Membaca Surat Terbuka Jaya Suprana diatas, membuat opini para pembaca terbagi dalam tiga bagian secara umum: setuju, tidak setuju, dan ada pesan tersembunyi, alias membentuk opini tersendiri. Opini dalam opini, kalau boleh disimpulkan secara nyeleneh.
Isi surat terbuka Jaya Suprana juga membawa dimensi lain yang perlu dikritisi: Kesantunan versus Korupsi. Jika kata-kata toilet dan sepak terjang Ahok sebagai pejabat publik mengusik begitu banyak orang, sampai potensi kerusuhan "Anti-Cina" pun diangkat oleh tokoh masyarakat seperti Jaya Suprana, mengapa kasus mega-korupsi APBD DKI tidak meledak-ledak dalam pemberitaan?
Kalau bukan Ahok yang menyentil tiap hari tentang kasus korupsi UPS dan lain-lainnya dengan potensi kerugian sampai Rp. 40 Trilyun, tentu pemberitaan kasus ini sudah tenggelam entah kemana. Bahkan ada seorang "pakar" yang mengatakan "Ucapan Ahok Lebih Bahaya Daripada Korupsi" , entah gelar pakarnya didapat darimana. Logika yang bikin sakit kepala demikian jika diterapkan maka Ahok pantas berdiri dihadapan regu tembak, seperti pemerintah China yang menghukum mati pelaku korupsi. Bahkan ada tersangka koruptor yang bunuh diri seperti diberitakan:
"Mereka diduga kuat mengakhiri hidupnya karena terlibat korupsi. Ketika namanya diumumkan kejaksaan terlibat kasus, siang hari polisi sudah datang menjemput dan dipastikan umurnya tidak panjang lagi. Ini nasib yang mengerikan bagi sebagian pejabat," kata Peneliti Korupsi di Universitas East China Shanghai, Qi Xingfa.
Salah satu nama besar yang pilih bunuh diri karena diumumkan terlibat kasus pencurian uang negara, adalah Wakil Kepala Badan Lembaga Penerangan China Li Wufeng. Maret 2014 lalu, dia melompat dari atap kantornya.
Rupanya di Republik tercinta ini, isu Kesantunan dan Kesukuan lebih penting dari pengungkapan kasus korupsi. Angket terhadap Ahok oleh DPRD DKI sudah mencapai klimaks dan segera meningkat ke Hak Menyatakan Pendapat yang berpotensi pemakjulan terhadap Ahok. Disisi lain, penyidikan terhadap mega-korupsi APBD DKI baru menetapkan dua tersangka dan belum ada tanda-tanda menyentuh master mind yang mengatur pembegalan secara terstruktur dan sistematis, pinjam istilah peninggalan pilpres lalu, terhadap uang rakyat.
Apa yang diungkapkan oleh Jaya Suprana dalam Surat Terbukanya merupakan proyeksi paradigma lama yang dipelihara sejak jaman kolonial Belanda. Isu SARA menjadi obat mujarab menutupi aib dan kesalahan orang-orang yang memegang kekuasaan. Tidak ada yang baru, hanya bungkusnya beda.
Tidak ada yang salah dengan Surat Terbuka Jaya Suprana, ibarat membuka bisul agar nanahnya bisa dibersihan. Surat itu hanya menggaungkan bisik-bisik sebagian warga Tionghoa, terutama generasi yang leboh tua, yang pernah mengalami ngerinya kerusuhan rasial. Hal ini juga mendobrak "the invisible wall" bahwa latar belakang suku dan agama seseorang menjadi batasan apa yang boleh dan tidak boleh dikatakan dan dilakukan.
Surat Terbuka Jaya Suprana juga merupakan ujian bagi Indonesia apakah hantu SARA masih mempan digunakan untuk menakut-nakuti masyarakat umum. Ketika masih banyak orang keturunan Cina yang merasa tersandera oleh efek kata-kata seorang Ahok, maka dapat disimpulkan para koruptor masih pegang kartu bagus yang bisa dimainkan dengan sesuka hati.
Ahok mengajak kita memberantas korupsi, Jaya Suprana menyentil kita untuk berhenti meratapi asal-usul dan keturunan dengan momok kerusuhan. Kapan kita bisa dewasa dan maju jika para anggota Dewan sibuk mengurusi etiket dan mengabaikan etika ?