Mohon tunggu...
Alex Tampubolon
Alex Tampubolon Mohon Tunggu... -

Seorang yang selalu mengatakan yang benar adalah benar yang salah adalah salah.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Merindukan Netralitas Media dalam Pilpres 2014

11 Juni 2014   23:13 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:11 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi sebagian kita peminat media dan berbagai ruang pemberitaan,  hari-hari ini semakin sesak. Peristiwa demi peristiwa yang menggambarkan kegiatan para capres dan cawapres menjejajali ruang pemberitaan bahkan sampai ke sudut-sudut yang tadinya ditempati iklan. Tak ada yang terlewat dari paparan. Tak ada yang luput dari sorotan.

Para capres atau cawapres meninjau pasar ke luar pulau, semua media mengiringi dan mengabarkannya. Para capres atau cawapres berdialog dengan siswa taman kanak-kanak, semua media menemani dan mengemukakannya. Para capres berziarah, semua media menyertai dan mengutarakannya. Setiap kegiatan capres dan cawapres, dari bangun tidur sampai tidur lagi, tak ada yang terlepas dari pantauan.

Alhasil, media apa pun di sekitar kita kini nyaris bernada dan berwajah serupa. Sama-sama bersemangat mengangkat berita-berita bertendensi kampanye. Yang dari titik tertentu bisa saja dikatakan wajar; karena dua capres dan cawapres yang akan bertarung pada 9 Juli 2014 nanti sudah jelas sosoknya. Siapa menghadapi siapa, dengan dukungan koalisi partai, ormas atau para simpatisan mana yang sudah jelas pula.

Dengan demikian, setiap pemberitaan adalah ajakan bagi konstituen capres atau cawapres tertentu agar semakin mengenali siapa figur pilihannya nanti. Berbagai data, kegiatan, dan visi serta misi pun diharapkan dapat sebagai bekal atau bahan pertimbangan untuk lebih memperteguh pilihan. Atau bila mungkin, dapat menggugah konstituen tertentu mengalihkan dukungan ke capres dan cawapres yang sebelumnya tidak diminati.

Namun, dari titik lain, hal ini tentu saja berujung tak sehat, bila semangat memberitakan itu juga semakin merapat pada kepentingan atau keuntungan capres dan cawapres tertentu semata, yang secara langsung atau tak langsung didukung media. Dengan mudah pun segera terbaca hiruk-pikuk atau puja-pujilah yang disampaikan, bila yang diberitakan adalah capres atau cawapres yang diusung.

Dan bila hal itu menyangkut capres atau cawapres dari pihak lain, atau yang dianggap berseberangan, maka pemberitaan pun terasa diliputi kebimbangan menyebutkan fakta, atau sebaliknya, lebih dinamis menyampirkan dugaan bahkan prasangka yang dapat merugikan capres dan cawapres yang berseberangan itu.

Bagi kita yang masih merindukan netralitas media, hal semacam ini tentu saja mengagetkan sekaligus melelahkan. Kita sebagai pembaca harus mereka-reka apa yang tersembunyi di balik berita; atau apa yang mau disarankan di balik sebuah peliputan. Kita tak cukup lagi dengan pemberitaan apa adanya, yang didukung beberapa narasumber dengan berbagai sudut pandang yang berbeda tentang sebuah obyek.

Hal yang sebenarnya mudah, ketika media memilih netral atau berpihak pada publik umum yang memerlukan pencerahan. Namun jadi sulit, ketika media massa semakin gagal menegakkan diri sebagai pilar keempat demokrasi yang netral.

Akibatnya, bagi publik yang ingin mengetahui berita tentang capres atau cawapres tertentu, kini tinggal membeli media tertentu, mengklik portal x, atau memencet channel televisi anu. Media sosial atau surat pembaca pun memperlihatkan, bagaimana para pembaca atau pemirsa, yang merasa sekutu para capres dan cawapres tertentu, begitu kompak menyuarakan aspirasi mereka yang seirama.

Di tengah kondisi seperti ini, dalam saat-saat tertentu yang menegangkan, mendapatkan gempuran pemberitaan kampanye dari kedua capres dan cawapres, sesekali publik tertentu pun tergoda ikut ”mengambang” bersama para pendukung capres dan cawapres yang menikmati euforia demokrasi bahkan sampai ke titik ekstrem berbahasa (sekaligus bernalar).  Membenarkan apa saja di pihak sendiri, dan menyalahkan atau menghujat apa saja di pihak lain.

Salam Kompasiana

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun