Di sini saya tidak ingin mengomentari ragam gelombang reaksi atas kontroversi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait batas usia capres -- cawapres, yang kini kian ramai menjadi sorotan perbincangan publik. Putusan MK ini dinilai sebagai upaya hukum untuk memuluskan jalan pintas upaya pencawapresan putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka.
Lantaran begitu banyak gelombang suara minor dan ragam kritikan atas putusan MK tersebut. Saya jadi teringat pada ungkapan Vox Populi - Vox Dei -- suara rakyat adalah suara Tuhan. Ungkapan yang sangat terkenal ini pertama kali dicetuskan William dari Malmesbury pada abad XII.
Ungkapan ini juga diucapkan Alcunius dalam suratnya kepada raja Carolus IX. Ia mengkritik absolutisme raja Carolus IX. Dalam sistem pemerintahan absolut, pemegang kuasa (raja) memerintah secara mutlak dan otoriter. Apa yang menjadi kehendak raja harus diikuti.
Sebagai bentuk perlawaan terhadap absolutisme, Alcunius menegaskan bahwa Vox Populi  - Vox Dei, suara rakyat adalah suara Tuhan, harus didengar, tidak boleh dicuekin, apalagi sampai dikangkangi.
Alcunius yakin seyakin-yakinnya bahwa kebenaran yang dipercayai rakyat tidak mungkin keliru, sebagaimana keyakinannya bahwa Vox Populi - Vox Dei, suara rakyat adalah suara Tuhan.
Mistisisme Vox Populi - Vox Dei
Sudah tentu yang dimaksud dengan Vox Populi - Vox Dei, bukan suara hasil mobilisasi atau deklarasi dukung-mendukung oleh rekayasa yang dipandu demi kepentingan politik pragmatis hasrat ambisi kekuasaan L'etat c'es moi. Melainkan suara itu murni dan autentik datang dari lubuk terdalam hati nurani rakyat, itulah Vox Populi - Vox Dei.
Untuk itu, Vox Populi - Vox Dei harus mendapat perhatian dari pribadi-pribadi yang diberi kepercayaan sebagai wakil daulat rakyat. Dengan demikian, ungkapan Vox Populi - Vox Dei akan menemukan maknanya yang benar dan sejati.
Di mana suara ini merupakan autentitas suara sejati rakyat. Di mana suara ini sekaligus perwujudan atas pemaknaan demokrasi. Dalam artian bahwa di sini rakyat punya logika sendiri atas aspirasi politiknya untuk didengar, tidak boleh dicuekin, apalagi sampai dikangkangi.
Ada dikatakan bahwa kekuasaan universum, ia datang tidak sekedar dari legitimasi politik, juga adanya campur tangan "Dunia Atas" alam semesta, yang direpresentasikan lewat ungkapan mistisisme Vox Populi - Vox Dei.
Bukan tidak mungkin pula, siapa yang mengangkangi dan mengabaikan suara alam yang direpresentasikan lewat ungkapan mistisisme Vox Populi - Vox Dei, bukan tidak mungkin pula memancing reaksi kemurkaan alam.
Di mana alam pastinya punya cara dan logikanya sendiri atas reaksi kemurkaannya tersebut, sebagai hukum alam, hukum  sumatullah.
Kita bisa bermain-main dan mempermainkan kuasa politik, tapi tidak akan bisa mempermainkan kuasa alam.
Alex Palit, jurnalis, penulis buku "Ngaji Filsafat Kepemimpinan Prabowo Notonegoro".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H