Great Depression yang di awali oleh kejatuhan Wall Street pada tahun 1929 dan berlanjut pada rontoknya ekonomi dunia hingga 1939, memicu bangkitnya perang dunia ke dua pada tahun 1939 hingga 1945 sebagai akibat dan solusi atas berlarut-larutnya penyelesaian krisis. Kala itu Hitler bangkit sebagai simbol kebangkitan Jerman atas keterpurukan ekonomi dan kepemimpinan nasional Jerman.
Krisis Global pada masa kini yang di awali dengan kejatuhan peringkat hutang Subprime Mortgage di Wall Street pada Agustus 2007 terus berlanjut dan saling bersahut-sahutan di seluruh penjuru dunia, dari mulai rontoknya peringkat hutang Dubai World sehingga mengakibatkan kolapsnya pasar property di Dubai, berlanjut pada rontoknya peringkat Surat Hutang Yunani, Spanyol, Portugal, Italia, dan Irlandia sehingga memicu kolapsnya pasar modal Eropa dalam tempo singkat.
Krisis ini masih akan berlanjut terus, meskipun Eropa telah membailout surat hutang pemerintah Yunani, karena rontoknya Yunani telah merembet ke seluruh Zona Ekonomi Eropa Selatan, bahkan menimbulkan guncangan dahsyat pada Ekonomi Great Britain dengan tumbangnya nilai Poundsterling terhadap mata uang US Dollar ke level 1.4 dari sebelumnya di level 1.7
Hal ini karena apa  yang dilakukan oleh IMF dan Central Bank of Europe masih jauh dari sumber utama masalah kebangkrutan Eropa, yakni gaya hidup yang tidak produktif. Hutang itu hanyalah salah satu faktor saja, produktifitas adalah kunci utama. Tanpa produktifitas, konsumerisme adalah masalah besar yang bisa membawa kiamat ekonomi.
Bangkitnya kekuatan nuklir Korea Utara sebagai jawaban dari krisis ekonomi di dalam negeri dan adanya sejumlah embargo ekonomi, memicu ketegangan lebih besar lagi saat dunia tengah bergejolak oleh isu depresi global. Insiden tenggelamnya kapal perang Korea Selatan yang dituduh karena ulah dari kapal selam Korea Utara semakin menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku pasar. Apalagi pihak sekutu tidak melibatkan China sebagai tim pencari fakta, padahal China dengan kekuatan mesin perang nuklir dan ekonomi raksasanya adalah pihak yang dianggap bisa menjadi penengah dan terutama suaranya lebih diperhitungkan oleh Korea Utara yang memang belakangan lebih banyak mendapatkan bantuan dari negara tirai bambu itu.
Lebih gilanya, pemerintah Amerika Serikat, justru ikut-ikutan membuat situasi dunia semakin memanas dengan bersikap agresif terhadap kebangkitan kekuatan nuklir Iran dan krisis politik yang berlarut di timur tengah. Padahal Amerika sendiri sedang dirundung oleh masalah ekonomi yang tidak ada habis-habisnya. Angka pengangguran yang masih naik turun dan berharap banyak dari program stimulus fiskal justru cenderung terabaikan dengan adanya lobi-lobi tingkat tinggi di kalangan bisnis dan pemerintahan.
Meskipun menurut harian Asian Wall Street Journal pagi ini, angka Manufaktur di China pada laporan bulan Mei menunjukan kemajuan, begitupula dengan ekspor dari Korea Selatan yang menanjak naik seiring dengan semakin bersinarnya Consumer Price Indeks sejak Oktober tahun lalu (2009), namun hal ini tidak seketika menimbulkan rasa aman dan nyaman bagi para investor.
Terbukti bursa-bursa di kawasan Asia masih naik turun seperti roller coaster, tarik ulur ragu-ragu menghadapi gejolak politik dan ekonomi yang terus bergerak secara dinamis.
Jika gejolak krisis ini terus berlanjut hingga hitungan di atas lima tahun (saat ini sudah mendekati tahun ke tiga sejak krisis Subprime Mortgage Agustus 2007) maka ancaman perang dunia ke tiga bukanlah sesuatu yang mustahil. Thailand sendiri sudah bergolak sejak lesunya ekonomi di negara itu tahun 2007, dan menurut analisa akan terus semakin bergolak pasca kerusuhan Mei 2010 lalu. Begitu juga dengan negara-negara lain, termasuk negara-negara di kawasan zona ekonomi Eropa yang menghadapi sejumlah aksi para buruh yang menuntut perbaikan hidup sementara pemerintah mereka kewalahan menghadapi tekanan ekonomi global.
Masalah ini sebenarnya bisa diselesaikan jika para pemimpin dunia bersikap arif dan bijaksana dan cepat mengatasi krisis global dengan kebijakan yang tepat. Free Trade Agreement dalam berbagai bentuk seharusnya dipikirkan ulang, karena memang berpotensi menghancurkan negara yang lemah dalam ketahanan ekonomi. Gaya hidup yang borjuis dan kapitalis juga seharusnya dikurangi dan lebih fokus kepada sikap hidup yang produktif, hemat, prihatin dan rendah hutang.
Kebijakan negara juga seharusnya lebih proaktif terhadap kemajuan ekonomi rakyat kecil entah itu keringanan kredit SME (Small Medium Enteprise) / UKM dan UMKM, dukungan terhadap lembaga koperasi, pemberdayaan BUMN agar lebih pro rakyat dan efisien serta efektif dalam kinerjanya, serta berbagai kebijakan yang bertujuan meningkatkan sektor ekonomi mikro.
Pembatasan import komoditas juga mutlak dan perlu, adalah gila dan keterlaluan jika pemerintah sampai melakukan impor garam, bagaimana bisa kita malah membunuh sektor usaha milik para petani garam di Madura? Begitu juga dengan impor beras dan gula, justru kita harus mensubsidi habis sektor pertanian dan perkebunan rakyat, entah subsidi pupuk dan lain sebagainya. Jangan sampai kebijakan makro justru menjadi monopoli kartel dagang asing maupun konglomerat hitam dalam negeri. Karena jika kita membiarkan praktek busuk ini terus terjadi, kita pun akan terkena imbas gejolak krisis politik yang sudah terjadi di banyak negara sebagai akibat dari krisis ekonomi yang berkelanjutan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H