Di sini saya tidak ingin mengomentari proses persidangan kasus gugatan perdata terhadap pengamat politik Rocky Gerung (RG) di Pengadilan Jakarta Selatan, terkait penggalan kutipan ucapannya saat berorasi di acara "Konsolidasi Akbar Aksi Sejuta Buruh" (29/7).
Dalam petitumnya, penggugat meminta hakim menghukum RG untuk tidak menjadi narasumber di televisi, radio, seminar, maupun media sosial selama seumur hidup.
Di sini saya sengaja menuliskan artikel ini sehari sebelum digelarnya persidangan kedua di Pengadilan Jakarta Selatan (7/9), sehingga menjadikan kita tidak gagal paham, dan menyikapinya secara logika akal sehat. Wajar, logis atau absurd, gugatan tersebut?
Peradilan Sokrates
Terkait dengan kasus RG, saya diingatkan pada kisah "Peradilan Sokrates" (399 SM). Kisah kesaksian peradilan filsuf Sokrates ini diabadikan oleh muridnya yaitu Plato dalam catatan "Apologia Sokrates".
Dan banyak terbitan buku yang mengulas tentang "Apologia Sokrates", salah satunya I.F. Stones di buku berjudul "Peradilan Sokrates -- Skandal Terbesar dalam Demokrasi Athena". Selain ada terbitan buku lainnya, di antara "Apologia" (Fuad Hassan) dan "Mari Berbincang Bersama Platon" (A. Setyo Wibowo).
I.F. Stone dalam pengantar bukunya menyebutkan bahwa peradilan Sokrates ini mengguratkan noda paling hitam dengan mengangkangi kebebasan berpendapat dalam alam demokrasi di Athena yang dikenal sebagai pengibar demokrasi.
Peradilan Sokrates ini dinilainya sebagai paradoks dan hal memalukan di mana kota yang terkenal menghormati kebebasan berbicara itu menuntut seorang filsuf yang tidak melakukan kesalahan apa pun selain mempraktekan kebebasan berbicara.
Dalam apologinya, Socrates mengatakan: Bagaimana kalian bisa menyombongkan kebebasan berbicara bila kalian memberangus kemerdekaan berbicara yang menjadi hak saya.
Kalian menuntut saya bukan karena hal-hal yang saya lakukan, tetapi hal-hal yang saya katakan terhadap ide-ide.