Tidak terasa sudah nyaris lima tahun kita hidup dalam krisis yang di awali oleh meledaknya krisis subprime mortgage di Amerika yang gejolaknya mulai terasa di bulan Agustus 2007 dan meledak hebat di tahun 2008 hingga awal 2009. Krisis yang sempat memporak-porandakan seluruh bursa saham di dunia tersebut karena berujung kepada bangkrutnya lembaga-lembaga keuangan ternama kelas dunia, ternyata masih menyisakan banyak gejolak yang hingga saat ini tidak terselesaikan.
Awalnya bantuan likuiditas dari bank sentral dan pemerintah Amerika ke pasar dalam negeri Amerika telah membantu menenangkan kepanikan dan meredakan kerusakan yang diciptakan oleh badai kegagalan sistem keuangan di wall street. Namun ternyata, cerita tidak berhenti sampai di sana.
Guncangan muncul dari gagalnya Yunani menyelesaikan hutang-hutangnya yang jatuh tempo pada tahun 2010 kemarin. Hutang yang timbul dari gaya hidup pemerintahan yang tidak sehat, lebih besar pasak daripada tiang, memang berhasil menghantarkan negeri para dewa tersebut jatuh ke dalam krisis yang sangat besar, jauh lebih mengerikan ketimbang krisis yang dialami oleh Indonesia di tahun 1998. Ancaman terjadinya negara gagal begitu kuat, bahkan dalam kurun waktu kurang dari setahun terjadi beberapa kali pemilu. Itupun diperkirakan tetap tidak akan menyelesaikan masalah, karena pada dasarnya Yunani dicurigai oleh banyak pihak telah melakukan window dressing dalam laporan keuangannya sebelum masuk ke dalam ratifikasi perjanjian konfederasi Uni Eropa. Ibaratnya anak tidak lulus ujian, akan tetapi nilainya dikatrol menjadi lulus.
Kerusakan kestabilan perekonomian Uni Eropa akibat ulah Yunani ternyata tidak berhenti sampai di sana, guncangan itu telah mengakibatkan rusaknya banyak sistem perbankan di Uni Eropa, dan bahkan kabarnya banyak bank-bank di Eropa harus mengigit jari karena terpaksa merelakan surat hutang Yunani yang mereka pegang tidak kembali modal utuh. Beruntung bagi perbankan yang tidak bermain di paper asset seperti obligasi, maupun surat-surat berharga lainnya. Namun tragis bagi lembaga-lembaga keuangan seperti Asuransi, Bank Investasi dan lainnya yang hidupnya sangat tergantung dari keuntungan pasar modal.
Padahal seharusnya fungsi perbankan adalah memberikan dan menyalurkan kredit kepada sektor usaha riil, seperti perdagangan ekspor-impor, investasi pembangunan pabrik, kredit usaha kecil dan menengah serta sektor-sektor lainnya yang memiliki basis usaha riil.
Akibatnya begitu timbul guncangan dari krisis di Yunani, maka perbankan Spanyol pun ikut terguncang, apalagi pada situasi krisis, kredit perumahan ikut pula macet. Jadilah akhirnya Spanyol menerima dana bantuan likuiditas hingga lebih dari 100 milyar Euro. Namun saya sendiri meragukan ke-efektifan bantuan tersebut, walaupun banyak lembaga riset keuangan memastikan dalam situasi terburuk Spanyol hanya membutuhkan bantuan kurang lebih sebesar 60 Milyar Euro.
Mengapa saya meragukan hal tersebut, adalah bukan pada besar-kecilnya jumlah talangan, akan tetapi kepada prinsip-prinsip dasar ekonomi yang telah dilanggar oleh negara dan sistem perbankan mereka. Baik Spanyol maupun Yunani bukan lah negara seperti Indonesia ataupun Tiongkok, yang memiliki basis industri yang kuat dan konsumsi domestik yang kuat.
Indonesia walaupun korupsinya sudah tingkat neraka, akan tetapi industrinya sangat kuat menopang perekonomian. Orang masih banyak yang bekerja 50-60 jam seminggu. Bandingkan dengan negara-negara Uni Eropa terutama yang sedang bermasalah. Kerja 40-45 jam seminggu adalah kebiasaan yang sudah tidak asing lagi bagi orang Eropa (kecuali Jerman yang masih mau bekerja keras). Produktivitas + Konsumsi adalah kata utama untuk keluar dari krisis. Konsumsi saja hanya membawa celaka, sementara produktivas saja hanya membawa kesulitan ketika terjadi krisis global yang menurunkan angka permintaan.
