[caption caption="Designed By Freepik.com"][/caption]“Orangnya sudah di langit, uangnya masih di Bank.” (pepatah Cina)
Salah satu teori dalam membangun wealth (kekayaan) adalah dengan teknik akumulasi. Ini adalah teknik sederhana namun powerful dan efektif. Berinvestasi sedikit demi sedikit dalam jangka waktu yang lama, dan meng-compound hasil investasinya, niscaya akan memberikan akumulasi kekayaan yang besar pada akhirnya.
Inilah teknik yang digunakan oleh Warren Buffett sehingga menjadi orang terkaya nomor dua di dunia. Berinvestasi jangka panjang, konsisten dan mengakumulasikannya.
“My wealth are coming from a combination of a lucky genes, American Capitalism and compounding interest,” demikian kata Warren Buffett.
Jadi teknik mengakumulasikan asset selama jangka waktu yang panjang dengan memanfaatkan compounding interest sudah terbukti sebagai salah satu teknik terpenting dalam wealth creation.
Pertanyaan berikutnya adalah ngumpulin asset-nya sampai kapan?
Dalam teori wealth creation kita kenal juga istilah passive income. Yakni income yang didapat dari investasi kita. Dan financial freedom tercapai ketika passive income kita sama atau lebih besar dari biaya hidup kita sehari-hari.
Jadi kalau melihat teorinya, berarti kita harus mengakumulasikan asset sampai imbal hasil dari asset tadi melebihi dari biaya hidup yang kita inginkan. Nah, biaya hidupnya bisa kita setel sesuai dengan keinginan kita (life style). Bisa life style 10 juta sebulan, bisa 100 juta sebulan, bisa 1 M sebulan. Terserah masing-masing. Tentunya kalau ingin life style yang 100 juta sebulan mengumpulkan asset-nya jadi jauh lebih masif dibandingkan dengan jika kita cukup happy dengan life style 10 juta sebulan.
Jadi ngumpulin asset-nya sampai kapan? Ya kalau melihat teori diatas, sampai tercapai cita-cita keuangannya. Mau hidup di level yang mana? Kalau sudah tercapai gimana?
Nah, disinilah letak “jebakan batman-nya”.
Banyak orang yang kian terobsesi mengumpulkan kekayaan. Semakin besar-semakin besar dan semakin besar. Yang lebih parah lagi, gaya hidupnya tidak berubah juga dibandingkan dengan ketika mengakumulasikan asset. Dulu pelit melilit, sekarang sudah kaya malahan tambah pelit.
Belum lama ini saya membaca bukunya Anthony Robbins yang terbaru. Kali ini sang Master bicara masalah keuangan. Salah satu prinsip yang diajarkan oleh Tony Robbins adalah Akumulasi, Aset Alokasi dan De-Akumulasi.
Prinsip Tony Robbins perihal di atas bisa menjawab pertanyaan sampai kapan kita mengumpulkan asset, dan setelah terkumpul apa yang harus kita lakukan terhadap asset-asset tersebut.
Aset alokasi mengajarkan kita untuk membagi investasi terhadap berbagai jenis investasi. Pada prinsipnya ada 3 jenis kendaraan investasi. Ada di business (jika kita membangun business), stock and bond dan real estate. Jadi asetnya kita alokasikan pada masing-masing jenis asset dengan persentasi tertentu.
Kemudian Tony Robbins juga mengajarkan bahwa strategi investasi kita juga ada mode-nya. Mode agresif, moderat dan konservatif. Kapan kita agresif, kapan kita moderat dan kapan kita konservatif, biasanya tergantung kepribadian seseorang dan tergantung umur juga.
Pada usia muda, investasi haruslah lebih agresif. Berani masuk ke instrumen-instrumen investasi yang lebih beresiko (bisnis misalnya) namun memberikan return yang memadai. Dalam perkembangannya kemudian mode-nya bergeser ke moderat dan konservatif. Jadi jangan agresif terus-terusan, nanti kalau bangkrut di usia tua, tidak mampu bangkit lagi.
Jadi ada proses balancing portofolio. Memindahkan asset dari satu kelas yang lebih beresiko ke kelas yang kurang beresiko, walaupun kemudian mengorbankan imbal hasil. Misalnya dengan menjual sebagian saham perusahaannya (bisa private atau ke publik) dan memindahkan hasilnya ke asset yang lebih tidak beresiko (real-estate). Ini-lah salah satu alasan mengapa banyak orang yang sudah kaya, kemudian memiliki hotel.
Setelah akumulasi dan alokasi, Tony Robbins mengenalkan sebuah konsep yang menarik, yaitu de-akumulasi asset.
Asset itu setelah diakumulasikan dan di-balance sesuai dengan strategi investasi kita, maka pada suatu titik harus kita putuskan mau dikemanakan, mau diapakan, apakah harus dikumpulkan terus?
Kata teman saya buat apa mengumpulkan uang. “Uang cuma kertas, duit cuma angka,” demikan katanya.
Ya, harta dan asset hasil kerja keras dan kerajinan mengumpukan selama puluhan tahun, masa cuma disimpan di bank saja, atau teronggok dalam bentuk land banking? Harta dan asset tadi akan kehilangan power-nya. Harta tidak ada artinya jika tidak digunakan.
Lalu digunakan buat apa? Yang pertama untuk memenuhi mimpi-mimpi kita. Keliling dunia naik kapal pesiar, punya mobil bagus, beli baju bagus, menyenangkan keluarga, dan sebagainya, dan sebagainya.
Atau digunakan untuk kepentingan lain, supaya bermanfaat bagi orang banyak. Bangun sekolah, bikin panti, nyumbang masjid dan gereja, bangun pura, bikin yayasan, atau membikin apa saja yang kita inginkan. To create legacy, untuk diwariskan.
Menarik untuk melihat apa yang dilakukan oleh Warren Buffett. Dia kemudian menyumbangkan lebih dari sebagian besar dari harta kekayaannya kepada Yayasan Bill & Melinda Gates.
Buffett mengatakan “My children will get enough so they can do anything, but not enough so they can do nothing.”
Jadi menurut Tony Robbins, bagi sebagian orang yang berhasil dalam permainan ‘financial’ ini, pada satu titik asset yang sudah kita akumulasi, harus di-de-akumulasikan. Dijual sebagian, hasilnya digunakan. Digunakan buat apa? Ya terserah masing-masing. Kalau bisa yang memberikan manfaat buat orang banyak. J
Jadi harta dan asset bukan cuma dikumpulkan, kurang bermanfaat nantinya. Kalau dikumpulkan terus nanti seperti kata pepatah Cina, “Orangnya sudah di langit, uang-nya masih di Bank.” Jangan hidup seperti orang miskin yang duitnya banyak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H