan.
Atribusi seperti ini bisa memperburuk kondisi mental karena menimbulkan perasaan putus asa dan rendah diri. Ketika pria percaya bahwa masalah mental mereka adalah hasil dari kelemahan pribadi yang tidak dapat diubah, mereka mungkin lebih enggan mencari bantuan atau berbicara tentang perasaan mereka.
Budaya dan norma sosial juga memainkan peran penting dalam pembentukan atribusi ini. Di banyak masyarakat, termasuk Indonesia, pria sering kali didorong untuk menunjukkan kekuatan dan ketangguhan, serta menghindari menunjukkan kelemahan. Stereotip ini bisa memperkuat atribusi internal yang negatif terhadap masalah mental. Akibatnya, banyak pria yang memilih untuk menyembunyikan masalah mereka daripada mencari dukungan, yang dapat mengarah pada masalah yang lebih serius seperti kecemasan kronis atau bahkan bunuh diri.
Untuk mengatasi masalah ini, penting untuk mengubah cara pandang terhadap kesehatan mental pria. Salah satu langkahnya adalah dengan mendorong atribusi eksternal dengan sifat tidak stabil terhadap masalah mental. Misalnya, mengajarkan bahwa depresi bisa disebabkan oleh ketidakseimbangan kimiawi dalam otak yang bisa diobati, atau bahwa stres bisa dihasilkan dari situasi tertentu yang dapat diubah atau diatasi.
Selain itu, kampanye publik dan pendidikan harus fokus pada penghapusan stigma terkait kesehatan mental pria. Dengan memberikan pemahaman bahwa mencari bantuan adalah tanda kekuatan, bukan kelemahan, diharapkan lebih banyak pria yang merasa nyaman untuk berbicara tentang masalah mereka dan mencari bantuan profesional.
Pemahaman tentang bagaimana atribusi mempengaruhi kesehatan mental pria adalah langkah penting untuk menciptakan intervensi yang efektif. Dengan mendorong atribusi yang lebih sehat dan mengurangi stigma yang ada, kita dapat membantu pria untuk lebih terbuka dalam menghadapi dan mengatasi masalah kesehatan mental mereka. Seperti yang ditunjukkan oleh teori atribusi, perubahan kecil dalam cara kita memahami penyebab masalah dapat memiliki dampak besar pada kesejahteraan psikologis individu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H