Pada Konferensi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), November 1945, Panglima Besar Jenderal Sudirman memberikan petuah untuk mengembalikan jati diri militer Indonesia. Ketika itu, Jenderal Sudirman mengatakan, tentara hanya mempunyai satu kewajiban, yaitu mempertahankan kedaulatan negara dan menjaga keselamatannya. Sudah cukup kalau tentara teguh memegang kewajiban itu. Tentara tidak boleh menjadi alat suatu golongan atau orang, siapa pun juga.
Petuah itu masih relevan hingga sekarang. Setiap pelaksanaan pemilu, baik pileg maupun pilpres, netralitas TNI/Polri diperbincangkan. Isu netralitas TNI/Polri tetap hangat menjelang pemilu, karena masih ada pihak-pihak yang berusaha menarik prajurit aktif untuk berpihak.
Meski secara institusi TNI dan Polri telah menegaskan sikap netral, yang diperkuat dengan aturan perundang-undangan, kecurigaan tentang keberpihakan prajurit tetap muncul. Wajar kecurigaan itu muncul, karena tidak sedikit purnawirawan TNI/Polri ada di setiap kekuatan politik, yang bukan tidak mungkin dapat menarik mantan anak buah mereka.
UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI menegaskan soal netralitas TNI. Pasal 2 huruf d UU TNI menyebutkan, jati diri TNI adalah tentara profesional, yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi. Lalu, Pasal 39 menyebutkan, prajurit dilarang terlibat dalam kegiatan menjadi anggota partai politik; kegiatan politik praktis; kegiatan bisnis; dan kegiatan untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilihan umum dan jabatan politis lainnya. Pasal 47 Ayat 1 menegaskan, prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah meng- undurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
Sedangkan, netralitas Polri diatur UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri. Pasal 28 Ayat 1 menyebutkan, Polri bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis. Ayat 2 menyebutkan, anggota Polri tidak menggunakan hak memilih dan dipilih. Sedangkan pada Ayat 3 dikatakan, anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
Dari dua aturan itu sudah jelas bahwa TNI/Polri bersikap netral dalam pemilu. Namun, pernyataan Presiden SBY pada apel perwira dari TNI dan Polri di Kementerian Pertahanan, Senin (2/6), bagai petir di siang bolong. Presiden mengatakan, ada informasi yang telah dikonfirmasikan menyebutkan ada pihak-pihak yang menarik sejumlah perwira tinggi untuk berpihak.
Bahkan, pihak yang menyeret perwira tinggi itu mengatakan agar mereka “tidak perlu mendengar presiden kalian. Itu kapal karam, mau tenggelam, mau selesai”. Pernyataan Kepala Negara menegaskan ada pihak yang ingin meru- sak netralitas TNI/Polri.
Jajaran petinggi TNI sebenarnya sadar bahwa netralitas prajurit sangat diperlukan dalam menjaga persatuan dan kesatuan. Saat baru dilantik sebagai Panglima TNI pada 30 Agustus 2013, Jenderal Moeldoko juga berjanji tetap menjaga netralitas prajurit sesuai rencana strategis TNI, seperti yang diamanatkan negara. Bahkan, untuk Pemilu 2014, Moeldoko menegaskan, TNI beserta seluruh elemen lainnya akan bersikap netral. Panglima TNI juga mengingatkan agar tidak ada elemen masyarakat atau kekuatan politik yang menyeret prajurit ke kancah politik 2014. Pernyataan itu merupakan peringatan bagi elite politik untuk ikut menjaga sikap netral prajurit.
Pernyataan Panglima TNI itu seolah menegaskan bahwa netralitas TNI masih bisa terganggu jika masyarakat, terutama elite politik, belum bersikap dewasa dalam berpolitik. Justru, faktor luar yang masih sangat kuat untuk menarik prajurit TNI/Polri terseret dalam arus politik.
Selain itu, secara internal, prajurit TNI juga masih mudah dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan lain di luar kepentingan negara. Buktinya, masih ada peristiwa konflik antara oknum prajurit TNI/Polri dan masyarakat sipil terkait persoalan-persoalan ekonomi. Jika persoalan internal itu belum dibenahi total, wajar jika muncul kekhawatiran publik TNI bakal kembali terseret ke pusaran politik praktis. Bukan terkait jumlah personel, karena jumlah prajurit TNI sekitar 500.000 orang dan anggota Polri sekitar 600.000 orang tidak signifikan dari sisi suara pemilu jika mendukung salah satu kandidat capres. Kekhawatiran utama jika TNI/Polri aktif terlibat adalah kekuatan senjata dan kemampuan intelijen mereka.
Kita berharap para elite politik tidak memanfaatkan kekuatan yang dimiliki TNI/Polri demi kepentingan politik. Kita menginginkan agar para calon pemimpin, baik dari kalangan sipil atau militer, menunjukkan kedewasaan dalam berpolitik dengan tidak menyeret prajurit ke pusaran politik.