Hal itu juga yang membuat mengapa Amerika begitu lama keluar dari krisis, karena gejala de-industrialisasi telah melanda negara tersebut di era akhir 1990an hingga 2000an. Akibatnya pengumuman-pengumuman penurunan jumlah pengangguran dan peningkatan jumlah orang yang bekerja tidak pernah jauh dari target dasar selalu berkisar di antara 2- 3 persen.
Indonesia pun sekitar dua - tiga tahun yang lalu pernah mengalami gejala de-industrialisasi. Namun kita masih beruntung karena pemerintah cepat menyadari akan hal itu. Namun menurut saya pribadi, masih jauh dari memuaskan karena penanganan masalah-masalah infrastruktur dan hambatan birokrasi (termasuk korupsi) masih belum optimal.
Saat ini, domino effect dari krisis Eropa mulai bergerak ke arah Cyprus dan negara-negara Eropa lainnya, hal ini tidak lepas dari masalah besarnya bantuan likuditas yang dikucurkan ditambah oleh kelesuan faktor permintaan karena terjadinya krisis. Bahkan sejumlah kalangan pun masih mempertanyakan kemampuan Italia mempertahankan ekonomi negaranya dari kejatuhan seperti yang telah dialami oleh Yunani dan Spanyol. Beruntungnya, meskipun penduduk sedikit Italia masih memiliki sejumlah industri yang cukup solid meskipun tidak terlalu besar seperti Jerman.
Akan tetapi Jerman sendiri tidak serta merta lolos dari permasalahan, karena mereka merupakan salah satu donatur terbesar dalam pemberian bantuan likuditas di dalam ECB (European Central Bank), akibatnya Jerman pun terancam terseret ke dalam kesulitan sama seperti halnya Perancis. Sementara pangsa pasar produk Jerman mayoritas adalah negara-negara Uni Eropa, jika pada akhirnya terjadi krisis di seluruh Uni Eropa maka Jerman akan sangat terpukul dan menanggung penderitaan yang lebih besar ketimbang negara-negara lainnya di kawasan Eropa.
Sementara dari benua Amerika sendiri, meskipun keadaan lebih adem ayem, tidak serta merta kondisi sudah lebih aman. Hingga saat ini, Amerika masih menyimpan bom waktu bahkan bom nuklir dalam bentuk transaksi derivatif. Sampai saat ini, tidak ada yang tahu pasti berapa jumlah transaksi derivatif yang sebenarnya berputar di lembaga keuangan Amerika.
Kolapsnya Lehman Brothers, tidak serta merta menyebabkan transaksi derivatif terhenti meskipun transaksi Lehman Brothers di seluruh dunia dihentikan (ini yang mengakibatkan bursa di seluruh dunia tumbang bahkan bursa efek Indonesia harus tutup beberapa waktu). Asset-asset bermasalah itu pada dasarnya tidak pernah 100 persen dilakukan write off alias penghapusan. Namun masih berputar-putar di antara lembaga-lembaga keuangan dunia dalam bentuk transaksi derivatif yang bunganya pun masih berjalan. Sehingga siapapun yang kalah taruhan, dipastikan akan luluh lantak berantakan. Dan JP Morgan pun sudah mengalaminya beberapa waktu yang lalu, sementara banyak pihak yang meragukan jumlah angka kekalahan yang diderita oleh lembaga keuangan tersebut, namun setidaknya belum berujung kepada kebangkrutan. Sementara masih ada bank-bank lain yang menyimpan potensi yang sama.
Saran saya bagi dunia perbankan dan keuangan di Indonesia, jika anda mengelola dana, pastikan porsinya selalu jauh lebih besar untuk kredit usaha kecil dan menengah. Dan sebisa mungkin perkecil porsi untuk pengelolaan di kredit konsumsi serta paper asset maupun trading valas. Kita tidak pernah tahu, apakah perekonomian global akan pulih dalam waktu cepat atau akan menempuh perjalanan tanpa arah yang sangat lama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H